Suara grasak-grusuk yang terdengar dari sisi kiri dan kanan Anggi terasa begitu mengganggu konsentrasi. Sejak tadi, Anggi sudah berusaha untuk fokus pada pekerjaannya yang ada di meja. Tentang daftar target pasar mereka yang akan mereka survei bulan depan. Bukan main pecahnya konsentrasi Anggi, ketika dia mendengar Roni dan juga Dita tampak kompak mengganggu waktu kerjanya.
"Pst! Nggi! Lo beneran nggak kenal sama cowok itu?"
Anggi kembali memejamkan kedua matanya jengkel, menahan emosi yang sejak tadi tengah bergelung dalam dadanya.
"Lo beneran nggak kenal, apa pura-pura nggak kenal sih, Nggi? Kok kayaknya, gue curiga gitu, ya?"
Berusaha tidak menjawab, Anggi mengabaikan pertanyaan Ditha yang kali ini hanya saling lempar lirik penuh kode kepada Roni.
"Itu salah satu mantan lo, ya? Atau malah jadi korban lo? Gue nggak heran ya, kalau misalnya--"
Roni yang sejak tadi sibuk mengoceh, mendadak mengulum bibirnya kaku, melihat Anggi yang langsung menoleh ke arahnya dan melototkan mata tidak suka kepadanya. Membuatnya perlahan-lahan mulai berbalik, menghadap meja kerjanya yang sejak tadi diabaikan penggunaannya.
Yakin kalau beberapa menit ke depan pria itu tidak akan mengoceh, Anggi pun lantas kembali berbalik dan terfokus pada lembar kertas di atas mejanya.
Sejak tadi, dia memang berusaha fokus pada tugasnya untuk bulan depan. Hanya saja, kehadiran seseorang yang kini berada tidak jauh dari mejanya, tengah mengusik ketenangan Anggi dalam bekerja. Bukan hanya soal perasaan, pikirannya pun jadi berantakan akibat tatapan pria yang sejak tadi dia ketahui terus menatapnya dalam diam.
"Jadi, apa prospek kalian sama bagian vendor yang kemarin nelepon itu berjalan dengan baik? Kamu belum ada ngasih laporan sama saya kan, Nggi? Gimana hasilnya? Apa perlu, pertemuan kedua lagi untuk membicarakan kontraknya?"
Suara Edwin yang tiba-tiba saja mendekat dan menutupi bayangan pria yang sejak tadi memperhatikan Anggi, membuat wanita itu merubah posisinya semakin tegak dan tersenyum.
"Udah Anggi laporan kok, Pak. Tadi pagi, Anggi letak di atas meja kerja Bapak. Bapak belum lihat?" tanya Anggi manis, menutupi perasaannya yang sebenarnya terasa panas.
"Oh, ya? Mungkin belum saya lihat. Oke, sebentar lagi saya baca. Thanks, ya…! "
Merasa tidak ada yang perlu mereka bicarakan lagi, Edwin pun langsung bergegas pergi meninggalkan meja kerja Anggi.
Sedangkan wanita itu, hanya bisa tersenyum kering, sebelum akhirnya kembali menunduk, meratapi nasibnya yang mungkin akan berantakan lagi.
Beginikah akhir dari perjuangannya selama ini? Setelah berusaha selama bertahun-tahun untuk hidup dengan tenang dan juga bebas, dia harus kembali berurusan dengan masa lalunya yang suram? Tidakkah Tuhan sangat keterlaluan namanya, jika dia harus kembali pada kubang kesedihan yang pernah coba untuk dia kubur? Apa tidak berlebihan namanya, jika dia harus melihat kembali gambaran masa-masa suram yang pernah dia alami dari jarak yang sangat dekat? Apa dosa Anggi di kehidupan yang lalu, hingga dia harus mendapatkan cobaan hidup yang seperti ini sekarang?
"Permisi, apa saya mengganggu?"
Kedua mata Anggi yang terpejam rapat saat merenung, kembali terbuka tatkala suara orang yang sangat dia hapal --di masa lalu-- kembali terngiang di telinganya.
Tolong katakan kalau ini semua hanyalah mimpi.
"Iya, Mas? Ada apa?"
Bukan Anggi yang menjawab panggilan tersebut. Melainkan Ditha, yang sejenak melihat tingkah laku Anggi di sampingnya terlalu aneh. Kalau biasanya wanita itu akan sangat cepat menanggapi panggilan dari orang lain --terlebih dari seorang lelaki--, tidak untuk kali ini, dimana wanita itu justru hanya diam saja di tempatnya bak patung yang tidak bisa mendengar ataupun berbicara.
"Maaf, sebelumnya. Apa boleh, saya berbicara sebentar dengan temannya? Dia…"
Mendengar permintaan Andi yang terdengar halus dan sopan, namun terkesan sedikit canggung terhadapnya, membuat baik Ditha maupun Roni --yang sejak tadi juga ikut memperhatikan Anggi dalam diamnya--, menatap kembali pada wanita itu. Tidak usah diperjelas lagi pun, mereka tahu kelanjutan ucapan Andi yang sepertinya ingin berbicara dengan teman mereka itu.
"Gue sibuk." Sahut Anggi datar, menoleh ke arah Ditha yang mengerjap bingung ke arahnya.
"Gue masih harus bikin laporan pertemuan kemarin buat Pak Hengki. Kalo anak baru ini ada perlu mau nanya-nanya soal perusahaan, lo aja yang kasih tahu. Gue cabut dulu," ujar Anggi dingin, bangkit dari kursi kerjanya dan berlalu meninggalkan Ditha yang terbengong.
Wait…. Anggi lagi tidak berpikir kalau Ditha itu adalah asisten pribadinya, kan? Kok dia bisa seenak itu sih, memberikan perintah ini itu kepada Ditha? Memangnya, dia berani bayar berapa?
"Anggi--"
Baru saja Ditha menoleh ingin memarahi Anggi yang dia pikir masih berada di ruangan divisi itu, dia justru dibuat terbengong sedikit, karena tidak mendapati sosok Andi yang tadi berdiri di sebelah meja kerjanya.
"Kemana?" gumamnya pelan, menoleh ke kiri dan kanan, mencari sosok pria tampan yang tadi berbicara dengannya.
Saat pandangannya bertemu dengan wajah datar Roni, dia menaikkan alisnya bertanya. "Lo lihat?"
Dan seolah mengerti dengan apa yang sedang dicari oleh Ditha, pria itu pun menjawab dengan nada yang ketus. "Ngejar Anggi."
"Hah? Ngejar Anggi? Maksudnya?" tanya Ditha bingung, yang alih-alih mendapat jawaban bagus dari Roni, dia malah melihat pria itu mendengus meninggalkannya.
"Mana gue tau! Lo pikir gue emaknya?!"
***
Tangan Anggi terkepal erat menunggu lift yang saat ini tengah dinaikinya terasa begitu lambat. Sekarang, di dalam kotak besar berbahan besi itu hanya ada dirinya dan juga si anak baru. Entah apa maunya, dia terus saja mengejar Anggi tanpa berkata apa-apa. Bahkan saat Anggi berusaha untuk bersikap seolah tidak kenal dengan bertanya dengan nada formal pada anak baru itu, pria itu malah terlihat sok akrab dengannya.
"Kamu mau ngapain ke roof top?"
Pintu lift baru saja terbuka, dan mulut si anak baru juga ikut-ikutan terbuka, bertanya pada Anggi ketika melihat wanita itu keluar.
Tidak menjawab, Anggi yang mengira kalau laki-laki itu akan segera meninggalkannya pun pergi begitu saja. Dia berjalan menuju pintu roof top yang terbuat dari kaca, tanpa menoleh lagi ke arah belakang.
"Kamu mau ngapain ke sini? Katanya ada urusan sama manager,"
Anggi langsung saja tersentak kaget, ketika mendengar pertanyaan dari pria itu. Bukan soal pertanyaannya, sih. Tapi, soal pria itu yang baru saja disadari Anggi terus mengikutinya sampai ke lantai paling atas bangunan tersebut.
"Lo ngapain ngikutin gue?!" sentak Anggi marah, memasang sikap defensif, melihat pria itu mendekat ke arahnya.
"Wah, ternyata udara di sini cukup segar, ya? Biarpun udah sore, kerasa banget sejuknya," ucap pria itu terkagum, menghirup udara bebas yang tengah berhembus di antara mereka.
Bukan, bukan soal udaranya lagi yang membuat Anggi menahan napas. Melainkan tingkah pria itu, yang main berdiri di depan Anggi seenak jidat, dan mengurung wanita itu di antara tembok pembatas dan juga dirinya, yang membuat Anggi merasa kesulitan bergerak dengan otak yang mendadak macet melihatnya.
"Minggir," usir wanita itu halus, menatap wajah Andi dengan lekat dengan sorot mata yang tidak bisa didefinisikan.
"Kenapa?" tanya Andi dengan nada rendah, menundukkan sedikit wajahnya ke arah Anggi, hingga membuat wanita itu menelan ludahnya susah payah.
Oh, tidak…. Anggi pernah jatuh dalam pesona mata yang mematikan itu beberapa tahun lalu. Dan dia tidak boleh lagi terperosok untuk kesekian kalinya dengan tatapan itu. Cukup beberapa tahun lalu menjadi hal paling bodoh bagi Anggi karena sudah jatuh untuk berkali-kali karena mata itu. Tidak untuk kali ini.
"Lo ganggu pemandangan gue!" bentak Anggi tersadar, langsung mendorong tubuh Andi kasar, hingga hampir terjatuh ke atas lantai.
Seolah tidak peduli, Anggi segera menepuk kedua tangannya yang tadi mendorong Andi, seperti tengah membersihkan tangannya dari debu, sebelum memutar tubuhnya ke pembatas roof top.
Sementara itu, Andi yang diperlakukan sedemikian kasarnya oleh Anggi, hanya bisa terdiam di tempat, sambil menatap wajah manis itu dari samping. Sungguh, Andi tidak menyangka, kalau Anggi akan bersikap seperti ini terhadapnya.
Dan apa kata wanita itu tadi? "Ello?" Ch! Dia bahkan sudah berani memanggil Andi dengan sebutan seperti itu. Dasar tidak sopan!
"Delapan tahun nggak ketemu… sikap kamu jadi berubah begini, ya? Seratus delapan puluh derajat," ujar Andi menyindir, memandang lekat pada wajah Anggi yang terlihat masa bodoh.
Wanita itu bahkan berani mengeluarkan sekotak rokok dari dalam saku depan kemejanya dan sebuah korek untuk menghidupkan rokok tersebut.
"Nggi!" bentak Andi refleks, melihat Anggi menyelipkan satu barang rokok itu di antara bibirnya.
Masih tidak peduli, Anggi meneruskan kegiatannya, dan hampir menghidupkan rokok tersebut dengan korek, andai Andi tidak langsung mencegahnya.
"Heh! Apaan--"
Anggi kesal dengan tingkah Andi yang main rebut rokoknya sembarangan, tampak akan memarahi pria itu, ketika dilihatnya Andi membuang rokoknya ke bawah gedung, beserta korek Anggi yang tadi dibawanya.
"Heh! Apaan sih, lo?! Kenapa rokok gue lo buang?! Nggak punya otak lo, ya?! Itu rokok gue tinggal satu, goblok!" maki Anggi habis-habisan, menatap nanar ke arah bawah, dimana rokok serta koreknya tadi sudah pasti mendarat.
Wajahnya terlihat memerah, menatap sengit pada Andi yang juga lekat menatapnya dengan wajah yang ketat.
"Delapan tahun kita nggak ketemu, dan kamu langsung berubah jadi orang nggak beres kayak gini! Sejak kapan kamu ngerokok?! Dan panggilan kamu juga, kenapa jadi kayak gitu? Aku ini lebih tua dari kamu, tau? Aku ini mantan suami kamu! Kamu harus--"
"Nggak ada urusannya sama gue! Seperti yang lo bilang, lo itu cuma mantan suami gue! Dan lo nggak ada hak apa pun lagi untuk ngelarang gue berbuat ini dan itu! Ngerti lo?!" serobot Anggi keras, menunjuk dada Andi dengan satu jarinya.
"Gue udah coba untuk bersabar ngelihat muka lo hari ini. Tapi, bukan berarti, lo bisa dapat toleransi dari gue dengan cara ngikuti gue kayak gini. Gue cuma malas berhubungan sama lo lagi, entah itu sebagai teman kantor ataupun mantan di masa lalu. Jadi, jangan lo kira, gue diam itu karena gue baik-baik aja ngelihat muka lo di dekat gue. Ngerti lo!" pertegas Anggi lagi, menatap tajam pada Andi yang sontak terdiam memandangnya.
Maksud Anggi adalah, dia mendiamkan keberadaan Andi sejak tadi, bukan karena dia merasa baik-baik saja di dekat pria itu. Melainkan, karena dia berusaha untuk tidak terlibat pembicaraan apa pun dengan pria itu yang membuat hubungan mereka bisa terkuak, dimana masa lalu mereka itu adalah sesuatu yang sangat tidak enak untuk diingat.
Baiklah, sepertinya, Andi harus bisa memahaminya sekarang.
"Tapi, sekarang, mau tidak mau, kamu itu--"
"Jangan sampai ada yang tau soal hubungan gue sama lo sebelum ini. Gue nggak mau, ada orang yang bertanya soal apa pun yang berkaitan tentang kesialan gue di masa lalu. Lo paham, maksud gue, kan?"
Bagaikan sebuah belati, Anggi menorehkan sayatan kecil dalam hati Andi. Biarpun Andi sadar kalau itu tidak ada apa-apanya dengan perasaan sakit Anggi di masa lalu, tetap saja Andi merasa terluka mendengar hal itu dari bibir Anggi sendiri.
"Dan satu hal lagi yang gue minta dari lo," tukas Anggi lagi, menatap mata Andi yang sejak tadi tidak berkedip memandangnya.
"Ini pertama dan terakhir kalinya lo ngikutin gue kayak gini. Dan gue harap seterusnya, lo jangan ada di sekitar gue, entah itu berjarak dua atau pun lima meter. Anggap kita nggak pernah saling kenal. Lo ngerti kan?"
Dan setelah mengatakan hal itu, Anggi dan segala egonya pun langsung pergi dari hadapan Andi. Menyisakan rasa pedih dan sesak di hati laki-laki itu, sebelum akhirnya berpikir keras untuk menuruti semua perkataan sang mantan istri.
Apa? Haruskah Andi menurutinya kali ini? Sejak dulu, Andi tidak pernah mempedulikan keinginan Anggi atas dirinya. Sekarang, haruskah dia mengikuti ucapan wanita itu sebagai bentuk penebusan dosa?
"Terus, buat apa gue ke mari, kalo gitu?"
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
💕Nindi💕
Hub masalalu yg belum tergambarkan...lanjuut..penasaran hub spt apamereka dulunys.
2021-10-29
0