Setelah menerima telepon dari Aluna, Asih segera keluar dari kamarnya untuk menemui Sumi dan menyampaikan bahwa anaknya meminta dikirimkan uang. Saat melewati dapur, ia melihat putrinya, Yuni, hendak membuang semangkuk sayur sop.
"Yuni, jangan dibuang, mubazir!" Asih buru-buru mengambil mangkuk dari tangan putrinya.
"Enggak mubazir, Bu. Sayurnya sudah basi. Emang Ibu mau makan ini?"
"Ya enggaklah! Bisa-bisa Ibu sakit perut. Cepat ambilkan kantong plastik!"
Yuni mengambil kantong plastik dari laci meja dan menyerahkannya kepada Asih.
"Buat apa, Bu? Kenapa sayurnya dimasukkan ke dalam plastik?"
"Jangan banyak tanya. Ibu mau kasih ke ayam tetangga. Sana pergi!"
Yuni menurut dan masuk ke kamarnya. Melihat putrinya sudah tak ada, Asih segera mengendap-endap keluar lewat samping rumah. Sesampainya di halaman rumah Sumi, ia melihat wanita itu sedang menyapu teras.
"Sumi… Sumi!" panggil Asih.
Sumi menoleh dan melihat Asih mendekatinya sambil membawa kantong plastik hitam di tangan kanan.
"Eh, Mbak Asih, ada apa?" tanya Sumi, merasa heran dengan gelagat tetangganya.
"Tadi Aluna menelepon saya. Katanya dia butuh uang segera dan minta saya mengantarkannya ke bank," ujar Asih dengan senyum licik yang tak diketahui siapa pun.
"Astaghfirullah… Kemarin saya lupa mengirim uang untuk Luna. Tunggu sebentar, ya."
Sumi masuk ke dalam rumah. Beberapa menit kemudian, ia kembali membawa beberapa lembar uang pecahan puluhan ribu yang diikat karet.
"Maaf ya, Mbak Asih, jadi merepotkan. Ini totalnya Rp700.000."
"Enggak apa-apa. Namanya juga tetangga, kita saling membantu. Oh, ini ada sedikit sayur sop buat Mbak Sumi. Kebetulan saya masak banyak," ujar Asih, menyerahkan kantong plastik hitam.
"Wah, terima kasih banyak. Kebetulan kami sudah lama ingin makan sayur sop," kata Sumi sambil menerima pemberian itu.
"Sama-sama. Saya pergi dulu ya, takut bank keburu tutup."
Sumi masuk ke dalam rumah dan menuju dapur, tempat putrinya, Airilia, sedang menggoreng tempe.
"Lia, ini ada sayur sop dari Bibi Asih. Tolong hangatkan, ya. Ibu mau salat Zuhur dulu. Nanti kita makan bareng."
Airilia mengangguk, mengambil panci, dan membuka kantong plastik itu. Namun, begitu melihat isi kantong, matanya membelalak. Sayur sop itu sudah basi—berbuih dan berlendir.
"Astaghfirullah… Kenapa Bibi Asih memberi sayur sop basi?" bisiknya, suaranya bergetar. Air mata menggenang di matanya.
"Ya Allah… Apa yang harus aku lakukan? Ibu sudah lama ingin makan sayur sop, tapi uang kami hanya cukup untuk beli beras," lirihnya.
Tiba-tiba, ia mendengar pintu kamar Sumi terbuka. Dengan cepat, Airilia menjatuhkan kantong plastik ke lantai, pura-pura tak sengaja.
"Lia, kenapa menangis? Apa yang terjadi, Nak?" Sumi segera menghampiri putrinya yang tampak panik.
"Bu, maaf… Lia enggak sengaja menjatuhkan sayurnya. Tangan Lia licin," ujar Airilia dengan suara bergetar.
Sumi menatap lantai yang kini kotor oleh sayur sop tumpah, lalu menarik putrinya ke dalam pelukan.
"Enggak apa-apa. Kamu enggak luka, kan?"
Airilia menggeleng. Rasa bersalah menyelimutinya.
"Tapi, Bu… Gara-gara aku, Ibu enggak bisa makan sayur sop itu."
"Sudahlah, Nak. Ibu enggak apa-apa. Yuk, kita makan. Nasi dan tempenya keburu dingin."
Saat mereka hendak makan siang, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu rumah, disertai suara seorang perempuan memanggil nama Aluna.
"Lia, siapa itu? Biar kamu saja yang buka pintu. Ibu istirahat dulu," ujar Sumi.
Airilia segera berjalan ke pintu dan membukanya. Ia melihat seorang wanita seusia kakaknya, mengenakan dress hitam polos dan berambut panjang bergelombang.
"Cari siapa, ya?" tanya Airilia.
Wanita itu menatap Airilia dari ujung kaki hingga kepala, memperhatikan kaos ungu dengan pita di lengan yang dikenakannya.
"Perkenalkan, saya Dinda. Saya mencari Aluna. Apakah ini rumahnya?"
"Benar, ini rumah Kak Luna. Tapi dia enggak ada di sini. Dia sedang di Banjar. Ada keperluan apa, ya?"
"Boleh saya masuk?"
Airilia mempersilakan Dinda duduk di ruang tamu. Wanita itu menatap kondisi rumah yang tampak reyot dan hampir roboh.
"Lia, siapa yang datang?" Sumi keluar dari kamar, berjalan ke ruang tamu, lalu duduk di sebelah Airilia.
"Nama saya Dinda," kata wanita itu, menatap Sumi dengan mata berkaca-kaca. "Saya datang untuk mencari Aluna karena dia telah selingkuh dengan suami saya. Aluna telah menghancurkan rumah tangga saya."
Sumi dan Airilia terkejut. Sementara itu, air mata mulai mengalir di pipi Dinda.
"Putri saya enggak mungkin melakukan itu!" seru Sumi, menolak tuduhan tersebut. "Mungkin Anda salah orang. Banyak yang bernama Luna di kampung ini."
Dinda mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan meletakkan sebuah foto di meja.
"Apa benar wanita di foto ini putri Tante?"
Sumi menatap foto itu. Aluna tampak tersenyum sambil berpelukan dengan seorang pria di sebuah kafe.
"Enggak… Enggak mungkin…" gumam Sumi, tubuhnya gemetar. "Aluna enggak mungkin melakukan ini!"
Air mata jatuh dari wajah Sumi. Tubuhnya limbung, nyaris jatuh jika tidak segera dipeluk oleh Airilia.
"Tante, sebaiknya saya pamit. Saya hanya ingin menyampaikan ini langsung," ujar Dinda, suaranya penuh kepedihan.
Airilia, yang melihat ibunya semakin terpukul, segera berkata, "Tante Dinda, Ibu saya sedang enggak enak badan. Sebaiknya Tante pulang dulu."
Dinda mengangguk, lalu beranjak pergi.
Setelah menutup pintu, Airilia memapah ibunya masuk ke kamar.
"Bu, ayo ke kamar. Ibu butuh istirahat."
Sumi masih menangis dalam diam, sementara di kepalanya, bayangan Aluna terus berputar.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments