Rasanya, perasaan Anggi benar-benar kacau hari ini. Semua pekerjaan yang dia lakukan, tidak ada yang berjalan baik. Keresahan selalu saja menghantui dirinya, tatkala mengingat kejadian tadi pagi, dimana Damar dengan seenak jidatnya saja memperdaya Anggi terlihat rela dicium oleh laki-laki itu. Padahal, nyatanya, Anggi sangat membenci pria itu, bahkan sangat ingin mengiris kulit tubuhnya yang sempat disentuh oleh laki-laki kurang ajar tersebut.
Namun, alih-alih melukai dirinya, Anggi tetaplah akan menjadi seorang Anggi. Wanita pengecut, yang tidak berani menghukum dirinya lebih kejam lagi, hanya bisa sekedar memberikan peringatan atas diri sendiri agar tidak terlalu bodoh, menjadi seorang wanita. Dia hanya bisa diam, menangis dalam dengan dan kesendirian, dan meratapi apa yang tidak bisa dia ubah lagi dalam hidupnya.
"Kita udah sampai. Lo yakin, nggak mau gue antar aja ke rumah Nyokap lo?"
Anggi mengangkat kepalanya yang sejak tadi menunduk, melihat sebuah gedung apartemen yang berdiri kokoh di sebelah mobil Arkan berhenti saat ini. Karena hati dan pikirannya sedang kacau, Arkan menawarkan diri untuk mengantar Anggi pulang ke apartemennya. Menggunakan mobil Arkan, karena tadi pria itu sudah meminta asistennya membawakan mobil Anggi pulang lebih dulu.
"Gue nggak papa, kok. Gue di sini aja," ucap Anggi pelan, melepas seatbelt-nya dengan kondisi tubuh yang lemah.
"Atau, gue temenin lo di apartemen? Gue takut, lo sakit lagi kayak waktu itu." Arkan sudah akan menjalankan mobilnya lagi menuju basement, saat Anggi menahan lengannya dan menyuruhnya untuk berhenti.
"Gue bisa sendiri. Gue cuma butuh tempat yang tenang buat berpikir." Sergah wanita itu dengan tatapan matanya yang lesu.
"Tapi--"
"Kalau gue sakit, gue janji, lo bakal jadi orang pertama yang dapat telepon dari gue. Gue nggak akan diem aja kayak yang terakhir itu," ujar Anggi menyela, sesaat membuat Arkan terdiam, menatap wajahnya dalam-dalam.
"Bener lo, nggak papa?" tanya pria itu lagi, memastikan kalau Anggi memang tidak apa-apa jika ditinggalkan seorang diri.
"Hm, gue nggak papa," yakin Anggi kemudian, melihat Arkan perlahan-lahan menghelakan napas berat yang panjang.
"Ya udah, deh, kalau gitu. Gue pulang aja," kata Arkan, melirik sekilas Anggi yang tersenyum kecil.
Anggi sudah hampir turun dari dalam mobil Arkan, namun segera dicegah oleh pria itu yang menahan sebelah lengannya sedikit kuat. Membuat Anggi menoleh, dan agak terkejut ketika melihat Arkan memeluknya.
"Lo harus baik-baik aja, Nggi. Karena lo, udah gue anggap sebagai adik kandung gue sendiri. Gue sayang sama lo, kayak gue juga sayang sama Bagas. Jadi, gue mohon sama lo, untuk tetap kuat dan pilih jalan yang bisa membuat lo bahagia," ucap Arkan di telinga Anggi, terdengar begitu peduli padanya.
"Jangan menghukum diri lo lagi lebih dari ini. Masih ada Nyokap lo yang harus lo bahagiakan dan lo tebus kesalahan yang pernah lo lakuin terhadap beliau dengan memberinya kebahagiaan. Lo pikir, orang tua mana, yang senang melihat anaknya susah, meskipun pernah berbuat kesalahan besar sebelum ini?" bisik Arkan lagi, lalu melepaskan pelukannya untuk melihat wajah Anggi yang kini menjadi terlihat sendu.
"Sedih boleh, tapi jangan sampai berlarut-larut. Masih banyak kok, orang yang peduli dan sayang sama lo, meskipun lo pernah ngelakuin kesalahan di masa lalu," bujuk Arkan lagi, hampir membuat Anggi mewek dengan mengedipkan kedua matanya beberapa kali.
"Udah, ah! Lo mau hampir bikin gue nangis lagi, nih! Akh!" rutuk Anggi, menepuk lengan Arkan kuat, sambil menyeka air matanya yang sedikit menggantung.
"Loh, emang gue ngapain, sampek lo mau nangis gitu? Kan gue cuma ngomong doang, biar lo nggak sedih. Tapi, kok lo mau nangis, sih?! Aneh…!" balas Arkan cemberut, melihat Anggi dengan sorot matanya yang menyebalkan.
"Rese lo!" maki wanita itu, sontak membuat Arkan tertawa.
"Ya udah, keluar sono! Gue mau pulang, nih! Bentar lagi mau ujan, kayaknya," usir Arkan, sekarang membuat kedua mata Anggi membola.
"Lah, apa urusannya sama ujan, coba? Lo kan bermobil…. Berasa naik motor kali lo, ya, sampek takut keujanan segala!" gerutu Anggi sewot, tetap pilih ingin keluar dari mobil tersebut.
"Ya bukan gitu, sih…. Rencananya, gue mau nemuin seseorang dulu sebelum pulang. Kan nggak enak tuh, berkunjung pas lagi ujan-ujan. Entar, yang ada, malah terjadi hal yang enak-enak lagi…. Kan bahaya," kata Arkan enteng, seketika saja membuat tubuh Anggi membeku, menatap horor ke arah kakak sepupunya tersebut.
Sebentar…. Dia kok seperti mencium aroma-aroma orang kasmaran di mobil itu, ya?
"Lo mau ketemu sama cewek?" terka Anggi, yang dibalas dengan gidikan bahu serta senyuman menjijikkan dari Arkan.
"Do'ain, biar cepat jadi kakak ipar lo," kata pria itu bangga, kali ini dibalas Anggi dengan seutas senyum sinis di bibirnya.
"Oh, ya?" dengus wanita itu, lantas mendekat ke arah Arkan dan langsung mencium kemeja putih pria itu di bagian dada.
Cup!
"Eh, ubi! Lo ngapain?!" pekik Arkan kaget, mendorong bahu Anggi untuk segera menjauh dari tubuhnya.
Sementara itu, Anggi yang merasa puas telah meninggalkan jejak bibirnya di kemeja Arkan, hanya tersenyum penuh makna pada laki-laki tersebut.
"Nggak ada…. Cuma mau titip perkenalan aja, sama calon kakak ipar," cengir Anggi menahan tawa, menekan kata kakak ipar, seolah itu adalah sindiran untuk Arkan.
"Hah? Maksud lo?"
Arkan yang sepertinya tidak sadar dengan bekas lipstick Anggi yang tercetak di bagian dada kemejanya, hanya mengerutkan dahi heran menatap perempuan itu.
"Nggak ada maksud apa-apa! Pergi sana! Gue ngantuk! Gue mau tidur di apartemen gue," usir Anggi gantian, keluar dari mulut Arkan, diiringi dengan tatapan pria itu yang masih heran memandangnya.
Namun, karena Anggi memang terbiasa melakukan sesuatu hal yang aneh --bukan hanya kepadanya saja--, dia jadi tidak terlalu mengambil pusing tingkah laku Anggi barusan dan memutuskan untuk pergi dari hadapan wanita tersebut.
Sambil terkekeh pelan, Anggi yang melihat tampang polos Arkan pergi dari hadapannya, hanya melambai-lambaikan tangannya prihatin ke arah mobil pria itu yang menjauh, seolah dia tahu kalau pria pasti akan mendapatkan masalah setelah ini.
"Semangat, Kak Arkanku sayang…." Ejek Anggi bergumam, lantas tertawa sambil melangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung aparetemen.
"Hampir satu harian ini gue khawatir sama keadaan lo. Tapi ternyata, lo malah asyik-asyikan pacaran sama cowok lain. Mana pake acara ciuman segala, lagi. Hebat emang, lo…."
Tubuh Anggi menegang seketika, mendengar suara itu berasal dari arah belakangnya. Pelan namun pasti, dia menoleh dan mendapati sosok Andi sudah berdiri tepat di belakangnya dengan sorot mata tajam dan juga sinis.
"Lo…?" tuding Anggi pada pria itu, yang mana dia langsung memasang sikap defensif, takut-takut pria itu akan menyerangnya lagi seperti tadi pagi.
"Kenapa? Takut sama gue?" tanya Andi alias Damar, dengan nada penuh sindiran.
"Kenapa mesti takut? Emang, lo takut gue apain? Gue kan nggak pernah nyakitin lo," katanya masih sinis, melipat kedua tangannya di dada, sambil terus berjalan, hingga memojokkan Anggi ke tembok.
"Atau, lo takut gue cium lagi kayak tadi pagi? Atau…." Gantung Damar pura-pura berpikir, membuat Anggi semakin terlihat pucat menatapnya.
"Lo cuma pura-pura kelihatan takut, biar gue ngiranya, lo itu memang cewek baik-baik, iya?"
"Hah?"
Damar menarik sudut bibirnya dan tertawa sumbang. "Anggi… Anggi…. Ternyata selama ini, gue udah salah sangka sama lo. Gue kira, lo emang nggak pernah berubah dari sikap lo delapan tahun yang lalu. Menjadi Anggi yang polos dan juga naif. Tapi ternyata…."
Damar tampak menggelengkan kepalanya sejenak dan kembali berkata, "Lo semakin mudah untuk didapatkan. Murah…."
Jantung Anggi rasanya seperti berhenti untuk berdetak. Menatap bagaimana cara Damar memandangnya membuat hati Anggi terluka. Seperti tengah menatap seonggok kotoran, yang tidak layak untuk dipandang sama sekali.
"Cowok sial mana yang barusan ciuman sama lo? Apa ciuman gue tadi pagi itu kurang, buat menuhin hasrat lo yang pengen disentuh itu? Kalo lo mau, gue bisa kok, ngelakuin itu buat lo. Bila perlu, gue bayar. Jadi, selain mendapat kepuasan, lo juga dapat untung karena bisa tidur bareng gue. Lo udah pernah ngerasainnya. Dan pasti lo tau kan, gimana enaknya tidur sama gue?" cecar Damar begitu tinggi, jelas sekali merendahkan harga diri Anggi yang mendengarnya.
Tidur dengan imbalan bayaran?
"Emangnya, lo pikir gue ini apa? Gue--"
"Lo lebih rendah daripada itu!"
Brak!
Anggi tersentak kaget, hingga memejamkan matanya, tatkala Damar memukul dinding lift yang ada di belakang Anggi dengan tenaga yang keras. Dari deru napasnya yang terdengar, Anggi tahu, kalau pria itu sedang marah sekali kepadanya. Dan dia, sangat takut untuk melihat wajah pria itu ketika sedang marah.
"Lo boleh bersikap centil sama cowok lain di depan gue, Nggi! Tapi jangan sampai lo ciuman sama cowok itu! Gue nggak rela!" bentak Damar begitu emosi.
Sesaat, Anggi hanya terdiam dengan kepala yang menunduk dalam. Tubuhnya gemetar takut, melihat kemarahan yang tergambar nyata dalam wujud laki-laki itu.
"Lo murahan! Lo perempuan gatel yang--"
Plak!
Emosi, Anggi pun langsung menampar pipi Damar dengan tangan ringkihnya sekuat tenaga. Sekarang, gemetar yang ada di tubuhnya kini bukan lagi soal ketakutan. Melainkan kemarahan, karena sejak tadi Damar terus saja menghinanya sebagai wanita murahan.
"Siapa lo? Berani menghina gue seenaknya?! Lo pikir, lo berhak ngata-ngatain gue kayak gitu, hah?! Lo pikir, lo siapa?!" bentak Anggi marah, mendorong dada Damar hingga mundur beberapa langkah.
"Gue peringatin sama lo ya, Bangsat! Lo bukan siapa-siapa gue! Lo nggak punya hak apa pun untuk mengomentari hidup gue! Mau gue jalan sama cowok lain, kek, ciuman sama orang lain, kek, atau bahkan tidur sama cowok lain juga, itu bukan urusan lo! Jadi, nggak usah sok ikut campur sama semua hal yang berkaitan sama hidup gue. Paham?!" tuding Anggi berikutnya, memukul sekali dada Damar yang terpaku emosi menatapnya.
"Perlu lo ketahui, kalau gue emang nggak peduli sama apa pun yang berkaitan sama lo. Terus, kenapa lo mesti repot mikirin hidup gue?"
Anggi menatap satu per satu kedua mata Damar yang menatap nyalang ke arahnya.
"Lo bilang, gue murahan. Ini bukan kali pertamanya lo menghina gue kayak gini. Tapi, kenapa lo tetap ngejar gue sampai ke mari? Selera lo emang udah turun, sampek harus menjilat ludah lo sendiri yang udah lo buang ke atas tanah?" sindir Anggi kemudian, tersenyum pahit, menatap Damar yang masih terdiam di tempatnya.
"Kasihan,"
❄
Anggi mencampakkan tas bahunya ke atas ranjang dengan kasar, seolah-olah itu adalah Damar yang sudah membuatnya nyaris gila seperti ini.
Dengan napas yang berhembus kencang hingga dadanya naik turun, Anggi duduk di atas ranjangnya sambil mengumpat. "Brengsek!" berulang kali.
Dia menyurai rambutnya yang sempat berantakan, dan menghapus air mata yang tiba-tiba saja mengalir di pipinya.
Sejenak, dia mengusap air mata yang menetes itu dengan sabar, hingga lama kelamaan, dia jadi sebal sendiri, karena bukannya berhenti, air matanya justru mengalir semakin deras, hingga dia terisak marah.
"Apaan sih, nih! Dasar goblok! Ngapain gue pake nangis segala, coba?" geram Anggi di sela tangisannya, menggerutu pada dirinya sendiri sambil terus mengusap air matanya dengan kasar.
Teringat dengan Damar yang tadi dia tinggalkan di loby apartemen, membuat Anggi merasa semakin marah dan menangis sejadi-jadinya. Dia ingin meluapkan semua emosi itu hingga habis tak bersisa. Dia ingin berteriak, dia ingin memaki, dan dia ingin melempari apa pun yang bisa dia lakukan saat ini.
Namun, kendati melakukan itu semua, ucapan Damar yang tadi begitu tajam mengenai dirinya, membuat seluruh tenaga Anggi seperti habis. Tubuhnya lemas, sama seperti hatinya yang juga tidak bisa lagi mengungkapkan rasa sakit yang saat ini tengah dia rasakan.
"Lo itu bener-bener cewek murahan, ya?! Dibayar berapa sih, lo, sampai mau dipegang-pegang gitu sama cowok lain? Hah! Dibayar berapa?!"
"Kak…! Aku--"
"Nyesel gue nikahin cewek rendahan kayak lo!"
"Kak!"
"Apa?! Omongan gue emang bener, kan? Lo emang murahan! Nggak cuma satu atau dua orang yang ngomong gitu soal lo! Guenya aja yang terlalu bodoh, bisa terus bertahan sama cewek macam lo ini!"
"Kakak…. Kenapa Kakak ngomong gitu? Aku--"
"Ah, udahlah! Gue males ngomong sama lo! Nggak ada gunanya! Sama aja kayak ngomong sama kayu!"
Seperti dejavu, Anggi merasa dirinya kembali pada kenangan telapan tahun yang lalu, dimana semua rasa sakit itu terus saja datang bertubi-tubi kepadanya. Karena cinta, karena kasih sayang yang dia punya, karena suami, dan karena ayah dari bayi yang dia kandung bernama Damar Alfandi.
"Jangan-jangan… bayi yang ada di dalam kandungan lo ini, bukan anak gue lagi,"
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
💕Nindi💕
kok Damar gitu sih 😤
2021-11-03
0
Astuti Abata
gumeus deh
2021-04-17
0
Asyifa
kalo gue jadi Anggi biarpun gue masih cinta banget sama Andi gue ogah balik lagi emang cowok cuma dia doang 😤
2021-04-03
0