Delapan tahun yang lalu, Anggi masih menjadi seorang gadis remaja yang polos dan juga lugu. Setiap pulang sekolah, dia akan langsung pulang ke rumahnya. Tidak suka melanggar peraturan yang sudah ayahnya buat, dan selalu menuruti apa pun perintah yang diberikan orang tuanya kepadanya.
Di sekolah, Anggi hampir tidak memiliki teman. Teman sekedar teman sih, ada. Hanya saja, teman yang bisa dia ajak mengobrol dan berbagi cerita, itu tidak ada. Dia selalu sibuk pada dirinya sendiri, dan urusan nilai sekolah yang harus dia kejar untuk membuat ayahnya bangga saat pembagian rapot nanti.
Sebenarnya, Anggi bukanlah tipe anak yang sombong dan tidak mau bergaul dengan orang lain. Hanya saja, doktrin dari ayahnya yang selalu menyuruhnya jaga jarak dengan anak-anak lain, membuat Anggi tanpa sadar membentuk jiwa introvert dalam dirinya. Dia selalu merasa iri jika melihat teman-temannya saling akrab satu sama lain. Namun, untuk ikut akrab bersama mereka, rasanya Anggi tidak bisa. Ada rasa canggung dalam dirinya, karena selama ini dia seperti menutup diri dari lingkungan yang ada di sekitarnya.
Hanya Arkan dan Bagas yang menjadi teman bermain Anggi sehari-hari. Arkan adalah kakak sepupunya, yang berusia satu tahun diatasnya dan saat ini sudah duduk di bangku kelas tiga SMA. Sedangkan Bagas, adalah adik Anggi yang saat ini masih duduk di kelas satu SMP.
Terkadang, Anggi merasa bosan, jika terus menerus bermain dengan mereka. Terlebih, mereka itu adalah cowok, yang mana selera dalam hal cerita dan permainan akan selalu kelihatan berbeda. Ditambah Arkan yang sedang jarang datang ke rumahnya untuk bermain bersama --karena sudah lebih sering bermain dengan teman-teman sekolahnya--, semakin membuat Anggi merasa kian kesepian jika sudah pulang dari sekolah.
Pernah satu kali timbul dalam benak Anggi untuk memberanikan diri berteman dengan salah satu anak yang ada di kelasnya. Namun, memulai pertemanan itu juga bukanlah hal yang mudah, dimana anak itu langsung memandang aneh kepada Anggi yang tiba-tiba saja kelihatan sok akrab, padahal sebelumnya selalu bersikap menyendiri dengan duduk di bangku paling depan kelas mereka.
Malu, akhirnya Anggi pun menyerah untuk mencoba memulai pertemanan lagi. Dia akhirnya pasrah dengan sifatnya yang apa adanya, dan lebih memilih untuk fokus lagi dalam urusan belajarnya agar bisa masuk ke perguruan tinggi yang bagus.
Sampai suatu hari, Mira, ibunya Anggi menyuruhnya untuk mengantarkan sekotak makanan untuk Arkan. Letak sekolah Anggi dan Arkan yang hanya bertetangga saja, membuat Mira berinisiatif untuk meminta bantuan anaknya itu mengantarkan makanan tersebut pada Arkan. Dan membuat Anggi --mau tidak mau-- harus singgah ke sekolah kakak sepupunya itu dulu, sebelum pulang ke rumah.
Siang itu, Anggi sedikit gugup, karena yang dia masuki adalah sebuah sekolah kejuruan yang mana semua siswanya adalah anak laki-laki semua. Mulai dari masuk pagar utama hingga sampai pos satpam, Anggi terus saja diperhatikan oleh banyak anak laki-laki dan membuatnya sangat tidak nyaman.
"Se--selamat siang…. Maaf, saya mengganggu. Saya… saya mau ketemu sama Arkana Wiranda. Dia anak kelas tiga. Kira-kira, Bapak tau dia dimana, nggak?" sapa Anggi gugup, bertanya pada seorang satpam yang ada di sana, sambil terus berusaha mengabaikan tatapan anak laki-laki yang terus menatapnya.
"Oh, mau ketemu sama si Arkan, ya? Coba di SMS atau telepon aja, Neng. Bapak juga kurang tau, jam segini anak-anak itu pada di mana. Entah udah pulang apa belum juga, Bapak nggak lihat," sahut Bapak Satpam tersebut ramah, sambil tersenyum kepada Anggi.
"Engh… anu… Hp saya… ketinggalan. Jadi…"
Anggi yang bingung harus menghubungi Arkan kemana pun, meringis mengingat ponselnya yang tadi ketinggalan di rumah. Sebagai anak yang tidak memiliki banyak teman, ponsel bukanlah suatu barang yang begitu penting baginya. Jadi, dia sering melupakan benda itu, sudah ada di tasnya atau tidak. Toh, saat nanti dia cek juga, belum tentu ada orang yang menghubunginya. Jadi, buat apa benda itu dibawa? Bikin repot saja. Pikir Anggi suatu ketika.
Melihat raut wajah Anggi yang terlihat bingung, satu orang satpam lainnya yang baru saja datang --entah dari mana--, langsung bertanya kepadanya.
"Ada apa, Neng? Ada yang bisa dibantu?" tawarnya pada Anggi yang langsung dibantu sahut oleh satpam yang pertama.
"Eh, itu… Neng ini nyariin si Arkan. Ada nampak, nggak? Neng ini nggak bawa hape, soalnya…." Ujar satpam tersebut, sontak membuat satpam yang kedua mengerutkan dahinya sedikit dalam.
Tampaknya, dia sedang berpikir.
"Oh, si Arkan?" beo satpam kedua, lantas menganggukkan kepalanya.
"Lihat. Tuh, ada dekat parkiran dalam. Neng masuk aja, udah jam pulang sekolah kok, ini…. Nggak papa," ucap satpam itu menunjuk ke arah parkiran sekolah tersebut, yang hanya berjarak sekitar lima belas atau dua puluh meter dari pos satpam itu berada.
Dalam jarak yang cukup dekat itu, Anggi bisa melihat siluet Arkan yang saat ini tengah berkumpul dengan teman-temannya di bawah pohon jambu yang ada di parkiran tersebut.
Tampak, cowok itu sedang asyik bercanda dengan teman-temannya yang lain, sampai tidak sadar kalau Anggi yang sudah berjalan ke arahnya dengan membawa sekotak bekal makan siang titipan dari Mamanya.
"Arkan," panggil Anggi agak gugup, tatkala panggilannya itu bukan hanya menghentikan tawa Arkan seorang, melainkan sekumpulan anak-anak yang ada di sana.
Seolah tidak pernah bertemu dengan makhluk berjenis kelamin perempuan, sekumpulan anak cowok itu tampak membeku di tempat mereka masing-masing, dan menatap Anggi dengan sorot mata kagum yang begitu kentara.
"Eh? Ubi! Lo ngapain di sini?!"
Kaget, Arkan yang baru sadar kalau yang ada di depannya itu adalah Anggi --sepupu perempuannya yang sedikit culun--, langsung berdiri dan mendekat ke arah perempuan itu.
Sambil memasang wajah cemberut --namun tetap terlihat menggemaskan khas anak remaja pada umumnya--, Anggi mengikuti tangan Arkan yang menyeretnya sedikit menjauh dari kerumunan teman-temannya dengan tetap menggerutu pelan.
"Ubi… Ubi… Otak lo tuh, yang kayak Ubi! Ngeselin banget," sungut Anggi sebal, terdengar begitu pelan hingga yang mampu mendengar itu pun hanya mereka berdua saja.
"Lo ngapain ke sini? Kok nggak pulang ke rumah? Ini udah jamnya pulang, loh! Lo nggak takut diculik?!" ujar Arkan serius, menatap heran pada Anggi yang sontak membelalakkan matanya ke arah Arkan.
What? Culik?!
"Lo kira, gue anak kecil apa, sampe bisa diculik segala?! Gue ini udah gede, tau! Udah dewasa, jadi--"
"Jadi apa urusan lo datang ke sini? Nggak usah lama-lama! Atau, lo mau gue anterin pulang sekarang? Ayo!"
Arkan baru akan menarik lengan Anggi untuk mengekorinya ke sebuah motor yang tak jauh dari mereka, ketika tiba-tiba saja Anggi menahan lengan cowok itu dan menghentakkannya sedikit kuat.
"Ih, apaan sih?! Gue ke mari, bukan untuk minta dianterin pulang, tau! Tapi, buat nganterin ini," tunjuk Anggi pada sebuah kotak bekal yang sejak tadi dia bawa, ke depan muka Arkan.
"Apa ini?"
"Bekal, titipan dari Mama. Katanya, makan siang buat lo. Mama masak lebih hari ini, cuma buat dibagi sedikit sama keponakannya yang absurd!" ujar Anggi, mengangkat sebelah tangan Arkan dan meletakkan kotak itu di tangannya.
"Oh, gitu. Ya udah, sekarang balik, gih! Jangan lama-lama! Ntar--"
"Iya, gue balik! Jahat banget sih, lo ngusir-ngusir gue…. Kayak nggak seneng banget lihat muka gue di sini," sela Anggi sedih, kembali memberengutkan wajahnya sebal.
"Hais, bukan gitu! Gue…"
Arkan yang bingung ingin menjelaskan apa kepada Anggi, menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan sebentar, melihat keadaan mereka yang saat ini menjadi pusat perhatian beberapa siswa.
Benar dugaan Arkan saat ini. Sejak tiba tadi, dia sudah menduga kalau Anggi akan menjadi pusat perhatian di sekolahnya. Bukan karena tidak pernah melihat perempuan. Hanya saja, wajah Anggi yang terlihat cantik dan pembawaannya yang begitu menggemaskan, membuat Arkan takut kalau teman-temannya akan melirik Anggi untuk menjadi target incaran mereka.
"Udah ah, gue pulang aja! Lo aneh! Pokoknya, tugas gue nganter bekal udah selesai. Jadi, gue nggak ada urusan lagi," ujar Anggi tersinggung, lagi-lagi memasang ekspresi dongkolnya, yang tanpa sadar semakin menarik perhatian para cowok yang ada di sana.
"Dasar goblok!" maki Arkan dalam hati, melihat Anggi yang pergi melenggang begitu saja meninggalkan dirinya.
Dia tahu, kalau Anggi itu memang polos. Hanya saja, dia juga sangat naif, yang membuatnya terkadang terlihat sangat bodoh seperti saat ini. Sudah tahu, teman-teman Arkan itu banyak yang playboy, masih juga nekad datang hanya untuk mengantarkan bekal makan siang. Kan dia bisa, menelepon ataupun mengirim SMS pada Arkan untuk menjemput bekal itu dari sekolahnya. Tidak perlu diantarkan segala! Arkan jadi pusing melihatnya.
"Eh, Kan? Itu siapa? Cewek lo, ya?" tanya salah satu teman Arkan, yang baru saja Arkan kembali mendekati mereka, sudah menjejali Arkan dengan pertanyaan yang sangat malas untuk Arkan jawab.
"Bukan,"
"Terus?"
"Adek gue,"
"Hah?"
"Adek kandung?"
"Bukan. Adek sepupu,"
"Oh,"
Memasang tampang bosan, Arkan memutar bola matanya tanda malas. Reaksi seperti ini sudah bisa ia baca, kalau teman-temannya itu pasti sudah memasang siasat untuk mendekati Arkan agar bisa mengorek informasi tentang Anggi. Namanya juga playboy, pantang melihat perempuan yang cantik sedikit, langsung memasang taktik untuk memangsanya.
"Eh, gue peringatin lo pada, buat jangan deket-deket sama dia. Atau, lo semua bakal nyesal!" kata Arkan memperingatkan, dimana peringatannya itu hanya dipandang aneh dengan sekumpulan temannya yang lain.
"Lah, kenapa? Emang, doi udah punya pacar?" tanya salah satu dari mereka, yang duduk berhadapan dengan Arkan.
"Ya, enggak sih…. Cuma--"
"Kalau enggak, ya udah… Berarti… boleh dong, kita berusaha? Lo pasti juga nggak bakal nyesel deh, punya adek ipar kayak gue gini…. Lo tau sendiri gue orangnya gimana, kan?" ucap salah satu temannya yang lain kali, kali ini mau terlihat sok ganteng dengan mengusap rambutnya ke arah belakang.
"Iya, tau, burik," sahut Arkan santai dan cepat, sontak membuat teman-teman mereka pun tertawa.
"Sialan lo!" makinya kesal, lantas mendecakkan lidah.
"Udah, pokoknya nggak usah aja lo pada deketin cewek tadi. Dia itu…"
Larangan Arkan yang mencegah mereka untuk mendekati Anggi, terdengar sangat menggantung dan membuat yang lainnya menjadi penasaran. Mereka melihat serius wajah Arkan yang sepertinya akan mengatakan sesuatu yang cukup berat.
"Dia itu, apa? Lo--"
"Dia itu korengan."
"Hah?!"
Sontak, raut tidak percaya pun tergambar di satu per satu wajah teman Arkan yang tadi serius mendengarnya.
"Bohong 'kan lo? Nggak mungkinlah cewek secakep itu bisa korengan! Orang kulitnya aja bening gitu…. Lo mau ngibulin kita, ya…?" tuding satu teman Arkan, yang tampaknya sangat tidak percaya dengan ucapan cowok tersebut.
Sambil berdecak, Arkan berkata. "Yee… ngapain gue bohong coba? Gue ini udah kenal dia dari orok! Dari bayi, kita itu udah sering bareng. Makan bareng, mandi bareng, tidur bareng, semuanya bareng! Jadi, gue taulah, kondisi dia gimana…." Kilah Arkan yakin, pelan-pelan, membuat wajah satu per satu temannya itu percaya.
"Serius lo?" tanya mereka sekali lagi, yang entah benar percaya atau tidak, mulai terlihat geli mendengarnya.
"Seriuslah! Ngapain gue bohong? Dia juga susah dapat pacar kan, gara-gara itu. Di kakinya, juga ada koreng,"
"Ah! Gila lu?! Yang bener!?" teriak mereka serentak, membuat Arkan berusaha menahan diri untuk tidak tertawa.
Untuk beberapa detik kemudian, tampak mereka semua mulai percaya dengan ucapan Arkan. Demi melindungi Anggi dari para playboy cap ikan asin itu, Arkan sampai harus memfitnah Anggi dengan koreng yang tidak pernah nyata tersebut.
Puas dengan reaksi teman-temannya yang percaya, pandangan Arkan tidak sengaja beralih pada seorang cowok --teman sekelasnya juga--, yang merupakan teman dekatnya selama ini.
"Lo juga, Dam! Jangan deketin dia,"
Berbeda dengan peringatannya terhadap teman-temannya yang lain, kali ini Arkan justru memperingati cowok itu dengan ekspresi wajah yang sangat serius.
Sambil tersenyum penuh makna, cowok ber-nametag Damar Alfandi itu pun menggidikkan bahu acuh tak acuh menjawabnya. "Iya, lo tenang aja."
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments