"Delapan kali masuk BK, delapan kali bolos, delapan kali buat onar, delapan kalinya juga kamu buat Guru masuk rumah sakit karena jantungan, dan kesekian kalinya ini kamu dikeluarkan dari sekolah hanya karena satu alasan. Apa benar Kinara Casilda Freissy?"
Seorang lelaki hampir paruh baya itu mencatat semua ucapannya itu dibuku coklat tebal mirip seperti sebuah diary. Seakan-akan apa yang ditulisnya itu akan berharga dimasa depan layaknya sebuah hutang, dan ia bisa menagihnya kapan saja.
Lusuh, diary itu tampak tak seindah seperti barunya dulu. Mungkin sudah sangat lama, bahkan tiap kertas yang dulunya putih, kini mulai menyoklat seiring berjalannya waktu. Wajahnya sesangar orang yang menagih cicilan, bahkan kacamata yang siap merosot dari matanya itu, ia benarkan kembali ketempat semula.
Kinara Casilda Freissy, atau gadis yang sering disapa Ara itu langsung menggeleng. Ia benar-benar takut jika harus dihadapkan dengan seseorang sejenis dan setegas papahnya itu. Sering kali wajahnya menunduk kebawah, ketika melihat sorot mata Papahnya yang semakin menajam. Hanya itu yang Ara lakukan selain diam saja.
Ara hanya manatap sekilas kepada kedua orang yang berada dihadapannya. Berbekal kaos oblong, dan celana selutut, ia menghadapkan diri kearah sang Bapak Negaranya. Disampingnya pun, ada Nyai Kanjeng ratu yang siap menertawainya kapan saja. Mau tak mau Ara harus siap dengan pakaian tempurnya dalam menghadapi kubu musuh dihadapannya sekarang ini.
"Kinara Casilda Freissy, bagaimana sikap seseorang ketika mendengar ceramah seseorang dengan cara baik!"
Ara lupa bahwa Bapak Negaranya itu adalah seorang anak dari mantan komandan tentara. Ia dituntut menjadi orang yang disiplin, sehingga apa yang Ara lakukan itu harus sesuai dengan dirinya yang pernah dia rasakan dulu. Mungkin semata-mata hanya ingin membuat Ara ikut menjadi disiplin saja, namun apa yang dilakukan oleh Papahnya sudah hampir mencapai batas berlebihan.
Papahnya itu tidak mengikuti jejak Ayahnya yang mengabdikan diri pada negara, melainkan menjadi seorang pebisnis yang saat ini hampir berada dipuncak sukses. Cabangnya pun sudah ada dibeberapa tempat, dengan ambisi besarnya yang ingin menjadi sukses dengan tangannya sendiri dulu. Dari modal kecil, ia bisa mengembangkan usahanya menjadi sekarang ini. Semua itu semata-mata dari hasil kerja kerasnya.
Ara langsung menegakkan badannya, kemudian menyiapkan diri untuk mengistirahatkan tangannya kebelakang punggung. Ia terdiam seribu bahasa, seakan mulutnya terkunci tak ingin bersuara. Mengapa Papahnya selalu bersikap seakan-akan dia itu Kakeknya? Tak bisakah Papahnya itu menjadi diri sendiri saja. Ia sudah sering mengalami yang seperti ini.
"Ambil posisi!" seru Papahnya memerintah.
Ara dengan rasa malas-malasan langsung mengambil posisi push up, lalu menghitungnya dalam diam. Senyap, ia sama sekali tak ingin bersuara. Angin datang pun memilih untuk sekedar lewat dan pergi begitu saja. Ara sungguh bosan jika akhirnya harus berakhir seperti ini.
"Berapa kali kamu keluar dari sekolah? Sebutkan alasannya!" seru Papahnya kembali.
Sambil mengangkat turun tubunya dan menahan beban tubuhnya dengan kuat, ia hanya diam tanpa ingin menjawab. Sepertinya otaknya sudah diatur untuk tidak menerima apapun yang keluar dari mulut Papahnya.
"Ara?!" bentak Papahnya keras.
Ara berhenti dari kegiatannya, kemudian berdiri. Ia mungkin mau melakukan apapun yang diperintahkan kepadanya. Namun ia tak akan terima, jika ia dibentak begitu saja oleh siapapun termasuk Papahnya sendiri.
Apa yang ditunjukkan kepadanya mungkin adalah sebuah perhatian semata. Namun jika Papahnya hanya ada disaat-saat itu saja, Ara mungkin tak akan bereaksi seperti ini. Semua yang ia lakukan hanyalah wujud ingin suatu perhatian, dan Ara sangat menginginkan itu.
"Kenapa Pah?" hanya itu saja yang keluar dari mulut Ara. Tak ada kata lain yang mewakili isi hatinya, selain bertanya sebuah alasan.
Papahnya memijit pelipisnya yang entah mengapa terasa pusing. Disampingnya masih ada sang pendamping hidup yang sesekali mencekal lengannya untuk tetap fokus dengan tujuannya.
"Kenapa Pah? Jawab, Ara ingin tahu segalanya kenapa Papah selalu nggak ada waktu untuk Ara. Sibuk! Sibuk! Sibuk! Ara nggak tahu sesibuk apa diri Papah, tapi tolong kasih Ara waktu untuk bersama Papah." jeda Ara kemudian menatap Papahnya dengan tatapan berharap. "Jika bukan untukku Papah ada, tolong lihat Reval yang sedari dulu kurang perhatian dari Papah. Ambisi Papah menelan habis semuanya, yang ada diotak Papah cuma kerja dan kerja aja."
Reval, Ara jadi teringat dengan adiknya. Hanya selisih 3 tahun saja darinya, namun Ara tahu tentang apa yang ingin Reval katakan dari dalam hatinya.
Revalio Ananta. Cowok kelas tiga SMP itu selalu menyibukkan dirinya dengan banyak organisasi di sekolah. Ia tak betah dirumah meskipun hanya semenit saja. Fasilitas, dan kehidupan dirinya mungkin terjamin. Tapi bukan itu yang Reval mau? Reval hanya ingin ada kebersamaan dalam kehidupan kecil keluarganya itu. Hanya itu saja, tapi sulit untuk digapai. Lagi-lagi karena ambisi Papahnya!
"Pa.. Pah.." hanya itu yang terlontarkan dari mulut lelaki paruh baya itu.
Ara menunjuk sang Adik yang baru saja turun dari tangga. Bukannya berpamitan, Reval malah menganggap semua orang yang berada di sana hanyalah angin lalu. Termasuk good boy memang, tapi terlalu sukar untuk berlama-lama di dalam rumah. Baginya udara di dalam sana sangat menyayatkan hati, untuk itu setiap hari libur tiba, ada saja kegiatan sekolah yang membuatnya jauh dari rumah. Reval tidak terlalu menyesal dengan perbuatannya itu.
"Lihat Reval sekarang Pah.. Karena ambisi Papah sendiri, Reval udah jauh dari semuanya. Ia memilih untuk menghindar, menghindar, dan menghindar. Jadi tolong, beri kita sedikit waktu untuk berkumpul bersama. Karena apa yang Ara lakukan itu, semata-mata hanya ingin memancing Perhatian Papah saja."
Nafas lelaki paruh baya yang tak lain adalah Papahnya itu dibuat kembang kempis. Pasokan udara seakan habis tergantikan dengan udara kotor yang merajalela. Seakan dia tak diberi waktu lagi untuk bernafas normal sekali saja. Ada gejolak amarah, namun ada juga gejolak sesal dalam tubuhnya.
"Ara, masuk kamar dan ambil tas kamu. Lalu cepatlah pergi untuk berangkat sekolah! Mamah tidak mau kamu terlambat dihari pertama sekolah ditempat baru kamu. Turutin Mamah dan jadilah anak baik di sana. Jika kamu tidak mau menurut, maka mau nggak mau Mamah akan asramakan kamu. Ingat, kamu tinggal memiliki satu kesempatan aja, jadi jagalah dan jadi anak baik-baik." ucap Mamahnya sedikit mengancam.
Ara mendengus, kemudian berlari menuju kamarnya. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan, selain menjadi anak baik yang diharapkan. Ancaman Mamahnya membuatnya sedikit bergidik ketika dibayangkan, ia masih ingin kebebasan.
"Selamat tinggal kenangan, selamat tinggal kejahilan berlanjut kejahatan. Kinara Casilda Freissy, untuk kali pertamanya lo bakal akting jadi anak baik-baik. So, lakukan semampumu. Jika lo udah nggak tahan, segara tinggalkan wajah palsumu." semangat Ara diakhiri kekehan kecil, kemudian melangkahkan kakinya lebar-lebar menuruni tangga.
Pokoknya hanya di sekolah saja ia bertindak seperti anak baik-baik. Tidak ada kejahilan, dan tidak akan ada perkelahian. Sepertinya akan ada 80% untuk diam, sisanya ia akan memilih untuk bertahan dan menjadi dirinya sendiri.
Baru saja Ara hendak masuk ke dalam mobil yang sudah berdiri sang sopir, sosok dengan figur tampan keluar dari rumahnya. Sekejap Ara tersenyum, kemudian melambai-lambaikan tangannya penuh semangat tatkala pemuda itu menatapnya. Sisi jahilnya mendadak muncul, meskipun tak ia tidak bisa bereaksi penuh. Itu tak masalah, yang terpenting hatinya berangsur-angsur berubah lebih baik dari sebelumnya.
"Hai Om ganteng! Mau berangkat kerja ya. Jangan lupa makan siangnya nanti. Kalau bisa, jangan lupakan Ara yang cantiknya melebihi Selena gomez dan imutnya melebihi Ariana grande. Catat! Wajah Ara lebih sempurna dari mereka yang menganggap dirinya sempurna. Untuk itu jangan lupakan gadis cantik di depan Om Ini, semangat kerjanya ya Om! Cari uang yang banyak ya Om, untuk bekal calon anak-anak kita di masa depan!"
Pemuda yang baru saja membuka mobilnya itu, langsung cepat-cepat masuk kedalam dan meninggalkan bocah sinting itu. Untung saja hanya satu, jika tidak ia akan mati muda secepatnya.
'Pokoknya harus sabar Sen. Skripsi akhir lo aja belum kelar. Jangan sampai bocah sinting itu menambah beban diri lo.' batin pemuda itu sambil mengangkat kedua tangannya sedikit berdoa.
"Huft... Huft..." pemuda itu hanya menghembuskan napas, kemudian menghirupnya kembali. "Lo harus fokus kerja sekarang, jangan lagi mikirin bocah sinting itu."
Dengan hitungan satu detik, pemuda itu telah melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Meninggalkan Ara yang hanya membuka mulutnya lebar-lebar tak percaya.
"Gue dicuekkin nih!" Ara hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya diselingi tawa yang menggelegar.
*****
1314 Kata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Ai Rusyati
kasian si om d gangguin terus mana si ara d cuekin lg hahaha
2023-06-20
0
Cim Brut Tzy
masih nyimak
2022-04-12
0
Lia Nurliana
judulnya Aksara' tp gak diceritain tentang Aksaranya, kebanyakan si Ara
2021-08-11
0