Seperti apa yang sudah dijanjikan oleh Arkan kepadanya, malam itu juga Anggi dibawa pulang oleh Arkan menuju kediaman keluarganya Anggi. Tampak raut wajah gugup dan resah menghiasi wajah cantik Anggi. Wanita itu mulai terlihat ragu, tatkala mobil yang dikendarai oleh sepupunya itu sudah sampai ke depan rumah.
"Gue kok jadi--"
"Nggak ada cerita buat mundur. Gue udah ngabarin Bagas, kalau kita mau datang malam ini,"
Kalimat grogi Anggi yang kentara sekali ingin mundur, langsung dipatahkan oleh Arkan dengan tegas. Pria itu mematikan mesin AC mobilnya, sebelum akhirnya juga mematikan mesin kendaraannya tersebut.
"Nah, itu dia udah keluar!" tunjuk Arkan ke arah depan rumah keluarga Anggi, dimana cewek itu langsung menoleh dan bertambah gugup.
Di sana, dia melihat adik laki-lakinya yang tampan, keluar dengan mengenakan sepotong kaus oblong biasa, tengah berjalan ke arah mobil Arkan yang terparkir.
"Ayo!" ajak Arkan, menarik sejenak lengan Anggi, untuk menyadarkan perempuan itu agar keluar dari mobil.
Arkan sudah lebih dulu turun, dan menyapa Bagas yang ada di luar, dan berdiri di sisi pintu kemudi mobil Arkan.
"Bang Arkan beneran bawa Kak Anggi pulang? Mana?"
Samar, Anggi mendengar nada semangat dari adik remajanya itu, saat menanyakan tentang dirinya. Dalam hitungan detik, Anggi bisa bertemu pandang dengan Bagas, tatkala cowok tinggi itu menunduk, mengintip ke dalam mobil dimana Anggi masih bersembunyi saat ini.
"Kak!"
Tanpa diminta sebelumnya, Bagas yang tampaknya sudah semangat, semakin bertambah semangat mendatangi pintu bagian Anggi dan membukakannya dari luar.
"Kak Anggi!" seru cowok itu lagi, lantas langsung memeluk tubuh Anggi yang masih duduk di dalam mobil dengan erat.
"Eh, Kak! Gue kangen banget sama lo, sumpah! Lo kok nggak pernah pulang, sih? Rumah terasa sepi tanpa kehadiran lo, tauuu!" ujar Bagas masih memeluk Anggi, yang mana kakaknya itu hanya diam saja di tempatnya.
Sebenarnya, Anggi juga sudah sangat rindu dengan adiknya itu. Usia mereka yang tidak terpaut jauh, membuat keduanya sangat dekat dalam hal apa pun. Meski usianya lebih muda dari Sang Kakak, pikiran Bagas jauh lebih dewasa daripada Anggi. Dia sering menasehati Kakaknya itu dalam berbagai hal. Entah itu soal pelajaran, juga soal percintaan. Tapi, ya emang dasar, Anggi yang kekanak-kanakan justru melakukan sesuatu hal mengecewakan dan membuat hubungannya bersama Bagas jadi memburuk.
Melihat Anggi yang begitu kaku tidak membalas pelukan adiknya, membuat Arkan sadar dan menyunggingkan senyum kecil. Dulu, mereka bertiga itu cukup dekat. Orang tua Arkan yang sibuk, selalu menitipkan Arkan di rumah keluarga Anggi, dan membuat mereka sudah bukan seperti sepupu lagi. Melainkan saudara yang lebihi hubungan sahabat.
"Eh, udahan kali, pelukannya! Tante Mira udah nungguin tuh, di dalam!" lerai Arkan terkekeh kecil, menyindir Bagas yang tak kunjung melepaskan pelukannya dari Anggi.
Dia tahu, kalau anak yang baru beranjak dewasa itu pasti sangat merindukan sosok kakaknya yang telah lama pergi.
