"Cowok yang dibilang Ditha tadi pagi itu… siapa?"
Anggi baru saja keluar dari ruang divisinya menuju toilet, tiba-tiba dikagetkan dengan sosok Damar yang sudah menunggunya di depan ruangan.
Menutupi rasa terkejut, Anggi yang semula berhenti sejenak, kembali melanjutkan langkahnya, sebelum akhirnya Damar bergerak dan menahan lengannya untuk tetap berdiri di sana.
"Apa dia Arkan?" terka Damar menggenggam pergelangan tangan Anggi, dengan posisi wanita itu yang membelakangi dirinya.
Sesaat, Anggi tidak merespons. Namun, dalam hitungan detik berikutnya, terdengar wanita itu menghelakan napas berat, lalu menolehkan kepalanya ke arah belakang.
"Bukan urusan lo."
"Nggi,"
Anggi yang berusaha menarik lengannya dari cengkraman Damar, merasa sedikit kesal, tatkala pria itu malah menarik tangannya lebih kuat, seperti enggan memberikan kelonggaran sedikitpun kepadanya.
"Apa-apaan sih, lo?! Lepasin tangan gue! Gue nggak suka ya, disentuh sama orang kayak lo!" hardik Anggi kesal, dengan suara yang cukup nyaring, dan membuat salah satu dari teman mereka di dalam ruang divisi pemasaran keluar.
"Eh, kalian berdua kenapa? Ada masalah?"
Ternyata, itu Edwin. Supervisor mereka, yang terlihat heran dengan Damar yang memegang sebelah tangan Anggi erat. Lalu, disusul dengan Roni yang--entah kenapa-- langsung menatap tidak suka pada Damar. Seperti musuh bebuyutan, tatapan mata pria itu begitu dingin dan penuh kebencian. Padahal sebelumnya, Damar merasa kalau pria itu cukup baik untuk dijadikan seorang teman.
"Ah, nggak papa kok, Pak. Cuma ada yang pengen saya bicarakan aja sama dia." Kilah Damar tersenyum, masih enggan melepaskan tangan Anggi dari cengkramannya.
Sementara itu, Anggi yang memang tidak ingin permasalahannya dengan Damar diketahui oleh banyak orang, hanya diam membuang pandangannya ke arah lain.
Sumpah demi apa pun, Anggi sangat benci dengan situasinya saat ini.
Di bawah tatapan bingung --atau lebih tepatnya kurang percaya-- Edwin dan juga Roni, Damar menarik lengan Anggi untuk menjauh dari ruang divisi pemasaran setelah menganggukkan kepalanya sedikit pada Edwin, sebagai isyarat kalau dia akan pergi membawa Anggi mencari tempat lain untuk bicara.
Terlihat tidak begitu memikirkan, Edwin yang melihat kepergian Damar bersama Anggi, memutuskan untuk kembali masuk ke dalam ruangan, meninggalkan Roni yang masih terpaku di dekat pintu.
Dengan tatapan yang sulit diartikan, pria itu masih menatap punggung Anggi yang diseret oleh Damar menjauh, sebelum akhirnya menghilang di ujung lorong lantai delapan tersebut.
Sedang daripada itu, merasa kalau tempat mereka saat ini sudah lebih jauh dari keramaian, barulah Damar melepaskan tangan Anggi dan menatapnya.
"Sekarang jawab, siapa cowok yang ngantar lo tadi pagi? Arkan, bukan?" tanya Damar lagi, menatap tajam Anggi yang justru tidak menampilkan ekspresi apa pun di wajahnya.
"Bukan urusan lo,"
"Nggi,"
"Mau lo seret gue ke neraka sekali pun, gue nggak akan pernah mau jawab pertanyaan apa pun dari lo! Ngerti?!"
"Anggi!"
Setengah kesal, Damar menarik napasnya panjang dan membuangnya dengan kasar. Dia merasa, semakin lama, Anggi semakin terlihat menyebalkan dalam menanggapinya.
"Oke, sekarang gini…. Lo nggak perlu jawab apa pun pertanyaan dari gue. Tapi, gue minta satu hal sama lo. Gue mohon, jangan pernah mau diantar, ataupun dijemput sama laki-laki lain, kecuali dia Bagas atau juga Arkan. Karena gue nggak suka--"
"Lo ngelawak, ya?" potong Anggi langsung, sontak membuat Damar terdiam dan terpelongo menganggung kalimatnya.
"Hah?"
Sedikit tersenyum sinis, Anggi melipat kedua tangannya di depan dada dan mendekat satu langkah ke arah Damar.
"Emang… lo siapa?" bisik Anggi pelan, tak ayal membuat Damar seperti tersiram air es yang membuat sekujur tubuhnya terasa dingin.
Benar…. Memangnya, dia siapa?
"Nggi, gue--"
"Lo nggak punya hak sama sekali buat mengatur hidup gue. Emangnya, lo siapa? Keluarga gue? Orang tua gue?" dengus Anggi tertawa sinis.
"Gue bahkan nggak pernah merasa makan dari beras yang lo kasih. Terus, kenapa lo merasa berhak mengatur hidup gue? Lo sehat, atau udah sakit jiwa, sih? Atau…, lo ada minum obat-obatan terlarang? Halu banget bahasa lo," olok Anggi lagi tajam, seolah menertawakan tingkah konyol Damar yang ingin mengatur kehidupan Anggi.
Sebagai manusia normal, harusnya Damar merasa tersinggung dengan semua ucapan Anggi kepadanya. Hanya saja, entah kenapa, melihat wajah wanita saat menertawai dirinya, membuat Damar merasa semakin bersalah terhadap Anggi. Perubahan sikap wanita itu hingga seperti ini, pasti tidak lain karena perbuatan Damar di masa lalu.
"Nggi, sebenarnya… ada nggak sih, peluang untuk hubungan kita balik lagi seperti dulu? Mungkin… untuk terakhir kali?" tanya Damar lesu, menatap Anggi dalam-dalam, berharap hati wanita itu terbuka, dan bisa memberikannya kesempatan untuk terakhir kalinya.
Namun, bukannya mendapatkan jawaban yang bisa menenangkan hati, Anggi justru kembali mendengus, dan menggeleng geli menatap wajah Damar.
"Nggak."
***
Damar menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Saat ini, dia sudah kembali ke apartemen. Rasa lelah hati serta pikiran, membuatnya tidak ingin melakukan apa pun lagi selain merebahkan diri. Memandang langit-langit kamar dan mengenang semua yang sudah pernah terjadi dalam hidupnya dengan penyesalan.
Ah, andai saja waktu bisa diputar kembali, tentu dia akan memperbaiki segala sesuatunya seperti semula. Namun, dia juga sadar, kalau hidup ini bukanlah seperti komputer yang memiliki tombol undo. Semua yang terjadi, akan langsung tersimpan otomatis, tanpa bisa diulang sama sekali. Termasuk segala kesalahannya pada Anggi, yang membuat wanita itu sangat membencinya saat ini
"Lo minta gue kasih kesempatan terakhir buat lo…. Emang, waktu itu, lo ada ngasih gue kesempatan, yang mungkin bisa nyelamatin bayi yang ada dalam perut gue?"
Damar memejamkan kedua matanya pasrah, tatkala bayangan Anggi siang tadi yang tengah tersenyum sinis ke arahnya.
"Enggak kan? Terus, kenapa lo bisa pede banget, minta dikasih kesempatan sama gue?"
Kesal, Damar pun bangkit dari rebahannya dan mengacak rambutnya frustrasi. Anggi hanya punya satu alasan untuk menolak Damar. Tapi, satu alasan itu, sudah sangat kuat untuk membuat Damar terbungkam dan tak bisa berkata-kata lagi. Sebab, alasan itulah yang membuat Anggi kehilangan bayi yang ada di dalam perutnya waktu itu. Lantas, apa lagi yang bisa Damar lakukan untuk mendapatkan simpati dari perempuan itu? Dia yakin, mengemis pun tidak akan membuat hati Anggi luluh dan menerimanya seperti sedia kala.
Drrt… . Drrt… Drrt….
Suara getar dari ponsel yang ada di saku celananya menginterupsi kesedihan Damar. Dengan perasaan malas, dia merogoh saku celana bahan yang dia pakai dan meraih ponsel pintar tersebut.
Desah napas berat seketika keluar dari sela bibir Damar, tatkala melihat id penelepon yang sudah berani menganggu aktivitas sedihnya.
"Halo," sahut pria itu tidak bersemangat.
"Halo, Damar? Kamu di mana?" tanya suara dari seberang telepon tersebut, yang merupakan ibu dari Damar sendiri.
"Di apartemen."
"Apartemen? Kamu nggak pulang ke rumah?"
"Nggak."
"Kenapa?!"
Damar menarik napas panjang, dan membuangnya secara perlahan. "Ada perlu apa Mama nelpon Damar?"
Bukannya menjawab, Damar justru balik bertanya pada ibunya, dan membuat wanita itu menjadi sedikit kesal.
"Memangnya, kenapa kalau Mama nelpon kamu? Nggak boleh?!" ketusya, sejurus kemudian membuat Damar mengusap wajahnya kasar.
"Damar, dengerin Mama! Kamu udah lama nggak pulang ke rumah! Mama khawatir sama kamu! Mana kamu pake acara cuti dari perusahaan segala lagi…. Mama kan jadi tambah kepikiran sama kamu…. Memangnya ada apa, sih?! Kenapa kamu sampai harus ke luar kota?"
Damar memejamkan kedua matanya sejenak, mendengar ocehan panjang yang dilontarkan oleh ibunya. Meskipun tidak suka, Damar tetap berusaha untuk tenang dan tidak emosi dalam menanggapi sikap ingin tahu ibunya. Bagaimanapun juga, Damar tidak ingin ibunya tahu dimana dirinya saat ini dan mulai mengacaukan semuanya.
"Ma, kan Damar udah pernah bilang sama Mama, untuk nggak usah khawatir sama Damar. Damar ini baik-baik aja. Masih ada hal yang harus Damar selesaikan, yang Mama nggak perlu tau apa itu."
"Memangnya apa itu, sampai Mama nggak perlu tau? Apa ini ada hubungannya sama obrolan kamu bareng Papa waktu itu?" terka ibunya Damar lagi, menaruh curiga pada anaknya yang seketika membuat Damar merasa pusing mendengarnya.
"Ma, udahlah…. Mama nggak perlu tau semua urusan Damar. Pokoknya, Damar juga bakal balik, kalau Damar udah dapat apa yang Damar mau di sini."
"Tapi, Damar…."
"Udah, Damar capek dan mau istirahat sekarang. Mama juga gitu. Jangan terlalu banyak pikiran dan jaga kesehatan."
"Damar,"
Tanpa menunggu ibunya selesai bicara, Damar yang sudah terlanjur kesal pun langsung menutup panggilan telepon tersebut dan melemparkan ponselnya ke atas nakas. Setelah itu, dia mengusap wajahnya kasar menggunakan dua tangan.
Tidak ada gunanya. Pikir Damar. Sekeras apa pun dia berusaha tenang dalam menghadapi ibunya, tetap saja rasa marah dan benci itu muncul tatkala ibunya mulai mencampuri segala urusan yang sedang dilakukan oleh Damar. Seperti dahulu, ibunya selalu saja ikut campur dalam segala hal yang berkaitan dengan Damar dan membuat segalanya menjadi kacau. Ya, meskipun itu juga tidak luput dari kesalahan Damar yang membiarkan ibunya ikut campur, tetap saja Damar merasa belum bisa memaafkan sikap ibunya di masa lalu.
Teringat sesuatu, Damar membuka laci nakas yang ada di samping tempat tidurnya. Dari sana, dia mengambil sebuah bingkai foto yang menyimpan gambar sebuah keluarga yang tengah tersenyum ke arah kamera. Ada Damar dan kedua orang tuanya, juga Anggi yang saat itu tengah menggandeng mesra lengan Damar di sisinya.
Damar ingat sekali kalau foto itu diambil pada saat pernikahannya dengan Anggi dilaksanakan. Pernikahan penuh drama, dimana Damar sendiri merasa tidak menginginkan pernikahan itu sama sekali. Ya, setidaknya, sebelum akhirnya dia sadar kalau dia benar-benar mencintai Anggi dan menyesali semua waktu yang telah dibuang hanya untuk menyia-nyiakan perempuan itu. Terlebih, saat pernikahan dilakukan, Anggi dinyatakan tengah berbadan dua, dimana anak yang dikandung Anggi itu adalah hasil perbuatan Damar terhadapnya.
Sungguh, jika saja dia bisa bertingkah konyol, dia berharap semuanya dapat kembali seperti sedia kala, dimana dia tidak akan merusak masa depan Anggi dan mendekati wanita itu dengan cara yang benar.
Sambil tersenyum lirih, Damar melirik ke arah foto ayahnya yang berdiri tegak di samping Damar. Meskipun terlihat dingin dan juga keras, ayah Damar merupakan orang yang paling berjasa dalam pernikahan Damar dan juga Anggi. Kalau saja waktu itu ayahnya tidak memergoki pembicaraan Damar dan ibunya, tentu dia tidak akan menyeret Damar menikahi Anggi. Apalagi sikap polos yang Anggi miliki saat itu berhasil menjadikannya menantu yang paling disayangi oleh ayahnya Damar. Salah sedikit, ayahnya itu pasti akan langsung memarahi Damar karena sudah membuat Anggi merasa sedih.
Ah, seandainya saja dulu dia mendengar didikan ayahnya dan tidak terlalu manja pada ibunya, pasti sekarang dia bisa membahagiakan Anggi dengan menjadi seorang suami yang bertanggung jawab.
"Apa sebenarnya alasan kamu menemui Anggi? Kalau cuma untuk menyakiti dia lagi, lebih baik jangan, karena Papa sendiri yang akan menghabisi kamu setelah itu."
Damar ingat, kata-kata dari ayahnya tersebut, saat Damar meminta izin untuk pergi dari rumah dan perusahaan sementara waktu. Di antara kedua orang tuanya, memang hanya ayahnya saja yang tahu tujuan Damar keluar dari rumah dan tinggal di apartemen. Kepada ibunya, Damar mengaku pergi ke luar kota untuk menyelesaikan suatu hal. Tapi, kepada ayahnya, Damar mengatakan semua niatnya dengan sangat jelas, bahkan tujuannya untuk kembali lagi bersama Anggi. Meskipun awalnya ayahnya itu menolak karena takut Damar akan menyakiti hati Anggi lagi, Damar bisa meyakinkan ayahnya tersebut kalau kali ini dia akan melakukan terbaik yang harusnya dia lakukan saat bertemu dengan Anggi.
"Papa nggak yakin, apa dia bisa maafin kamu atau enggak. Cuma, satu yang Papa tau dari sifat Anggi selama ini. Kalau dia memang masih mencintai kamu… maka akan selalu ada maaf untuk menerima kamu kembali."
Sedikit tersenyum, Damar mengingat kalimat ayahnya saat menelpon dirinya kemarin. Setelah Damar pikir ayahnya tidak akan peduli, Damar justru merasa bahagia karena panggilan singkat yang dilakukan oleh ayahnya kemarin. Seolah memberikan udara segar dalam gersangnya perjalanan Damar mendapatkan Anggi.
Setelah puas memandangi foto keluarganya yang terlihat harmonis dari luar itu, Damar kembali menyimpan figura kecil itu ke dalam laci nakas. Lalu, dengan harapan yang kian tumbuh dalam hatinya, Damar kembali bangkit dari tempat tidurnya menuju kamar mandi.
Jam masih menunjukkan angka delapan malam. Masih terlalu sore bagi Damar untuk tidur malam ini. Masih ada waktu untuk menemui Anggi di apartemennya. Meskipun nanti dia akan bertengkar lagi dengan perempuan itu, setidaknya dia tidak boleh menyerah untuk muncul di hadapan Anggi dan membuat wanita itu lelah mengusirnya.
Bersambung….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments