Dua hari, Damar dan Anggi terlihat saling menghindar satu sama lain. Entah apa yang mendasari mereka bersikap demikian, yang jelas keduanya terlihat seperti enggan saling menyapa satu sama lain. Ya, meski sebenarnya Anggi tidak pernah mau menyapa Damar lebih dulu sejak masuk ke perusahaan itu, tetap saja semua melihat ada yang berbeda dari sikap Anggi jika Damar sudah berada di dekat perempuan tersebut.
Lalu malam ini, keduanya terpaksa bertemu dalam satu meja makan yang besar, ketika Edwin --supervisor mereka-- mengundang semua anggota divisi pemasaran untuk makan malam bersama. Niatnya sih, untuk acara perpisahan, karena sebentar lagi akan resign dan membuat usaha miliknya sendiri.
"Pak, sebenarnya… kalau boleh jujur, kita masih sedih loh, Pak, ditinggalin begini? Kayaknya… ada yang hilang di hati ini, pas Bapak bilang mau resign." Keluh Siska pada Edwin, teman satu divisi Anggi, yang tampak memasang wajah sedih di sela makan malam mereka bersama.
"Loh, kenapa sedih? Kan bentar lagi kalian juga bakal dapat supervisor yang baru. Dan lagi, dia juga masih muda dan ganteng, loh…. Saya udah ketemu sama dia." Kata Edwin sedikit tertawa, lalu berbisik jahil pada beberapa wanita yang ada di sana.
"Eh, serius, Pak?"
"Iya seriuslah…. Emang, tampang saya ada tampang penipu, apa?" ujar Edwin terkekeh, menyeruput es lemon yang ada di depannya.
"Ganteng?"
"Ho'oh."
"Single?"
"Belum teken...." Angguk Edwin santai, sontak membuat bisik-bisik riuh tercipta di antara mereka.
"Yeee, Pak! Nggak usah ngomong gitu kali sama dia! Nggak liat apa, saya segede gini di depan mata?" kata Randi --salah satu karyawan di bagian marketing juga-- menyindir, menatap jengkel pada Edwin yang hanya tertawa mengoloknya.
Tidak hanya supervisor itu saja, teman-teman Anggi yang lainnya pun seperti Ditha dan Roni ikut tertawa melihat tatapan cemburu Randi terhadap ucapan Edwin. Sepertinya, mereka tahu kalau Randi itu sedang cemburu dengan sosok pria tampan yang tadi Edwin katakan kepada Siska. Bagaimanapun, gadis kurus berambut sebahu itu kan kekasihnya Randi. Siapa yang tidak kesal coba, kalau ada yang membicarakan sosok pria tampan di depan kekasihnya?
"Lah, kok jadi sewot ke saya, sih? Emangnya saya ada nawarin ke cewek kamu? Saya kan ngomong sama semua perempuan yang ada di sini," kilah Edwin terkikik, memandang jahil pada Randi yang mendengus.
"Oh, kok masih single, mah.... Saya juga ikut penasaran kali...." Timpal Tia, teman mereka yang lainnya lagi, kali ini dibalas anggukan kepala oleh Edwin.
"Loh, emang lo udah berpaling dari Pak Edwin, Ti? Kok malah penasaran sama supervisor baru, sih?" goda Benny, anak marketing yang lain, sontak membuat kedua bola mata Tia membola dan menyenggol lengannya.
"Diam lo!" delik Tia kesal, yang mana bukannya berhenti, malah semakin membuat teman-temannya yang lain tertawa.
"Widiiih.... Belum juga Pak Edwin cabut, lo udah berniat cari penggantinya aja ya, Ti.... Emang benar-benar nggak punya hati lo, ya...!"
"Iya nih, si Tia! Maksud lo apaan, nanya-nanya supervisor baru sama Pak Edwin? Lo sengaja, apa gimana?"
"Apaan sih, lo pada....!"
"Tau, nih, si Tia! Perasaan kemarin, gue denger ada yang nangis-nangis deh, perkara Pak Edwin yang mau resign."
"Eh? Gue nggak nangis, ya!"
"Lah, emang gue ada bilang itu elo?"
Seketika, pecahlah tawa orang-orang yang sedang makan malam di meja besar tersebut. Tia, selaku korban justru menundukkan kepalanya dalam menahan malu karena sudah menjadi bulan-bulanan anak satu divisi. Niatnya ingin membuat Edwin --supervisor yang sejak awal sudah disukainya-- merasa cemburu, dia justru menjadi bahan olok-olokan temannya yang tahu tentang rencana busuk Tia.
Benar-benar memalukan.
"Halah.... Udahlah, Ti.... Nggak usah sok keras. Mending kalo emang suka sama Pak Edwin, pepet aja terus.... Ya, nggak, Pak?" ujar Randi lagi, memainkan alisnya pada Edwin yang hanya tersenyum menggeleng menanggapi ucapannya.
Meskipun dia tahu kalau salah satu anggotanya di divisi marketing --Tia-- menyukainya, dia tetap tenang karena menganggap kalau itu hanya lelucon dari anak yang berusia jauh di bawahnya.
"He'um.... Bener tuh, kata si Randi! Biar supervisor baru itu jadi targetnya Mbak Anggi aja.... Toh, biasanya juga begitu kan?" timpal salah seorang lainnya, kali ini juga langsung disambar juga oleh Ditha yang sejak tadi mendengar.
"Iya, bener-bener...! Emang lo mau, saingan sama si Anggi? Dia pasti nggak bakal mau kalah deh, sama lo.... Apalagi kata Pak Edwin supervisornya ganteng. Jamin gue, si Anggi mah nggak bakal mundur...." Seru gadis itu langsung, sontak membuat semua mata melirik ke arah wanita yang bersangkutan.
Sementara itu, Anggi yang tidak begitu menyimak semua pembicaraan teman-temannya sejak awal, menolehkan kepalanya mendadak ketika merasa Ditha menyenggol lengannya sedikit keras.
"Hah? Apa?" tanya wanita itu bodoh, melihat satu per satu orang yang tersenyum penuh makna ke arahnya.
"Ha? Apa lo kata…? Si Anggi mah, mau itu single apa teken juga, kalau udah sreg mah, tinggal sikat aja…. Dia kan bibit-bibit pelakor. Jadi, mana peduli sama yang begituan. Iya nggak, Nggi?" cetus seorang pria lainnya bernama Iwan dengan santai, memancing perhatian Anggi yang semua terlihat bingung, jadi menatap ke arahnya.
Seperti berpikir sejenak, Anggi hanya menarik seutas senyum tipis ke arah kanan, seolah membenarkan ucapan laki-laki itu terhadapnya.
Kenapa? Dia tidak tersinggung?
Tentu! Memang, Anggi sudah biasa dicap sebagai wanita penggoda di perusahaan tersebut. Tidak peduli itu laki-laki lajang, ataupun sudah berpasangan, kalau jiwa isengnya sedang kumat, dia akan memepet laki-laki itu sampai dapat, hingga akhirnya dia tinggalkan ketika dia sudah mulai muak dengan mereka.
Sedang daripada itu, di sudut yang berbeda, mata Damar tidak lepas dari Anggi yang duduk tidak jauh darinya. Dalam posisi yang berseberangan, Damar bisa melihat jelas bagaimana cerianya Anggi menanggapi ocehan demi ocehan teman satu divisi mereka yang sebenarnya memiliki makna menyinggung Anggi sebagai seorang wanita.
Tapi, kenapa perempuan itu tidak marah? Harusnya kan, dia merasa terhina jika ada yang menganggapnya sebagai seorang wanita yang tidak benar?
"Kenapa? Lo cemburu, karena gue nggak pernah godain lo?" balas Anggi menaikkan sebelah sikunya ke atas meja, dan menatap sombong pria yang tadi mengejeknya.
"Makanya… kalo punya muka itu, gantengan dikit. Jadi, gue selera buat godain lo tiap hari."
"Sialan, lo!" umpat pria itu langsung, tak ubahnya membuat teman mereka yang lainnya pun pada tertawa terbahak-bahak.
Entah apa yang lucu, tapi Damar melihat kalau semua yang duduk bersamanya di meja makan tersebut tampak begitu ceria dengan saling melempar ejekan ringan satu sama lain.
"Halah, kayak bener aja omongan lo, Mbak! Buktinya tuh, Mas Andi. Selama masuk sini, gue nggak pernah tuh, sekalipun lihat lo godain dia. Padahal kan, Mas Andi itu ganteng. Apalagi--"
"Uuu…. Apaan nih, Ti? Kok tiba-tiba lo bilang Andi ganteng? Ini nggak ada maksud ada udang di balik batu kan…?"
Belum selesai perempuan bernama Tia itu berbicara, mengomentari sikap Anggi terhadap Damar, Randi sudah lebih dulu berceletuk dan menggoda perempuan itu dengan kalimat-kalimat absurd layaknya anak remaja yang saling menggoda cinta monyetnya.
"Eh! Apaan sih, lo?! Nggak, ya! Gue kan cuma mau bilang--"
"Mau bilang apa lo? Bilang cinta?" sambar Roni, yang sejak tadi diam di sebelah Anggi, menatap jahil pada Tia yang sedikit kesal melihat mereka.
Apa-apaan ini? Tidak ada angin tidak ada hujan, kok dia jadi bulan-bulanan anak yang lain? Memangnya, dia salah apa? Mengatakan kalau seseorang itu tampan kan, bukan berarti kita mencintainya. Lalu, kenapa dua laki-laki yang ada di depannya ini pada heboh?
"Apaan sih, Ron! Lo itu…."
Terlepas dari aksi saling ejek antara Roni dan yang lain, diam-diam Anggi menghembuskan napas leganya sambil menundukkan kepala. Tadi, dia sempat merasa kaget saat Tia bertanya tentang sikapnya terhadap Damar.
Biasanya, Anggi itu pasti akan menjadi perempuan pertama yang menggoda laki-laki baru di perusahaan mereka. Terlebih, Damar itu memiliki wajah yang tampan. Jadi wajar, banyak orang merasa heran dengan sikap Anggi yang begitu dingin terhadap Damar, sementara biasanya dia seperti cacing kepanasan jika berdekatan dengan laki-laki lain di tempat mereka.
Ada yang aneh?
Tentu saja! Kalau tidak, mana mungkin Tia berani bertanya seperti itu kepadanya.
Sementara itu, Damar yang masih setia dengan kebisuannya dalam mendengarkan suasana, tidak melepaskan tatapannya dari Anggi. Dia tahu, kalau sebenarnya wanita itu sedang menghindar, sama seperti dirinya. Karena kejadian malam itu di apartemen Anggi, keduanya tampak saling menjaga jarak, meski kenyataannya Damar merasa berat melakukannya.
Tidak begitu lama, Damar melihat Anggi seperti jengah berada di tempat itu. Berbisik kepada Ditha sebentar, sebelum akhirnya bangkit meninggalkan perkumpulan menuju toilet yang berada di sudut bangunan restoran.
Tanpa memberitahukan siapapun, Damar juga bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju toilet yang sama. Hanya saja, begitu sampai, Damar tidak masuk ke dalam toilet tersebut dan malah menunggu di depan toilet perempuan sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Si Anggi mah, nggak usah lo tanya. Kalau dia memang udah suka sama cowok, mau itu single ataupun suami orang juga, bakal dia embat."
"Iya, si Anggi mah playgirl-nya bagian marketing. Jadi, udah biasa."
"Abis, Mbak Anggi mah cantik. Montok lagi badannya. Jadi enak gitu buat dilihatin…."
"Eh, mata lo emang, lihat yang mulus aja sukanya. Dasar!"
"Yeee…. Emang kenapa? Salah gitu? Toh, Mbak Anggi sendiri yang pengennya digituin kan?"
"Eh, maksud lo?"
"Ya iyalah! Kalau nggak, mana mau dia pake pakaian seksi dan godain semua cowok di kantor ini! Gue denger juga, di luar dia juga liar, tau! Banyak tuh, orang dari perusahaan lain yang kepincut sama rayuannya dia."
"Emang dah, si Anggi tuh cewek the best! Gue pengen, jadi salah satu cowok yang deket sama dia. Pasti enak banget."
"Enak? Enak apaan nih, maksudnya?"
"Ya, enak lah…. Masa lo nggak tau maksudnya, sih?"
Damar memejamkan kedua matanya rapat sambil menyandarkan bahunya di dinding. Sejujurnya, beberapa hari ini dia banyak mendengar hal-hal aneh yang menyangkut diri Anggi. Tentang dirinya yang selalu menggoda banyak pria, sampai berita miring soal hubungan asmara Anggi yang tidak jauh dari kata sex. Meski sejujurnya hati nurani Damar tidak percaya dengan semua hal buruk itu, logikanya menegur tentang kejadian yang terjadi dua malam lalu di apartemen perempuan tersebut.
Apa benar, Anggi adalah tipe perempuan seperti itu?
Cukup lama menahan emosi yang tertanam di dalam dada, Damar yang melihat Anggi keluar dari dalam toilet, sontak menarik lengan wanita itu dan mendorongnya rapat ke tembok dekat kamar mandi.
"Damar? Apa-apa lo?!"
Anggi yang terkejut mendapati Damar menahan kedua bahunya kuat, sontak meronta dan berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan laki-laki itu.
"Damar!"
"Nggi, dengerin gue dan jawab pertanyaan gue!" perintah Damar keras, bukannya mengendurkan cengkramannya dari bahu Anggi, justru semakin mengeratkannya pada perempuan itu.
"Apa pernah, lo tidur sama laki-laki lain selain gue?"
"Apa?"
Sedikit terkejut, Anggi mengernyitkan dahinya dalam dan heran pada Damar yang tampak tegang memandangnya.
"Apa bener…, lo pernah tidur sama cowok lain… selain gue?" ulang Damar terdengar tidak yakin, lantas menatap kedua bola mata Anggi dengan gerakan yang terlihat resah. Sepertinya, dia ragu untuk menanyakan hal tersebut, namun melawan hatinya untuk tahu perihal kabar burung tersebut.
Sambil menatap menarik napas panjang dan dalam, Damar memejamkan kedua matanya sejenak, kemudian membukanya.
"Tolong jangan bilang… kalau kabar itu emang benar."
Bersambung….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
timin
novel.y bgus bangett tpi kok sepi yah
2021-04-28
0