Sadar dengan sindiran Arkan yang menjurus ke arahnya, Bagas pun segera melepaskan pelukannya dari tubuh Sang Kakak dan menyengir sedikit jengkel ke arah Arkan.
"Kenapa baru sekarang sih, lo bawa Kakak gue pulang? Lelet banget emang, jadi cowok!" ujar Bagas pedas, sontak membuat kedua bola mata Arkan membola.
"Gila lo, ya! Syukur gue masih mau bujukin Kakak lo buat pulang. Nggak tau bersyukur emang lo, kurcaci!" sungut Arkan sebal, lantas melirik sekilas pada Anggi yang menahan senyumnya.
"Nggak Kakak, nggak adek, sama aja gilanya. Hobi bikin gue susah!" imbuh pria itu lagi, lantas segera berlalu dari hadapan mereka.
Dengan wajah yang sedikit ditekuk, dia melangkah masuk ke dalam rumah Tantenya --ibu dari Anggi dan Bagas-- dan meninggalkan Anggi serta Bagas yang masih tertawa kecil di halaman.
Dari dulu hingga sekarang, wajah sebal Arkan adalah hal yang paling menghibur bagi dua kakak beradik tersebut.
"Ya udah deh, Kak! Masuk, yuk! Mama udah nungguin Kakak dari tadi."
❄
Anggi merasa, suasana makan malam pertama setelah ia kembali terasa begitu canggung dan juga kaku. Hanya ada suara denting sendok yang terdengar saling menyapa, di sela keheningan yang mendadak tercipta di antara mereka.
Tadi, setelah adegan yang mengharu biru yang terjadi antara dirinya dan juga Sang Mama, Anggi kembali berubah menjadi sosoknya yang canggung. Meskipun ibu dan saudara-saudaranya sudah berusaha membuka pembicaraan dengannya, tetap saja rasa sungkan itu masih ada. Tidak mudah bagi Anggi untuk menganggap semuanya baik-baik saja.
Jika dulu dia bisa bersikap santai selayaknya orang yang tidak bersalah, maka berbeda untuk kali ini. Dia sudah belajar. Dewasa ini, dia tahu, kalau sikap seperti itu tidak baik. Mengabaikan apa yang sudah terjadi, sama saja dengan seseorang yang tidak memiliki pikiran.
"Kak! Ayo, makan yang banyak! Ini makanannya enak-enak loh! Gue tau, ini semua makanan favorite lo, kan?"
Anggi yang sejak tadi menunduk, mengangkat kepalanya menatap si adik.
"Iya, gue makan banyak, kok. Cuma, ini aja belum abis," tunjuk Anggi, pada makanannya yang masih banyak di atas piring.
"Iya, Nggi. Kamu harus makan yang banyak, biar kamu cepat sehat. Kemarin, Mama dengar kamu sakit, ya?" tanya Mira, ibunya Anggi, dengan wajah yang prihatin.
Sekilas, Anggi menoleh ke arah Arkan. Tampak pria itu juga melihat ke arahnya, sambil menggidikkan bahu seolah tidak punya pilihan lain.
"Cuma kecapekan doang kok, Ma."
"Mau capek juga, kalo perut kamu terisi dengan baik, kamu juga nggak bakalan jatuh sakit, Nggi." Kata Mira kemudian, menghelakan napas berat.
"Mama tadi kaget, waktu Arkan bilang kamu mau pulang ke rumah. Karena mendadak, Mama jadi nggak sempat nyiapin ini itu buat kamu. Akhirnya, terpaksa deh, Mama nyuruh Bagas buat pesan makanan yang kamu suka lewat online," ucap Mira panjang, kemudian tersenyum simetris. "Maaf ya, belum bisa masakin kamu makanan istimewa. Tapi, Mama janji, besok, Mama pasti bikinin kamu makanan yang spesial tiap hari. Kamu mau ,kan?"
Mira menatap Anggi dengan sorot yang bahagia. Pikirnya, anaknya itu pasti akan merasa senang, jika ditawari masakan enak setiap hari. Seperti dulu, anaknya itu suka sekali kalau Mira sudah memasakkan aneka makanan dari olahan ayam.
"Engh… itu Ma… Anggi… Anggi nggak bisa nginap di rumah malam ini." Kata Anggi pelan, nyaris tidak terdengar, namun mampu membuat Mira merasa terkejut.
"Anggi… harus balik ke apartemen Anggi,"
"Maksud kamu, kamu nggak mau tinggal di rumah ini? Kamu…" Mira mencoba mencari kata yang tepat untuk menebak pikiran anaknya saat ini.
"Kamu masih marah sama Mama? Masih benci sama Mama? Kamu udah nggak mau lagi tinggal sama Mama?" tanya Mira beruntun, yang sontak membuat Anggi kaget, dan langsung membantahnya dengan cepat.
"E--enggak gitu, Ma! Ang--Anggi nggak pernah benci kok sama Mama! Anggi nggak marah! Cuma Anggi--"
"Lo nggak mau tinggal di sini lagi bareng kita, lo bilang nggak marah?" sela Bagas kemudian, membuat Anggi menurunkan kedua tangannya dengan lesu.
"Bukan gitu, Gas…. Gue cuma…" Anggi tampak menghentikan ucapannya dan berpikir, sebelum akhirnya menoleh kembali ke arah Mamanya.
"Apartemen Anggi sama tempat Anggi kerja itu lumayan dekat. Lebih dekat dari rumah kita ke tempat kerja Anggi. Jadi…."
Anggi bisa melihat raut wajah sedih Mira saat mendengar ucapannya barusan. Dari sini, wanita paruh baya itu pasti sudah tahu, maksud ucapan Anggi selanjutnya.
"Tapi, Anggi janji, setiap akhir minggu, Anggi bakal pulang dan nginap di rumah, kok!" ujar Anggi berikutnya, merasa tidak enak dengan wajah murung yang diperlihatkan oleh Mamanya.
"Anggi janji!"
Sesaat, ucapan janji Anggi itu pun tidak mendapatkan balasan apapun dari Mira. Wanita paruh baya itu tetap memasang tampang sedihnya, sambil berpikir.
"Bener, ya?" tanyanya akhirnya, yang dibalas Anggi dengan sebuah anggukan kepala serta senyuman.
"Iya," ucapnya lagi, lantas membuat Mira pelan-pelan tersenyum kembali.
"Ya udah, kalo gitu, Mama siapin bekal makanan kamu dulu untuk berapa hari,"
❄
"Gue dengar, kemarin lo sakit, ya? Kok nggak datang?"
Pintu lift baru saja tertutup, saat Anggi, mendengar pertanyaan dari suara yang tidak dia harapkan itu dari arah belakang.
Pelan-pelan, dia melirik, dan mendapati Andi sudah berdiri di belakangnya dengan tatapan matanya yang sok prihatin.
"Nggi,"
Sudah tahu kalau Andi ada di sana dan bertanya kepadanya, bukannya menjawab, Anggi malah mengabaikannya begitu saja, hingga membuat Andi merasa kesal.
"Lo budek, ato gimana?"
Setelah disindir pun, Anggi tetap tidak peduli.
"Anggi!"
Anggi yang keras kepala, tetap berdiam diri.
"Lo udah baik-baik aja 'kan, sekarang? Nggak ada sakit yang serius, kan?"
Terlihat belum menyerah, Andi kembali bertanya. "Nggi?"
Saat lift sudah melewati beberapa lantai, yang mana sebentar lagi mereka akan tiba di lantai tempat divisi mereka berada, Andi menarik napasnya panjang.
Fix! Anggi memang tidak bisa diajak untuk bicara baik-baik.
Ting!
Pintu lift sudah terbuka, lalu Anggi sudah bersiap akan melangkah keluar dari lift, saat tangan Andi tiba-tiba saja menarik pinggangnya kembali ke dalam dan menutup pintu lift itu lagi, dengan menekan angka tertinggi dari bangunan tersebut.
"Eh, lo apa-apaan, sih?!" pekik Anggi tidak sadar, tatkala Andi mendorong tubuhnya memepet ke arah dinding lift.
"Oh, jadi, sekarang gue udah kelihatan di mata lo, ya?" tanya Andi, dengan nada menyindir, serta tatapan mata yang tajam.
Berusaha menghindar, Anggi mencoba mendorong bahu Andi sekuat tenaga, menggunakan kedua tangannya. Namun, Andi yang sepertinya tidak ingin melepaskan itu, balas menahan tangan Anggi, dimana keduanya langsung terlibat aksi dorong-dorongan di dalam lift.
"Oke, mau lo apa, sekarang?" tanya Anggi menyerah, dengan napas yang tersengal, entah itu karena marah atau lelah.
"Mau gue, lo jadi milik gue lagi,"
"Apa?"
"Lo nggak budek," ujar Andi, lantas menyentuh pelipis Anggi hingga dagu wanita itu menggunakan jari telunjuknya. "Gue kangen sama lo. Dan gue mau balik lagi sama lo,"
"Lo gila?"
Sekuat tenaga, Anggi kembali mendorong dada Andi, namun harus gagal untuk kedua kalinya.
"Lo--"
"Gue minta maaf, karena apa yang udah--"
"Udah gue bilang, apa pun yang lo lakuin sekarang, itu nggak akan merubah apa pun yang udah terjadi di masa lalu! Jadi sekarang--"
"Karena itu, Nggi! Karena gue nggak bisa merubah apa pun di masa lalu, makanya gue ngajak lo, untuk merubah masa depan kita jadi yang lebih--"
"Lebih buruk lagi?" sela Anggi cepat, menatap Andi dengan kedua matanya penuh kebencian.
"Lo pikir, gue bego', apa?"
"Lo emang bego'! Dan lo nggak sadar itu, kan?"
Seketika, suasana di antara mereka menjadi sunyi. Keduanya hanya saling tatap dengan kedua sorot mata keras, di bawah tingkahan suara mesin lift yang berdengung, dan membawa mereka sampai lantai paling atas di gedung perkantoran tersebut.
"Gue juga merasa kehilangan waktu itu. Dan rasanya semakin berat, waktu lo bilang mau pisah sama gue. Gue pikir, lo--"
Sadar dengan genggaman tangan Andi di lengannya mulai mengendur, Anggi pun segera melepaskan diri dan menghempaskan pria itu menjauh darinya.
Dengan pandangan mata dingin, dia kembali menekan tombol lift yang mereka tumpangi itu menjadi angka dimana lantai divisi mereka berada.
"Nggi,"
"Satu-satunya hal yang gue sesali pernah terjadi dalam hidup gue adalah lo. Seandainya aja dulu gue nggak ketemu sama lo, ataupun mendengar nama lo, mungkin sekarang gue udah bahagia sama kehidupan gue," ujar Anggi dingin, tidak menoleh sedikit ke arah Andi yang berdiri sedikit di belakang tubuhnya.
"Gue emang tolol, kan?" ucapnya lagi, kali ini tersenyum pedih --namun lagi-lagi terdengar seperti sindiran--, ke arah Andi.
"Gue sadar kok, kalo gue ini emang bego'. Tapi, gue nggak sebego' yang lo kira, dengan menerima kehadiran lo lagi dalam hidup gue."
Anggi kembali meluruskan pandangannya ke arah pintu lift. Mengabaikan Andi yang terpaku, menatapnya dengan sorot mata putus asa, seperti yang pernah dia rasa sebelumnya.
"Kayaknya, gue nggak bisa dapatin lo lagi dengan cara yang lembut," ucapnya pelan, nyaris bergumam, dimana Anggi hanya membatu tidak peduli di tempatnya.
"Gimana, kalo dengan cara yang kasar,"
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments