Setelah pulang dari klinik, Sumi hanya bisa berbaring di tempat tidur. Airilia melarangnya bekerja atau mengurus rumah agar bisa beristirahat total. Namun, Sumi mulai merasa bosan terus-menerus di dalam kamar.
Ia pun keluar dan melihat Airilia sedang menyetrika pakaian pelanggan.
"Lia, biar Ibu bantu, ya?"
Airilia menoleh dan tersenyum lembut. "Enggak usah, Bu. Ibu istirahat aja. Sebentar lagi aku selesai."
"Tapi Ibu bosan, tahu, di dalam kamar terus," keluh Sumi.
Airilia tertawa kecil. Ia senang melihat ibunya mulai membaik. "Ya udah, Ibu temani aku di sini, tapi Ibu enggak boleh pegang apa pun, ya."
Sumi mengangguk dan duduk sambil memperhatikan Airilia melipat pakaian. Hatinya dipenuhi rasa syukur.
"Ya Allah, terima kasih telah menitipkan Airilia kepadaku. Walaupun ia lahir dari rahim perempuan lain, aku sangat menyayanginya. Jika suatu hari nanti Engkau mengambilku, tolong jaga dia. Aku tak bisa hidup tanpa Airilia… tapi apakah dia bisa hidup tanpaku?"
Tiba-tiba, Airilia melihat ibunya meneteskan air mata.
"Bu… kenapa menangis? Apa Ibu kangen sama Kak Luna?" tanyanya khawatir.
Sumi menggeleng dan menghapus air matanya. "Bolehkah Ibu meminta sesuatu darimu?"
"Tentu saja, Bu. Apa pun permintaan Ibu, aku pasti mengabulkannya." Airilia menggenggam tangan ibunya erat.
Sumi menarik napas dalam. "Ibu ingin setelah lulus sekolah, kamu melanjutkan pendidikan di pondok pesantren di Banjar."
Airilia terkejut. "Bu… tapi aku enggak mau ninggalin Ibu sendiri di sini!" Air matanya jatuh.
Sumi tersenyum lembut, menghapus air mata Airilia. "Ibu enggak apa-apa sendiri di sini. Tolong, kabulkan permintaan Ibu, ya?"
"Tapi kenapa harus di sana, Bu? Di kampung ini juga ada pesantren, kan?"
"Ibu ingin kamu fokus dengan hafalanmu. Di sana banyak teman, dan pondok itu gratis untuk anak yatim."
Airilia masih ragu. Tapi melihat harapan yang terlukis di mata ibunya, akhirnya ia mengangguk pelan.
---
Pertemuan Aluna dan Reza
Sudah hampir lima belas menit Aluna menunggu di Café Kenangan, namun Reza belum juga datang. Rasa kesal mulai menjalari hatinya.
Saat ia hendak beranjak dari kursinya, matanya menangkap sosok yang baru saja memasuki kafe. Reza datang… tapi tidak sendiri. Ia menggandeng tangan Dinda.
Aluna mendecak kesal. "Sial, kenapa dia bawa perempuan itu?" gumamnya.
Reza dan Dinda berjalan mendekat. Sesampainya di meja, Dinda tersenyum manis—senyum kemenangan.
"Selamat pagi, Luna. Silakan duduk," ucapnya ramah, tapi ada nada ejekan di dalamnya.
Aluna hendak pergi, tapi Dinda cepat-cepat meraih tangannya. "Duduk," perintahnya.
Dengan enggan, Aluna duduk kembali. Matanya menatap Reza tajam. "Reza, kenapa kamu bawa Dinda ke sini?"
Reza tampak ragu. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Dinda menyela, "Kenapa? Aku ini istrinya Mas Reza. Jadi, wajar dong kalau aku ikut."
Dinda tersenyum puas, sementara Aluna mengepalkan tangannya, menahan marah. Ia menoleh ke arah Reza, menuntut penjelasan.
"Luna, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan," ucap Reza akhirnya.
Aluna tersenyum penuh harap. "Apa? Kamu ingin menikahi aku? Aku enggak masalah, kok, jadi istri kedua kamu."
Mata Dinda membelalak marah. Ia menatap Aluna tajam.
"Bukan itu," jawab Reza dengan nada serius. "Aku ingin mengakhiri hubungan kita."
Aluna terhenyak. Senyumnya langsung hilang. "Apa? Kenapa? Apa salahku, Reza?"
Dinda tertawa kecil. "Salahmu adalah mencintai suami orang," sindirnya.
Aluna menatap Reza penuh kebingungan. "Reza… jangan bercanda. Kenapa kamu menyakiti aku seperti ini? Aku enggak terima!"
"Luna, maaf. Aku enggak bisa lagi. Aku harus memilih Dinda… karena dia sedang hamil."
"APA? HAMIL?" suara Aluna meninggi.
Dinda tersenyum bangga. "Iya, aku hamil anak Mas Reza. Jadi, mulai sekarang, jauhi suamiku!"
Ia menggamit lengan Reza dan menariknya berdiri. "Ayo, Mas. Kita pulang."
Reza menoleh sekilas ke arah Aluna, lalu mengikuti Dinda keluar dari kafe.
Aluna terdiam di tempatnya. Hatinya terasa hancur. Matanya mulai berkaca-kaca sebelum akhirnya air matanya jatuh.
Dengan suara bergetar, ia berbisik, "Reza… aku sudah memberikan segalanya untukmu, termasuk kehormatanku. Dan sekarang kau membuangku begitu saja?"
Tangannya mengepal kuat. Tatapan matanya berubah dingin, penuh kebencian. "Aku tidak akan membiarkan kalian bahagia. Aku akan balas dendam."
Di luar, langit tampak mendung. Hujan mulai turun, seolah ikut merasakan amarah dan kesedihan Aluna.
Tanpa peduli, Aluna melangkah keluar dari kafe, membiarkan dirinya basah kuyup di bawah derasnya hujan.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments