Keesokan harinya, di ruang tengah, terlihat Sumi dan Airilia sedang menikmati sarapan bersama.
"Bu, Kak Luna di mana? Kenapa enggak ikut sarapan bareng?" tanya Airilia sambil menyendok nasi ke piringnya.
Sumi menoleh ke arah kamar Aluna. "Kayaknya Aluna masih tidur. Ibu lihat dulu, ya."
Airilia mengangguk. Ia bangkit dari tempat duduknya dan membawa piring-piring kotor ke wastafel.
Sementara itu, Sumi melangkah menuju kamar Aluna. Saat pintu kamar terbuka, matanya membelalak melihat Aluna yang sedang muntah di kamar mandi.
"Luna! Kamu kenapa, Nak? Kamu sakit?" Sumi buru-buru menghampiri putrinya dengan wajah khawatir. "Tunggu sebentar, Ibu ambilkan balsem."
Saat keluar dari kamar, Sumi masih tampak panik mencari balsem di lemari.
"Ibu cari apa?" tanya Airilia yang kebetulan melihatnya.
"Ibu mau cari balsem. Kayaknya Kak Aluna masuk angin."
Airilia mengangguk paham, lalu mengambil tasnya. "Bu, aku berangkat sekolah dulu, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan."
Begitu Airilia pergi, Sumi kembali ke kamar Aluna dengan balsem di tangannya.
"Luna, sepertinya kamu masuk angin. Ibu sudah bawakan balsem. Buka bajumu, biar Ibu oleskan."
Sumi berusaha membuka kancing baju Aluna, tetapi tangan Aluna dengan cepat menahan gerakannya.
"Aku enggak masuk angin, Bu..." Aluna menunduk, suaranya terdengar ragu. "Aku... aku sedang hamil."
Mata Sumi membesar. Ia merasa dunianya runtuh seketika. "Aluna... kamu pasti bercanda! Jangan bohong sama Ibu!"
Aluna menggeleng lemah. "Aku enggak bohong, Bu. Ini buktinya."
Ia mengambil sesuatu dari tasnya dan menyerahkannya kepada Sumi—sebuah testpack dengan garis dua yang jelas terlihat, serta foto USG yang menunjukkan janin dalam kandungannya.
Sumi menatap bukti itu dengan tangan gemetar. Napasnya terasa berat.
"Astaghfirullah... ALUNA!"
Tanpa sadar, tangannya melayang dan mendarat di pipi Aluna.
"Anak siapa itu, Aluna?!" suara Sumi bergetar, air mata mulai mengalir di pipinya.
Aluna menunduk semakin dalam. "Anaknya Mas Reza..."
Sumi tersentak. "R... Reza? Reza, suaminya Dinda?"
Aluna mengangguk lemah, rasa bersalah menyelimuti dirinya.
"Bu... maafkan aku..." Aluna bersimpuh di hadapan ibunya, menggenggam ujung kain Sumi dengan erat.
Sumi memejamkan matanya erat-erat, menahan kepedihan yang terasa begitu menusuk. "Luna... bagaimana dengan kuliahmu? Bagaimana dengan impianmu?"
Aluna terdiam sejenak sebelum menjawab. "Bu... aku sudah di-DO dari kampus karena menunggak pembayaran uang semester."
Sumi terkejut. "Apa? Bukankah setiap bulan Ibu selalu mengirimkan uang? Setiap kamu minta, Ibu selalu kirim dan enggak pernah telat! Lalu, ke mana uang itu, Aluna?"
Aluna menggigit bibirnya, suaranya lirih. "Maaf, Bu... uangnya habis untuk gaya hidupku."
Sumi terdiam sesaat. Lalu, dengan suara bergetar, ia berkata, "Kamu keterlaluan, Aluna. Ibu banting tulang agar kamu bisa kuliah... Bahkan Airilia juga ikut membantu Ibu. Tapi apa yang kamu lakukan?"
Sumi berbalik dan keluar dari kamar, meninggalkan Aluna yang masih terisak di lantai.
Di luar kamar, Sumi menahan dadanya yang terasa sesak. "Ya Allah... kenapa Engkau menitipkan anak seperti Aluna dalam rahimku? Sungguh, aku tak sanggup..." batinnya lirih, air mata tak henti-hentinya mengalir.
---
Sepulang sekolah, Airilia mampir ke warung Pak Kumis untuk membeli beberapa keperluan serta lauk untuk makan malam.
"Ini saja, Neng?" tanya Pak Kumis sambil menghitung belanjaannya.
"Iya, Pak. Berapa semuanya?"
"Empat puluh ribu."
Airilia menyerahkan uang lima puluh ribu, lalu menerima kembaliannya. "Terima kasih, Pak."
Saat hendak melanjutkan perjalanan pulang, seseorang memanggilnya.
"Lia!"
Airilia menoleh dan melihat Kak Renata, kakak dari temannya, Ririn, menghampirinya.
"Kak Renata? Ada apa?"
Renata tersenyum tipis. "Katanya Kak Aluna pulang, ya?"
"Iya, Kak. Kemarin sore Kak Aluna pulang."
Renata mendengus pelan. "Dulu katanya enggak mau pulang. Eh, ternyata pulang juga. Cepat banget berubah pikiran."
Airilia hanya tersenyum kecil. "Oh... kalau gitu kapan-kapan mampir aja ke rumah."
Renata mengangguk, lalu berpisah.
Setibanya di rumah, Airilia melihat pintu rumah terbuka lebar. Ia melangkah masuk dan langsung terkejut melihat seorang laki-laki duduk di seberang Sumi dan Aluna. Mata Sumi tampak bengkak, sementara Aluna hanya menunduk diam.
"Lia, cepat masuk kamar!" perintah Sumi tegas.
Airilia terkejut. "Siapa laki-laki tadi? Kenapa Ibu menangis di depannya?" batinnya bertanya-tanya.
Sebagian dirinya ingin menguping, tetapi ia takut ketahuan dan dimarahi. Akhirnya, ia memilih masuk ke kamar dan tidur siang.
---
Di ruang tamu, Sumi masih terisak. Air matanya sudah hampir habis, tetapi kesedihan dalam hatinya terus bertambah.
Ia tidak pernah menyangka bahwa putrinya akan mengalami nasib yang sama seperti dirinya dulu. Aluna akan menikah siri dan menjadi istri kedua.
"Apakah Dinda tahu kalau Reza ingin menikahi putri saya?" tanya Sumi dengan suara parau.
Reza menggeleng.
Sumi terdiam, tak lagi mampu menangis.
"Bu, tolong restui aku dengan Reza. Aku enggak mau anak ini lahir tanpa ayah." suara Aluna bergetar, matanya penuh harap.
Sumi menatap Reza tajam. "Nak Reza, bisakah kamu menceraikan Dinda? Karena saya tidak mau Aluna menjadi istri kedua, apalagi hanya dinikahi secara siri."
Reza menghela napas panjang. "Tidak bisa... Dinda sedang mengandung anak saya."
Sumi meremas tangannya. Kepalanya terasa pening.
"Apakah ada cara lain agar Aluna tidak menjadi istri kedua?" tanyanya putus asa.
Reza menatapnya dengan ekspresi datar. "Ada... dengan cara menggugurkan kandungan Aluna."
Sumi tersentak. "Astaghfirullah...!"
Aluna menggeleng cepat. "Bu, mohon restui aku menikah dengan Reza. Aku tidak mau menggugurkan kandungan ini... Aku sudah tiga kali aborsi, dan rasanya sakit sekali..."
Sumi menatap putrinya dengan mata melotot. "ALUNA...?!"
Dunia Sumi terasa runtuh sekali lagi.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments