Di teras rumahnya, Sumi sibuk menjemur pakaian tanpa menyadari ada darah mengalir dari hidungnya. Tetesan darah itu jatuh mengenai bajunya, membuatnya tersentak. Dengan cepat, ia bergegas mengambil daun sirih untuk menghentikan mimisannya.
Saat itulah, Asih yang sedang berjalan di depan rumahnya memperhatikan sesuatu yang aneh.
"Mbak Sumi, kamu kenapa?" tanyanya penasaran.
Sumi mengusap hidungnya dan tersenyum tipis. "Enggak papa, cuma mimisan doang."
Asih mengangguk, lalu bertanya, "Aluna sudah pulang atau belum?"
Sumi menggeleng. "Belum. Memangnya ada apa, Mbak Asih?"
"Oh… belum ya. Saya kira dia sudah pulang. Tadi saya lihat Renata pulang, katanya kampusnya sedang libur."
Sumi sedikit terkejut. "Masa sih?"
"Bener, kalau enggak percaya, kamu bisa tanya langsung ke Mbak Ijah."
Sumi berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, kalau begitu saya ke rumah Mbak Ijah dulu. Terima kasih infonya, Mbak Asih."
Asih tersenyum dan melanjutkan perjalanannya menuju rumah.
---
Sumi tiba di depan rumah Ijah dan melihat Renata sedang duduk di teras bersama ibunya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Eh, Mbak Sumi, ayo masuk." Ijah mempersilakannya duduk di kursi.
Sumi langsung menatap Renata. "Renata, kapan kamu pulang?"
Renata menoleh sambil menyusun buku-buku yang berserakan di lantai. "Pagi tadi, Bibi."
Saat itu, Ijah keluar membawa nampan berisi minuman dan kue kering. "Ada apa, Mbak Sumi?"
Sumi tersenyum. "Begini, kata Mbak Asih, Renata libur kuliah. Kalau begitu, kenapa Aluna tidak pulang?"
Renata mendadak terdiam, menatap Sumi dengan raut wajah yang sulit dibaca.
Ijah ikut penasaran. "Jadi, Aluna tidak pulang?"
Sumi mengangguk. Renata menelan ludah, merasa dilema dengan pertanyaan itu. "Aku harus jawab apa? Kamu keterlaluan, Aluna…" batinnya.
Setelah beberapa detik, Renata akhirnya berkata, "Bibi, aku dan Aluna beda fakultas. Mungkin fakultas Aluna tidak libur."
Sumi mengangguk pelan. "Oh, begitu. Kalau nanti bertemu Aluna, tolong bilang dia harus pulang. Ibu rindu padanya."
"Baik, Bibi. Nanti aku sampaikan." Renata tersenyum kecil.
Sumi kemudian berdiri. "Kalau begitu, saya pulang dulu. Takut Airilia mencari saya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," sahut Ijah dan Renata bersamaan.
---
Pertanyaan dari Airilia
Saat tiba di depan rumah, Sumi masih larut dalam pikirannya. Ia tidak sadar sudah sampai hingga suara Airilia mengagetkannya.
"Bu, ibu habis dari mana?" tanya Airilia yang baru pulang sekolah.
"Ibu dari rumah Mbak Ijah."
Airilia mengerutkan kening. "Ngapain ke rumah Mbak Ijah?"
"Mau tanya sama Renata. Kenapa Aluna enggak ikut pulang, padahal ibu kangen sama dia."
"Terus, apa jawaban Kak Renata?"
"Katanya, dia dan Kak Aluna beda fakultas. Mungkin kampus Aluna tidak libur."
Sumi menghela napas dan bersandar di kursi, sementara Airilia duduk di depannya dengan ekspresi berpikir. Namun, tiba-tiba mata Airilia menangkap sesuatu.
"Bu, kenapa baju ibu ada noda darah?" tanyanya curiga.
Sumi terkejut. Ia lupa membersihkan noda di bajunya. Dengan cepat, ia mencari alasan.
"Eh… ini bekas lipstik. Tadi lipstik ibu habis, terus ibu masukkan air, lalu airnya tumpah ke baju."
Airilia menatap noda itu dengan ragu. "Tapi… kayaknya bukan…."
Sumi buru-buru berdiri. "Udah, yuk makan siang. Ibu sudah lapar."
Tanpa menunggu reaksi Airilia, Sumi langsung masuk ke dalam rumah, tidak ingin putrinya semakin curiga.
---
Pertemuan Aluna dan Reza
Di sebuah taman, Aluna duduk di bangku sambil mengelus perutnya yang mulai menonjol. Matanya sesekali melirik ke arah sekitar, menunggu seseorang datang.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki mendekat.
"Ada apa ngajak aku ketemuan?" suara dingin Reza terdengar saat ia akhirnya sampai.
Aluna menatapnya tenang. "Aku ingin bicara sesuatu. Ini tentang kita."
Reza mengernyit. "Tentang apa? Bukankah kita sudah putus? Aku enggak mau mengecewakan Dinda. Aku juga enggak bisa ngobrol lama sama kamu, takutnya Dinda mengirim seseorang untuk memata-matai aku."
Aluna menarik napas dalam-dalam sebelum mengucapkan kalimat yang membuat Reza terperanjat.
"Reza, aku hamil."
"APA...? Kamu hamil?!" Reza membelalakkan mata.
Aluna mengangguk, lalu mengeluarkan test pack bergaris dua dan foto USG dari dalam tasnya.
Reza menatap benda itu dengan ekspresi campur aduk sebelum menghela napas tajam. "Aku bisa kasih kamu uang berapa pun yang kamu mau, asal kamu mau menggugurkan kandungan ini."
Aluna menggeleng tegas. "Aku enggak mau menggugurkannya."
"Kenapa?! Jangan bilang kamu sengaja melakukan ini biar hubungan aku dengan Dinda hancur!"
Mata Aluna mulai berkaca-kaca, tapi suaranya tetap tegas. "Aku sudah tiga kali aborsi, Reza. Aku tidak mau lagi menambah dosa dengan menggugurkan kandungan ini."
Reza mengusap wajahnya frustasi. "Terus, kamu maunya apa?"
Aluna tersenyum tipis, lalu menatap Reza dengan tatapan tajam. "Aku mau kamu menikahiku."
Reza terkejut luar biasa. "APA?!"
"Ya. Kamu harus bertanggung jawab."
"Dan kalau aku menolak?" Reza menatapnya tajam.
Aluna berdiri dan tersenyum licik. "Gampang. Aku akan pergi ke perusahaan ayah Dinda dan mengatakan kalau menantunya telah menghamili perempuan lain."
Reza mengepalkan tangannya. "Kamu mengancam aku?"
"Menurut kamu?" Aluna menatapnya dengan ekspresi penuh kemenangan.
Reza mendongak, menahan amarah. Ia bahkan hampir menampar Aluna, tetapi urung melakukannya karena menyadari banyak orang di taman yang memperhatikan mereka.
Aluna mendekat, berbisik sinis. "Silakan tampar aku kalau berani. Ada banyak kamera di sini. Kita bisa jadi pasangan viral."
Reza memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya menggeram pelan. "Baiklah. Aku akan menikahimu."
Aluna tersenyum puas. "Aku tunggu kamu datang ke rumah."
Setelah itu, ia berbalik meninggalkan Reza yang masih berdiri dengan wajah penuh frustasi.
Reza menendang batu kecil di depannya dengan kasar. "Sial! Bagaimana kalau Dinda tahu?!"
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments