Di sebuah kamar kos, sepasang kekasih baru saja menuntaskan hasrat mereka setelah sekian lama tidak bertemu. Sang pria, Reza, sudah memiliki istri, sehingga pertemuan seperti ini menjadi semakin jarang terjadi.
"Reza, kenapa sih kamu keluar di dalam? Kalau aku hamil bagaimana?" tanya Aluna, kekasihnya, dengan nada khawatir.
"Berisik kamu, Luna. Biasanya juga aku keluar di dalam," balas Reza dengan nada tak suka disalahkan.
"Iya, aku tahu. Tapi setidaknya kasih tahu dulu dong kalau mau keluar di dalam! Sekarang aku lagi masa subur. Kalau aku hamil, kamu mau tanggung jawab?"
Reza menatap Aluna melalui pantulan cermin. "Biasanya juga kamu aborsi kalau hamil. Kamu tahu sendiri aku sudah punya istri."
Aluna terdiam sejenak sebelum menjawab, "Iya, tapi aku sudah dua kali aborsi. Kalau aku aborsi lagi, bisa-bisa aku nggak bisa hamil lagi. Kamu tahu umurku sudah kepala dua, kan? Harusnya kamu nikahi aku. Aku nggak keberatan jadi istri kedua."
"Nanti aku pikirkan," ucap Reza singkat. Ponselnya bergetar, menampilkan nama "Dinda" di layar. "Aku harus pulang. Dinda udah telpon, takutnya kita ketahuan," lanjutnya.
Sebelum pergi, Reza mencium kening Aluna dan menyerahkan beberapa lembar uang merah. "Ini buat kamu jajan," katanya, lalu pergi meninggalkan kamar.
Aluna menatap kepergian Reza dari ambang pintu, hendak menutupnya ketika tiba-tiba suara seseorang mengejutkannya.
"IBU YATI!"
"Iya, ini saya. Emang siapa lagi? Kenapa kamu kaget begitu lihat saya?" suara Ibu Yati, pemilik kos, terdengar tajam.
Aluna menunduk, sudah menduga alasan kedatangan Ibu Yati. "Ibu ke sini mau menagih uang kos, ya?" tanyanya pelan.
"Ya jelas! Kamu tahu kan kamu sudah nunggak dua bulan?"
Aluna mengangguk dan menyerahkan lima lembar uang merah kepada Ibu Yati.
"Loh, cuma segini? Masih kurang. Kamu tahu, kan?"
"Maaf, Bu. Aku baru punya segini. Kasih aku waktu satu minggu lagi buat melunasinya," pinta Aluna, suaranya penuh harap.
Ibu Yati melirik tangan kiri Aluna. "Tuh, di tangan kamu masih ada uang. Kenapa nggak lunasin sekarang aja?"
Aluna tersentak. Ia lupa memasukkan sisa uang pemberian Reza ke dalam saku celananya. "Sial, tahu aja aku punya uang lebih," gumamnya dalam hati.
"Emmm... ini uang buat makan dan bayar kuliah, Bu..." jawabnya gugup.
Ibu Yati mendengus. "Ya sudah, karena kamu sudah bayar setengah, saya kasih waktu satu minggu lagi. Jangan sampai telat!" katanya sebelum pergi meninggalkan Aluna.
Begitu memastikan Ibu Yati sudah pergi, Aluna buru-buru menutup pintu. Ia menghela napas lega, lalu menatap sisa uang di tangannya.
"Untung uang ini selamat," gumamnya sambil menghitung. "Masih ada satu juta. Tapi nggak cukup buat beli makeup dan baju. Gajiku masih lama, apa aku minta sama Ibu aja, ya? Lagian ini udah waktunya bayar uang kuliah juga."
Aluna mengambil ponselnya dan mencari kontak seseorang.
"Halo, ini siapa?" terdengar suara wanita di seberang.
"Bibi Asih, ini aku, Luna," jawabnya.
"Oh, Luna toh! Ganti nomor lagi kamu? Gimana kabarmu?"
"Alhamdulillah, baik... cuma aku butuh..."
"Butuh uang, kan?" potong Bibi Asih cepat. "Saya tahu kalau kamu telepon pasti minta uang ke ibumu."
Aluna mendesah. "Iya..."
"Nanti saya sampaikan ke ibumu. Tapi kamu tahu perjanjian kita, kan? Kalau ibumu kirim uang, saya minta sedikit buat beli kuota," kata Bibi Asih.
"Iya... ingat kok," jawab Aluna malas sebelum buru-buru mematikan panggilan.
"Sial banget punya tetangga kayak dia. Bukannya bantuin, malah ikut-ikutan bikin susah," gerutunya. "Ibu juga sama Lia, kenapa sih zaman sekarang nggak punya ponsel? Bikin aku susah aja."
Dengan kesal, ia melempar ponselnya ke kasur. Namun, ketika berbalik, ia terkejut melihat seorang perempuan berdiri di belakangnya.
"Renata! Ngapain kamu di sini? Kagetin aja! Kalau aku serangan jantung gimana?"
Renata, sahabatnya sejak kecil, tertawa kecil. "Lebay banget sih kamu. Lagian tadi aku panggil, tapi kamu nggak dengar. Muka kamu bete banget. Ada masalah?"
Aluna menghela napas panjang dan mengangguk.
"Masalah apa? Siapa tahu aku bisa bantu?" tanya Renata, duduk di atas kasur berhadapan dengan Aluna.
"Rumit. Kamu nggak akan ngerti," jawab Aluna lemas.
Renata sudah kebal menghadapi tingkah sahabatnya itu. "Btw, kenapa hari ini aku nggak lihat kamu di kampus?"
"Aku udah dua minggu nggak masuk," jawab Aluna santai.
"APA?! Kenapa nggak masuk selama itu?"
"Aku di-DO karena nunggak bayar uang semester."
Renata melongo. "Astaga! Terus, uang hasil kerja dan uang yang dikasih Reza selama ini ke mana?"
Aluna memberi isyarat agar Renata melihat ke arah lemari. Dengan rasa penasaran, Renata membuka lemari itu—dan langsung terkejut.
"Luna... ini... ini semua baju dan tas mahal, kan?"
Aluna hanya mengangkat bahu.
"Ya ampun! Jadi uang gajimu selama ini buat belanja doang?!" Renata tak habis pikir.
"Ya terserah aku, lah. Itu uang aku, bukan uang kamu," balas Aluna cuek.
"Iya, aku tahu itu uang kamu. Tapi kasihan ibumu, Luna. Dia kirim uang tiap bulan padahal dia sendiri susah!"
Aluna mendecak kesal. "Terus, kamu ke sini cuma buat kasih ceramah, gitu?"
Renata nyengir. "Ya nggak lah, bestie! Aku ke sini mau ngajak kamu ke kafe baru di depan kampus."
"Mau ngapain kita ke sana?" tanya Aluna malas.
"Emangnya kita mau ke sana buat tidur atau numpang mandi?" ledek Renata.
Aluna tertawa kecil. "Hahaha, oke. Jam berapa?"
"Jam tujuh malam," jawab Renata mantap.
"Pas banget, aku libur kerja," sahut Aluna.
"Ya udah, aku pulang dulu. Jangan lupa jam tujuh!" kata Renata, bangkit berdiri.
"Mau pulang ke mana? Kamar kita sebelahan, Ren. Baru jam tiga sore, di sini aja temenin aku nonton film horor," rayu Aluna.
"Nggak ah! Aku mau nonton sinetron Ikan Terbang. Biar nanti kalau ada pelakor kayak kamu, aku bisa basmi sampai ke akar-akarnya!" goda Renata sambil tertawa.
"Sialan kamu, Ren!"
Renata tertawa lebih keras sebelum buru-buru keluar dari kamar Aluna.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments