Wajah Arkan terlihat sangat kusut, ketika dia turun dari mobilnya. Moodnya sedang terlihat kacau, tatkala seorang pria muncul dari balik salah satu mobil yang sedang terparkir di basement apartemen tempat Arkan tinggal.
Awalnya, Arkan ingin mengabaikan pria yang tengah berdiri tersebut. Hanya saja, saat dia berjalan hendak melewati pria itu, Arkan baru sadar, kalau orang tersebut adalah Damar, sahabat SMA-nya dulu yang pernah membuat Arkan merasa sangat kecewa.
"Lo?"
Jari telunjuk Arkan refleks menuding wajah pria berekspresi datar tersebut, dengan dahinya yang juga terlihat mengerut dalam. Dengan tatapan tidak percaya, Arkan memperhatikan tubuh pria itu dari ujung kepala hingga kaki. Memastikan, kalau orang yang saat ini di depannya itu memang Damar, atau hanya seseorang yang berwajah persis, mengingat tadi sore dia selalu kepikiran Damar akibat pembicaraannya dengan Anggi waktu di taman.
"Jadi…, yang tadi itu lo?" gumam Damar tidak jelas, menghelakan napas beratnya ke arah lain, mengabaikan tatapan heran Arkan melihatnya.
"Pantesan dia marah sama gue," sambungnya lagi lebih pelan, dimana Arkan yang masih tidak mengerti dengan maksud ucapannya itu mengernyitkan dahinya jijik.
"Mau apa lo ke mari?" tanya Arkan tidak suka, menatap Damar dengan sorot mata permusuhan.
"Gue mau ketemu sama lo,"
"Buat apa? Perasaan, gue udah pernah bilang untuk jangan pernah temuin gue ataupun Anggi lagi. Lo lupa?" sengit Arkan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan memandang Damar sinis.
"Tapi, gue harus ketemu sama lo. Ada yang mau gue bicarain sama lo!"
"Gue udah nggak ada urusan sama lo."
"Kan!"
Arkan yang tadinya bergerak ingin meninggalkan Damar, sontak berhenti, ketika mantan sahabatnya itu memanggil dengan gerakan tubuh refleks yang menghalangi jalan Arkan.
"Lo masih dendam sama gue?" tanya Damar polos, yang sepertinya tidak perlu lagi mendapatkan jawaban apa pun dari Arkan, karena lelaki itu sudah menjawabnya dengan sorot mata tidak suka.
"Waktu itu, kita masih sangat muda. Banyak kesalahan yang mungkin terjadi karena ketidaksengajaan. Dan lo--"
"Ketidaksengajaan?" sela Arkan tajam, menyipitkan matanya tidak percaya dengan ucapan Damar.
"Lo udah nyakitin sepupu gue berulang kali. Bahkan yang terakhir, dia hampir mati karena kesalahan lo. Dan lo bilang apa? Ketidaksengajaan?" tekan Arkan tertawa sinis, lantas mendengus dengan kasar. "Lo masih waras, nggak sih?"
"Kan,"
"Gue udah dengar cerita tentang lo yang juga kerja di perusahaan tempat Anggi kerja. Apa tujuan lo sebenarnya? Nggak mungkin kan, anak seorang pemilik perusahaan besar kayak Golden Warehouse mau kerja sebagai marketing di perusahaan yang bahkan lebih kecil kayak tempat lo sekarang? Apa bokap lo udah bangkrut, makanya lo cari kerjaan lain di luar sana? Atau jangan-jangan, bokap lo udah muak sama tingkah laku lo yang sekarang dan nyoret nama lo dari daftar warisannya? Apa Nyokap lo yang super belain lo itu bisa diam aja, ngelihat ini semua?"
"Kan!"
Arkan yang sejak tadi mencecar Damar dengan sekumpulan kalimat sarkastiknya maju satu langkah, dan menatap lebih tajam pada Damar yang terlihat jengah.
"Pergi dari kehidupan keluarga gue. Orang kayak lo, nggak pantas untuk dapat kesempatan bahkan sebesar debu sekalipun." Ujar Arkan pelan, dengan nada suara yang begitu berat dan dalam.
Tanpa mampu bicara, Damar hanya bisa terdiam membisu menatap kepergian Arkan yang tegas meninggalkannya.
Sial! Kenapa sejak dulu, Arkan selalu bisa mengintimidasinya seperti ini. Hanya dengan melihat sorot matanya yang gelap itu, Damar sudah merasa seperti tengah disiram es di sekujur tubuhnya. Cara Arkan dalam melindungi Anggi selalu sama. Meskipun pada akhirnya Damar selalu bisa menyakiti perempuan itu, tidak bisa dipungkiri kalau Damar merasa sulit dalam mengalahkan Arkan. Terlebih sekarang. Rasanya, Arkan jauh lebih keras kepala dari yang terakhir dia temui.
***
Pagi hari, Anggi yang sudah bersiap akan berangkat kerja menggunakan mobil pribadinya, terkejut mendapati Arkan yang sudah berdiri di samping mobil Anggi dengan posisi kepala yang menunduk.
"Kan?" panggil Anggi pelan, sambil mendekati pria itu yang secara perlahan pula mengangkat kepalanya yang sejak tadi hanya lurus menatap lantai parkiran yang berwarna hitam.
"Lo ngapain di sini?" tanya Anggi heran, dimana pria itu tidak menjawab pertanyaannya, namun hanya diam menatapnya dalam-dalam.
"Kan?"
"Gue nungguin lo."
"Nungguin gue? Buat apa?" tanya Anggi lagi bingung, sekilas menunjuk hidungnya sendiri.
"Gue yang bakal antar lo kerja hari ini."
"Hah?"
"Mana kunci mobil lo?"
Sebelah Arkan menjulur menjulur ke depan, mengadah meminta kunci mobil yang memang sudah Anggi pegang sejak turun dari lift tadi.
"Eh? Lo--"
Pats!
"Masuk!"
Belum juga Anggi menyelesaikan kalimat bernuansa kebingungannya, Arkan sudah lebih dulu merebut kunci mobil dari tangan Anggi dan menyuruh perempuan itu untuk masuk ke dalam mobil.
Seperti tidak ingin dibantah, Anggi melihat wajah ketat Arkan yang kini sudah duduk di balik kursi kemudinya. Membuat Anggi bertanya-tanya, ada apa gerangan yang membuat sepupunya itu jadi terlihat begitu kaku pagi ini? Apakah Arkan mempunyai masalah? Atau… mungkinkah ini ada kaitannya dengan kejahilan Anggi tadi malam yang mencium kemeja Arkan hingga meninggalkan noda lipstik?
"Oh, my god!"
Setengah ngeri, Anggi menipiskan bibirnya sejenak dan masuk ke dalam mobil.
"Sabuk."
"Hah?"
Anggi merasa sedikit kaget, tatkala Arkan menolehkan kepalanya ke arah Anggi dan memberikannya tatapan tajam, seolah dia akan menelan Anggi hidup-hidup. Seketika, Anggi tersadar dengan ucapan Arkan, dan segera memakai seatbelt yang masih menggantung di bebas untuk melingkar di tubuhnya.
Sepanjang perjalanan, Arkan hanya diam. Dia mengemudikan mobil Anggi dengan sangat tenang, namun sarat akan wajah kakunya yang menyimpan banyak beban. Ingin bertanya layaknya orang tidak punya otak seperti biasa, Anggi justru merasa bersalah, kalau memang Arkan marah karena ulahnya yang mencium baju Arkan tadi malam. Ya, meskipun reaksi ini sangat di luar ekspektasi Anggi, dimana dia berharap Arkan datang dan marah-marah kepada dirinya sambil menunjukkan wajah yang nelangsa.
"Tadi malam, Damar nemuin gue,"
Anggi yang tadinya mulai fokus dengan rasa bersalahnya kepada Arkan, mendadak menolehkan kepalanya ke arah kanan.
"Awalnya, gue pengen banget mukul mukanya dia. Tapi, itu cuma bakal bikin dia bertambah senang, karena berhasil menarik perhatian gue. Sedang terakhir kali ketemu, gue udah janji nggak bakal anggap dia siapapun lagi dalam hidup gue."
Arkan menghentikan mobil yang dikendarainya, begitu lampu lalu lintas yang berada di depan mereka, menunjukkan warna merah.
"Gimana menurut lo? Keputusan gue bener kan?"
Sedikit mengerjap, Anggi yang merasa terkejut karena Arkan menolehkan kepalanya secara tiba-tiba dan menatap lekat ke matanya, membuang pandangan ke arah depan.
"Gue nggak salah karena nggak mukul dia kan? Atau…. Lo pengen bilang sesuatu sama gue?" tanya Arkan terdengar sedikit tajam, memperhatikan wajah kaku Anggi yang terus menghadap depan, dengan napasnya yang mulai terasa berat.
"Nggi,"
"Kenapa lo nanya sama gue? Emang apa urusan dia sama gue?" tanya Anggi balik, terdengar begitu dingin, seiring dia menolehkan kepalanya ke arah Arkan.
"Gue nggak ada hubungan apa pun lagi sama dia. Entah lo mau pukul atau bunuh dia sekalipun, itu bukan urusan gue." Kata wanita itu tanpa ekspresi datar, namun seolah menyimpan kemarahan dalam tatapannya.
Untuk sesaat, Arkan tidak membalas apa pun ucapan Anggi dan hanya menatap mata wanita itu lamat-lamat, sampai akhirnya suara klakson mobil yang berada di belakang mereka menyadarkan Arkan, kalau lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau.
Seketika, Arkan mendengus dan membuang pandangannya ke arah lain, sebelum akhirnya menjalankan mobil Anggi yang hari ini mereka gunakan.
Sambil memperhatikan jalan di luar jendela, Anggi mendengar Arkan berkomentar. "Baguslah, kalau gitu. Gue jadi lega dengarnya."
***
Akhirnya, setelah melewati waktu setengah jam perjalanan yang panjang, mobil yang dikendarai Arkan pun tiba di depan sebuah gedung pencakar langit yang merupakan kantor tempat Anggi bekerja.
Dengan perasaan yang sudah sedikit buruk, Anggi pun berniat akan turun menampilkan wajahnya yang bertekuk.
"Nggi," panggil Arkan tiba-tiba, menahan lengan Anggi yang baru saja membuka pintu mobil.
Tidak menyahut panggilan tersebut, Anggi hanya diam sambil menolehkan kepalanya ke arah Arkan.
"Lo tahu kan…, apa yang udah dilakuin cowok itu sama keluarga kita? Lo… nggak akan maafin dia semudah itu kan?" tanya Arkan terlihat agak hati-hati, menatap wajah datar Anggi lekat, seolah ingin menyelami pikiran perempuan tersebut.
Tidak butuh waktu lima detik, Anggi pun segera menjawab, "Tau, dan gue nggak akan sebodoh itu buat maafin dia."
Anggi kembali memalingkan wajahnya hendak keluar dari dalam mobil. Namun, belum juga turun, wanita itu berhenti seolah ingat akan sesuatu hal.
"Oh, ya, satu lagi." Ucapnya lantas menoleh, pada Arkan yang juga kembali menatap ke arahnya.
"Gue harap lo nggak lupa, kalau orang yang disakitinya itu adalah gue. Satu kali lo ngerasa sakit mengingat perbuatan dia, gue sepuluh kali lebih menderita karena kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Jadi, lo nggak usah khawatir kalau soal itu."
Lalu, setelah mengatakan hal tersebut, Anggi benar-benar keluar dari dalam mobil. Melangkah melewati depan mobil dengan menahan emosinya, di bawah tatapan Arkan yang masih menatapnya sesaat setelah dia keluar dari dalam mobil.
Sambil menarik napas panjang, Arkan memejamkan kedua matanya sekali.
"Gue sepuluh kali lebih menderita, karena kehilangan sesuatu yang sangat berharga."
Ya, benar. Bagaimana bisa Arkan lupa dengan penderitaan Anggi yang satu itu? Tentu saja Anggi belum bisa melupakan hal berharga yang merupakan bayi dikandungnya. Karena bayi yang ada di dalam kandungannya itu, Anggi bertahan menjalani rumah tangga yang tidak bahagia bersama Damar. Karena bayi yang ada di dalam kandungannya, Anggi berusaha mendapatkan cinta Damar pasca pernikahan. Dan sayangnya, karena keegoisan Damar, Anggi malah harus kehilangan bayi yang dikandungnya. Bayi yang merupakan anak dari Anggi dan juga Damar. Wajar kalau sekarang Anggi masih marah dan sangat sulit memaafkan Damar, mengingat bagaimana ketidakpeduliannya keluarga Damar saat mendengar Anggi kehilangan bayinya.
Sementara itu, Anggi yang sudah masuk ke dalam gedung perkantoran, berjalan dengan wajah memerah karena menahan emosi yang masih menggelegar di dalam dadanya.
Dia berniat untuk pergi ke toilet dulu untuk membasuh muka, sebelum naik ke lantai di mana divisi tempat dia bekerja berada.
"Nggi!"
Anggi baru akan berbelok ke arah kiri bangunan, ketika dia mendengar Dhita yang memanggilnya dengan cukup keras.
Refleks menoleh, Anggi menghentikan langkah kakinya melihat perempuan yang merupakan teman kompaknya di divisi pemasaran itu mendekat ke arahnya.
"Apaan?!"
Tak bisa menutupi kekesalan, Anggi bertanya dengan sangat ketus pada perempuan itu, hingga membuatnya kaget dan berhenti.
"Lah, lo kenapa dah? Kok tiba-tiba marah sama gue? Sakit lo?" ceplos Dhita sengit, yang sontak membuat Anggi tersadar dan menghelakan napas panjang.
Sialan. Penyakit Anggi yang satu ini memang agak sulit untuk dilepas. Hanya karena kesal dengan seseorang, dia bisa menyembur siapa saja yang menegurnya di jalan. Padahal, belum tentu mereka tahu masalah yang saat ini tengah dia hadapi. Tapi, Anggi, sudah memukul ratakan semua orang dengan menganggap mereka tidak mengerti situasi sama sekali.
"Apaan sih, lo? Pergi sana! Gue lagi nggak mood!" usir Anggi malas, masih terlihat marah saat membalikkan tubuhnya dari Dhita.
"Eh, Dhit! Nggi!"
Baru akan meninggalkan Ditha yang medumel sendiri, Anggi kembali refleks berhenti tatkala mendengar suara lainnya yang memanggil dari arah belakang.
Saat berbalik, dia melihat Roni tengah berjalan bersama Damar ke arah dirinya dan juga Anggi.
Perasaan Anggi yang tadinya sudah terasa panas, terasa kian mendidih, saat melihat pria itu tersenyum ke arahnya seolah tidak ada masalah apa pun di antara mereka.
"Hai, Nggi? Baru datang?" tegur Damar santai, masih melemparkan senyum manisnya ke arah Anggi yang tentu masih berwajah masam menatapnya.
Tidak menjawab, Anggi justru mendengus dan membuang pandangannya ke arah lain.
"Eh, lo berdua kok tumben datangnya barengan? Janjian, ya?" goda Ditha iseng, yang malah dibalas lirikan mata sinis dari Roni.
"Nggi, tadi gue lihat mobil lo jalan keluar. Gue kira, lo pergi lagi. Lo nggak bawa mobil, ya?" tanya Roni mengalihkan, pada Anggi yang menoleh ke arahnya.
"Nggak. Anggi tadi datangnya dianter sama cowok. Ganteng gitu, sih…. Siapa tuh, Nggi? Gebetan baru lo, ya? Boleh kali, kenalin ke gue…." Ceplos Ditha menyerobot Anggi yang tampaknya baru akan angkat suara menjawab pertanyaan Roni.
"Dianterin cowok?" ulang Roni mengernyit, entah kenapa melirik ke arah Damar yang saat ini tengah menatap wajah Anggi datar.
"Hm…. Itu siapa lo sih, Nggi? Tumben-tumbenan lo pagi-pagi udah dianterin sama cowok. Mana ganteng pula…. Kenalin, dong…." Goda Ditha lagi, menyenggol lengan Anggi, hingga membuat wanita itu mendecak sebal meliriknya.
"Lo kok kepo banget, sih?! Ingat tuh, sama tunangan lo yang udah keluarin banyak uang buat ngikat lo! Dasar genjen!" seru Anggi mengomel, tak ayal membuat Ditha cemberut dan menggembungkan pipinya sebal.
Heran, kenapa Anggi jadi super cerewet begini? Dhita kan hanya minta dikenalkan doang, lalu kenapa dia harus mengomel? Toh, biasanya Anggi akan bersikap sok paling cantik, jika sudah mulai dekat dengan seorang laki-laki baru.
"Tau nih, cabe satu, kepo banget sama urusan orang! Mending lo pikirin tuh, tunangan lo yang otaknya rada kurang." Timpal Roni kepada Ditha yang sontak saja membuat perempuan itu merasa terpojokkan dan menatap kaget pada dua teman kurang ajarnya itu.
"Heh! Lo berdua pada kenapa, sih?! Kok sensitif banget, pagi ini? Kompakan, ya?! Gue 'kan cuma nanya doang….!" ujar Ditha kesal, menatap gantian pada Roni dan juga Anggi. "Lagian, siapa yang kepo, sih? Emang benar kali, gue lihat Anggi itu dianterin sama cowok pagi ini. Sebagai temen, kan wajar, kalo gue nanya, itu siapa? Kayak lo nggak tau si Anggi itu gimana aja…. Bisa jadi 'kan, itu cowok barunya dia," imbuh Ditha emosi, seketika membuat Roni seperti kehabisan kata-kata.
Sekali lagi, dia melirik ke arah Anggi, sebelum akhirnya dia menatap sedikit pada Damar yang masih juga menatap Anggi dengan ekspresi datar.
Fix! Sepertinya benar, ada yang tidak beres antara Anggi, dan anak baru yang ada di sebelahnya ini.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments