"Kak, aku takut…."
"Nggak usah takut. Aku bakal pelan-pelan, kok."
"Nanti, kalau terjadi sesuatu gimana?"
"Terjadi sesuatu gimana, maksudnya? Kan ada aku…. Nggak mungkin ada hal buruk yang terjadilah…."
"Maksudnya…, kalau nanti aku hamil, gimana? Soalnya kan, kalau menurut perhitungan yang aku pelajari, sekarang itu masa subur aku, Kak…."
"Masa subur kamu?"
"Iya,"
"Ya udah, bagus dong, kalau gitu. Artinya, kita berdua bisa punya anak bareng. Emang, kamu nggak mau punya anak dari aku?"
Anggi bangun dari tidurnya saat mimpi itu datang lagi mengganggunya. Entah kenapa, beberapa hari ini Anggi selalu memimpikan hal serupa setiap malam. Kalau bukan kejadian yang dia mimpikan, pasti kejadian lain yang menyangkut masa lalunya dengan Damar.
Membayangkan betapa polos --atau bodoh-- dirinya di masa lalu, seketika membuat Anggi merasa merinding di sekujur tubuhnya. Dia bertanya-tanya, kenapa ya, dia bisa setolol itu? Hanya karena kata cinta yang terlontar dari mulut Damar untuknya, Anggi rela diperlakukan apa saja oleh pria itu. Termasuk menjadi wanita murahan, yang mau saja ditiduri oleh Damar hingga membuatnya hamil di luar nikah.
Sumpah, demi apa pun, rasanya Anggi ingin menangis membayangkan betapa bodohnya dia di waktu itu. Hanya karena kata cinta, dia lantas buta kalau sebenarnya Damar tidak pernah mencintainya sama sekali. Hanya ada dia yang selalu cinta kepada Damar dan menganggap Damar adalah orang paling baik yang pernah ada dalam hidupnya. Sampai akhirnya dia sadar, saat dia sudah menjadi istri dari pria itu, kalau sebenarnya Damar, bukanlah orang yang tepat untuk dirinya.
Berusaha menghilangkan gerah yang tiba-tiba saja memeluk dirinya, Anggi pun turun dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur. Dia mengambil sebotol air dingin dari dalam kulkas dan duduk di kursi bar yang ada di dapur mininya.
Sejenak, Anggi kembali teringat bagaimana sikap Damar terhadap dirinya setelah menikah. Meskipun terlihat berusaha menutupinya, Damar tampak sangat enggan untuk berhadapan dengannya. Dia selalu tampak lelah, jika Anggi memanggilnya dan terlihat beberapa kali memasang tampang muak jika sedang berbicara dengan Anggi.
Apa salahnya? Kenapa Damar bersikap seperti itu terhadapnya? Apa dia sudah melakukan sesuatu yang mungkin membuat Damar merasa tersinggung?
Entahlah! Semua pikiran-pikiran itu tidak pernah terjawab semuanya secara jelas. Setiap Anggi bertanya, Damar pasti akan menjawab, "Aku nggak papa, kok", atau " Itu cuma perasaan kamu aja,".
Ah, bagai nasi yang sudah menjadi bubur, Anggi merasa tidak bisa melakukan hal lain lagi selain menerimanya dengan lapang dada. Apa pun yang Anggi lakukan sejak itu, semata hanya untuk anak yang ada di dalam kandungannya. Dia tidak mungkin minta cerai dari Damar. Selain masih mencintai pria itu, Anggi juga ingin memberikan keluarga utuh bagi anaknya kelak. Walaupun lambat laun sikap asli Damar kepadanya semakin terlihat jelas, Anggi tetap berusaha sabar untuk anaknya. Sampai satu ketika, keegoisan Damar membuat Anggi harus kehilangan anak yang selama delapan bulan itu tumbuh di rahimnya. Membuatnya gila, dan akhirnya memutuskan untuk berpisah dengan Damar yang saat itu mengaku menyesal dengan apa yang sudah terjadi terhadap mereka.
Tanpa sadar, Anggi kembali menangis. Diteguknya air dingin dari botol yang tadi dia ambil dengan mata yang memerah.
Demi Tuhan…. Kenapa Damar harus kembali lagi dalam kehidupan Anggi? Tidak puaskah pria itu sudah menghancurkan kehidupan Anggi sejak dulu? Apa masih ada lagi yang ingin pria itu hancurkan dari diri Anggi? Apa lagi yang ingin dilakukan pria itu kepadanya? Selama delapan tahun ini Anggi sudah berusaha untuk mengubur semua luka itu dalam-dalam. Sangat sulit bagi Anggi untuk bertahan dalam duka yang selama ini merong-rong jiwanya. Dan saat dia sudah mulai melangkah dengan kakinya yang pincang, Damar kembali datang dengan seenak jidatnya dan menghalangi Anggi yang ingin terus melangkah maju ke depan.
Ting! Tung!
Anggi masih terisak menelungkupkan wajahnya di atas meja bar, tatkala suara bel apartemennya di tekan oleh seseorang.
Lima detik hingga sepuluh detik, Anggi tetap berada di posisi yang sama, hingga suara bel yang ditekan berulang-ulang mulai mengganggu pendengarannya.
Sedikit kesal, Anggi mengusap wajahnya dengan kasar. Mengumpat sebal, tatkala melihat jam yang menggantung besar di dinding apartemennya itu sudah menunjukkan angka sepuluh malam.
Siapa gerangan tamu tidak berotak yang datang pada jam seperti ini? Apa dia tidak tahu, kalau ini adalah waktunya bagi orang normal untuk beristirahat? Pikir Anggi medumel sendiri, sambil berjalan menuju pintu apartemennya.
"Siapa?" ketus Anggi langsung, begitu pintu itu terbuka dan menampilkan senyum menawan Damar yang sudah menunggunya di depan pintu.
"Hai, Nggi. Selamat malam," sapa pria itu ramah, mengangkat sebuah plastik berwarna putih ke hadapan Anggi, seolah Anggi akan senang saat dia menunjukkan oleh-oleh yang dia bawa.
"Ini buat kamu," ucapnya manis, pada Anggi yang sejak melihat wajahnya tadi hanya menampilkan wajah datar yang bodoh dan tidak berkedip sama sekali.
"Nggi?"
"Pergi lo." Usir Anggi to the point, hampir menutup pintu apartemennya kembali, andai saja Damar tidak langsung menahannya menggunakan tubuhnya.
"Nggi, tunggu!" serunya refleks mendobrak pintu Anggi, hingga membuat wanita itu mundur beberapa langkah karena kaget.
"Lo…"
"Sory, gue nggak sengaja." Cengir Damar tidak enak, melihat wajah Anggi yang memerah menahan marah.
Oh, shit! Kapan sih, Damar itu bisa tidak membuat Anggi merasa marah? Belum juga satu menit mereka bertemu muka. Dan Anggi sudah terlihat seperti banteng yang siap untuk menyeruduknya.
"Gue cuma mau bertamu doang, kok. Gue--"
"Gue nggak terima tamu! Dan gue minta lo keluar sekarang dari apartemen gue, sebelum gue telepon keamanan buat ngusir lo!" hardik Anggi emosi, menudingkan jarinya ke dada Damar yang saat ini sudah berdiri cukup dekat dengannya.
Sesaat, Damar hanya diam. Dia menatap wajah Anggi lekat, dan baru sadar kalau wajah wanita itu terlihat sembab dengan jejak air mata yang mulai mengering di kedua pipinya.
Mungkinkah perempuan itu baru saja menangis? Apakah tangisannya kali ini ada hubungannya dengan Damar?
Menarik napas panjang, Damar kembali menaikkan plastik yang tadi dia bawa ke hadapan wajah Anggi.
"Gue cuma pengen ditemenin minum. Gue lagi banyak pikiran di apartemen. Mungkin… lo juga kayak gitu?" tawar Damar pada Anggi, yang secara perlahan membuat raut wajah tegang Anggi mulai mengendur.
Tidak menjawab, Anggi yang seperti tengah berpikir pun berjalan masuk ke dalam mini bar yang berdampingan beberapa meter dari ruang tamu apartemennya.
Sementara itu, Damar yang merasa kalau Anggi tidak akan mengusirnya lagi, duduk di atas sofa ruang tamu Anggi, setelah sebelumnya menutup pintu apartemen tersebut dari dalam.
Sesaat, dia hanya diam memperhatikan tempat tinggal Anggi yang terlihat jauh dari kata manis tersebut. Berbeda dengan karakter perempuan itu setelah menikah yang terkesan menyukai warna pastel untuk dekorasi rumah dan kamar mereka, tempat tinggal Anggi yang sekarang memiliki kesan yang gelap dan juga dingin untuk ditempati oleh seorang wanita.
Tak lama, Damar melihat Anggi datang dengan membawa dua gelas pendek ke arahnya. Menuangkan minuman kaleng yang tadi Damar bawa, dan seporsi kudapan yang mungkin bisa menemani pembicaraan mereka malam ini.
Kalau saja tadi Damar tahu Anggi akan menerimanya bertamu malam ini, tentu dia akan membawa makanan yang lebih enak dan banyak lagi untuk perempuan itu. Sayang, Damar pikir dia akan diusir dengan sangat keras oleh Anggi dan membuatnya hanya bisa menikmati minuman kaleng itu seorang diri.
Dalam diamnya, Damar tersenyum melihat Anggi menuangkan minuman kaleng itu ke dalam gelas. Meski sebenarnya mereka bisa menikmati minuman tersebut secara langsung dari kalengnya, Damar tidak ingin mengganggu Anggi yang sepertinya punya cara tersendiri untuk menikmati minuman kalengnya.
"Thanks," ucap Damar tersenyum, pada Anggi yang meletakkan satu gelas berisi minuman ke hadapannya.
Walaupun wanita itu hanya diam dan tidak menatap dirinya, Damar sudah merasa cukup puas karena Anggi mau menganggapnya seperti ini.
Tanpa bicara satu sama lain, keduanya tampak larut menikmati minuman kaleng itu dalam diam. Seperti terjebak dalam pikirannya, Damar melihat Anggi terus memutar gelas yang ada di tangannya dengan tatapan mata yang kosong.
"Nggi," panggil Damar pelan, lalu tersenyum singkat pada Anggi yang melirik ke arahnya.
Takut akan mematikan suasana, Damar tampak buru-buru mencari pembahasan yang mungkin bisa dia gunakan untuk membuka komunikasi dengan Anggi. Mungkin hal yang ringan, yang mana itu bisa membuat Anggi merasa nyaman terhadapnya.
"Kamu ingat sama taman yang waktu kita pacaran dulu, nggak? Taman yang ada di dekat sekolah kita dulu. Sekarang udah direnovasi, loh…. Jadi makin bagus. Ada danau buatannya gitu. Sekali-kali, aku pengen deh, ngajak kamu ke sana. Kali aja--"
"Ngapain sih, lo datang ke sini?"
Damar yang tadi sudah mulai asyik bercerita menggunakan tata bahasanya yang lembut khas mereka berpacaran dulu, berhenti tatkala Anggi menyela ucapannya dengan sebuah pertanyaan bernada sinis.
Menaikkan pandangan, Damar melihat Anggi yang menatapnya dengan sorot mata yang datar.
"Ngapain lo datang ke tempat gue malam-malam? Dan apa yang sebenarnya lo mau dari gue?" tanya Anggi lagi dalam, menajamkan pandangannya terhadap Damar, namun tidak terkesan mengintimidasinya.
"Maksudnya apa sih, Nggi? Kan udah aku bilang aku…"
Lagi-lagi, Damar menghentikan kalimatnya di ujung tenggorokan, saat melihat Anggi --yang tadinya duduk di sofa berbeda dengan Damar-- berdiri dan berjalan pelan ke arahnya.
"Apa… yang sebenarnya lo mau dari gue?"
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments