Anggi menghempaskan tas bahunya ke atas sofa single yang ada di ruang tamu apartemennya. Saking lelahnya dengan pekerjaan dan peristiwa yang dialaminya saat ini, dia juga mencampakkan tubuhnya dengan malas ke atas sofa panjang di depannya. Memejamkan mata sejenak, dan menghelakan napas berat, menikmati rasa kaku yang sontak menjalar di sekujur tubuh belakangnya.
Pip… Pip… Pip… Pip…
Suara pintu apartemen yang coba untuk diakses, membuat Anggi menolehkan kepalanya sejenak. Pikirnya, siapa orang yang datang ke apartemennya sekarang? Tidak tahukah dia kalau Anggi sedang lelah sekarang?
Malas berpikir, Anggi pun kembali menolehkan kepalanya. Berniat untuk pura-pura tidur saja, daripada harus berhadapan dengan orang yang sebentar lagi masuk ke dalam tempat tinggal Anggi. Meskipun dia tidak tahu pasti siapa tamu yang datang sore ini, Anggi tetap bisa menebak kalau itu pastilah keluarganya sendiri. Kalau bukan Ibunya, ya berarti sepupunya, Arkan.
Beberapa saat Anggi terdiam dalam posisinya yang pura-pura tidur, dia mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya bersamaan dengan bunyi plastik kresek, yang mungkin sedang dibawa oleh tamu tersebut ke rumahnya.
"Gue tahu lo pura-pura tidur. Geser!"
Dalam hitungan detik, Anggi yang tadinya berada kondisi berbaring, berubah posisi menjadi duduk dengan tegak.
Ternyata benar, itu Arkan.
"Sialan! Ngapain sih lo, ke rumah gue? Bikin semak aja!" sungut Anggi membenahi rambutnya kesal, kepada Arkan yang dengan masa bodohnya duduk di sebelah Anggi dan mengeluarkan beberapa kotak makanan dari plastik kresek yang tadi di bawa ke atas meja di hadapan mereka.
"Gue juga ogah, main ke rumah lo yang sunyinya udah ngelebihi kuburan gini. Cuma ya, mau gimana lagi? Gue nggak bisa nolak permintaan Tante Mira yang mau nitipin makanan ini sama lo," ujar Arkan santai, mulai membuka satu per satu mangkuk bertutup yang tadi dia bawa.
Saat Arkan menyodorkan mangkuk itu ke arah Anggi, wanita itu hanya diam sambil melirik makanan tersebut dengan tampilan wajah yang datar. Dalam sekali lihat saja, dia tahu, kalau sup jamur itu adalah buatan tangan dari ibunya sendiri.
"Kenapa? Nggak mau dimakan?" tanya Arkan, memecahkan lamunan Anggi, hingga wanita itu mendesah dan membuang pandangannya ke arah lain.
"Masih ngambek?" terka Arkan, melihat intens wajah Anggi yang terkaget.
"Apa lo bilang? Ngambek? Siapa?!" sengit Anggi tidak terima, lantas melihat Arkan yang dengan santainya menunjuk ke arah Anggi.
"Lo,"
"Gue?!" Anggi pun menunjuk wajahnya sejenak dan mendengus tidak percaya.
"Yang bener aja lo! Ngapain gue ngambek? Gue bukan anak kecil lagi, ya!"
"Justru itu, yang mau gue tanya. Lo bukan anak kecil lagi. Tapi kenapa lo masih suka ambekan kayak gini, sih? Mana ngambeknya sampai bertahun-tahun lagi…. Heran," keluh Arkan menggelengkan kepala, lalu menatap Anggi yang terdiam.
"Nih, ya…. Di mana-mana itu, yang namanya orang ngambek itu ya cuma satu atau dua hari. Kalo udah tiga hari aja bisa dianggap dosa. Nah, lo, ngambeknya malah sampai delapan tahun. Mau ngapain? Kredit rumah… kali, ah!" ujar Arkan lagi sambil bergurau, dimana wajah Anggi malah terlihat semakin bertekuk mendengarnya.
"Gue nggak ngambek! Gue cuma…"
"Kecewa? Sama siapa? Keluarga lo? Atau almarhum bokap lo?" serobot Arkan tiba-tiba, membuat Anggi menundukkan wajahnya sedikit dalam.
"Lo tahu, dan pasti sadar, kalau itu semua bukan kesalahan keluarga lo, kan? Terlebih bokap sama nyokap lo! Mereka itu cuma pengen memberikan yang terbaik buat lo! Kalaupun semuanya jadi kacau kayak gini, itu karena pilihan lo sendiri." Ujar Arkan lagi, menatap Anggi dengan sorot yang menuntut. Membuat wanita itu kian terdiam dan menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Hm, ya…. Justru karena gue sadar, makanya gue kayak gini," gumam Anggi sangat pelan, nyaris serak dan tidak terdengar oleh telinga Arkan.
"Gue kecewa sama diri gue sendiri. Karena keegoisan dan kebodohan gue, keluarga kecil gue jadi berantakan. Andai aja dulu gue nggak sembrono dalam bergaul dan nggak percaya gitu aja sama omongan cowok itu, mungkin sekarang bokap gue masih hidup,"
Arkan melihat Anggi mengangkat wajahnya dan tersenyum getir, seiring dengan setetes air mata wanita itu yang terjatuh.
"Mungkin sekarang gue lagi manja-manja dalam pelukan Papa. Minta ini-itu yang pasti bakal buat Mama ngomel karena kesal. Pasti bahagia banget, deh…. Iya kan?" tanya Anggi lagi menangis, sambil terus tertawa, meminta pendapat Arkan.
Namun, saat mereka sadar kalau semua itu adalah sesuatu hal yang mustahil, Arkan hanya diam saja melihatnya. Perlahan mendekati Anggi, dan merangkul bahu wanita itu untuk diusap.
"Kirimin aja Al-Fatihah buat bokap lo. Dengan begitu, setidaknya dia merasa nyaman di sisi Allah." Bisik Arkan halus, membuat Anggi kian merasa bersedih dan menenggelamkan wajahnya di dada Arkan.
"Kita nggak bisa memperbaiki masa lalu. Tapi, kita bisa kok, membenahi masa depan." Imbuh Arkan lagi, kali ini mengusap rambut Anggi sejenak dan menahan kedua bahu wanita tersebut.
"Jadi, gue minta sekarang, lo mau memaafkan masa lalu lo. Dan mulai lagi kehidupan lo yang lebih baik setelah ini," pinta Arkan lembut, menatap wajah sepupunya itu dengan kasih sayang yang besar.
"Bisa?"
***
Tadinya Anggi merasa dia bisa berdamai dengan keadaannya seperti apa yang Arkan ucapkan kepadanya. Namun, setelah dia pikir-pikir dan berusaha, sepertinya itu sulit, mengingat salah satu alasan yang membuat masa lalunya berubah menjadi mimpi buruk, kini hadir di depan kedua matanya. Bertingkah seolah semuanya baik-baik saja, dan malah berlenggak-lenggok penuh pesona seolah Anggi akan terpengaruh lagi oleh dirinya.
"Selamat pagi, Anggi. Gimana tidurnya kemarin? Nyenyak?" sapa cowok itu dengan manis --alias sok manis di telinga Anggi--, begitu mereka masuk ke dalam lift.
Tidak ingin menjawab, Anggi menatap lurus pada pintu lift yang tertutup rapat di hadapannya.
"Dulu, setiap kamu mimpi buruk, ataupun nggak bisa tidur, kamu pasti sering manggil aku. Nyuruh aku tidur di samping kamu dan mengusap perut kamu…."
Masih tidak ingin mendengar, Anggi berusaha kuat dengan mengepalkan kedua tangannya. Untung mereka hanya berdua di dalam lift. Jadi, laki-laki ini bisa bebas membahas sesuatu yang katanya "dulu" itu. Coba kalau ada satu orang lain saja, Anggi pasti sudah menyumpal mulut pria itu dengan kepalan tangannya.
Dasar tidak tahu malu.
"Nggi, kamu tahu, nggak? Terkadang… aku sering mimpi buruk soal hubungan kita dulu," cerita Andi lebih pelan dan lebih tenang, dengan menyandar di dinding lift sambil memandang Anggi dengan sendu.
Hal itu bisa terlihat dari pantulan pintu lift yang mengkilap. Seperti cermin, dia bisa melihat bayangan Andi yang terus bercerita sambil memandang ke arahnya.
"Aku nyesal. Meskipun aku tahu itu udah nggak berguna lagi sekarang, tetap aja aku nyesal. Aku juga tahu, kalau itu nggak akan cukup buat kamu mau maafin aku." Kata Andi lagi, mampu membuat Anggi memutar bola mata malas.
Dalam hati, wanita itu mengutuk lift yang terasa berjalan lambat.
"Soal anak kita--"
Ting!
Ah, syukurlah… pintu lift akhirnya terbuka. Desah Anggi dalam hati. Tanpa mau mendengarkan ucapan Andi lagi, Anggi segera berlalu dari hadapan pria itu tanpa bisa dicegah. Dia berjalan dengan cepat, hingga sampai di ruang divisinya dalam hitungan detik. Meninggalkan Andi yang terdiam memandang punggung wanita itu menjauh darinya.
Tidak, Andi sama sekali tidak merasa sakit hati atas perbuatan Anggi. Sekali lagi, Anggi berhak mengabaikannya seperti ini, mengingat dulu dia pun sering melakukan hal serupa --bahkan lebih buruk--, dari apa yang Anggi lakukan.
"Ini masih belum seberapa…." desah Andi pelan, menarik napasnya panjang dan mulai menyusul Anggi menuju ruang devisi mereka.
Sampai di ruangan tersebut, ternyata bukan hanya mereka saja yang sudah sampai. Melainkan beberapa orang, dimana dua di antaranya adalah Dita dan juga Roni. Teman akrab Anggi di kantor itu dan --mari kita sebut saja mereka-- satu geng dengan Anggi.
"Selamat pagi, semua…." Sapa Andi ramah --walaupun ramah bukanlah sebagian dari sifat aslinya--, kepada Ditha dan juga Roni.
"Eh, pagi…." Balas keduanya berbeda ekspresi, dimana Roni memandangnya dengan sorot mata tidak suka.
"Pada ngobrolin apa? Kayaknya seru…. Bisa gabung?"
Tanpa mendengar terlebih dahulu persetujuan dari tiga orang itu, Andi sudah lebih dulu menarik sebuah kursi dan duduk di sebelah Ditha yang mendadak terbengong.
Dengan kaku, gadis itu menoleh ke arah Anggi dan juta Roni yang sekarang kompak menunjukkan ekspresi menantang pada pria di sebelahnya.
Namun, tidak enak untuk menolak --karena Andi sudah lebih dulu duduk di sampingnya--, mau tidak mau, Ditha pun akhirnya menerima permintaan laki-laki itu. Untuk urusan dua temannya, dia bisa mengurusnya nanti.
"E--eh, bi--bisa kok, Mas… Kita--"
"Andi. Panggil aja gue Andi. Biar lebih santai," kata Andi menyela, sekilas melihat Ditha yang menolehkan kepalanya ke arah Roni dan Anggi.
"O--oh, oke… Andi. Kita lagi--"
"Kita mau sarapan bertiga bareng. Dan itu cuma untuk kita bertiga, doang. Orang lain dilarang ikut, karena kita pengen menikmati qulity time pertemanan kita." Tolak Roni tegas, tanpa basa-basi menatap jengkel pada Andi yang dia rasa sedang berusaha mencari perhatian temannya, Anggi.
"Ya udah, kalo gitu, biarin gue jadi temen lo. Kan gampang? Semakin rame, semakin asyik, kan?" usul Andi gamblang, seolah dia tidak mengerti maksud ucapan Roni yang menyiratkan kalau mereka tidak suka dengan kehadirannya.
"Eh! Enak aja lo kalo ngomong! Lo pikir--"
"Ck! Ron! Udahlah! Terserah dia mau ikut apa enggak. Yang penting, sekarang kita makan, yuk! Gue udah laper. Belum sarapan," sela Anggi tiba-tiba, meraih lengan Roni dan menarik pria itu untuk berdiri.
Tanpa menoleh ke arah Andi lagi, Anggi mulai menggandeng lengan Roni --sedikit mesra-- keluar dari ruang divisi, dimana Ditha pun segera menyusul langkah mereka untuk keluar.
"Ayok, kalo lo mau ikut!" ajak Ditha terdengar santai, pada Andi yang masih terdiam di tempatnya.
Bukan soal Anggi mengabaikannya lagi yang membuat dia terdiam. Melainkan, melihat pemandangan Anggi yang sedang merangkul laki-laki lain dengan manja, yang membuat Andi merasa kesal bukan kepalang.
Sejak kapan? Sejak kapan wanita itu bisa terlihat begitu akrab dengan seorang laki-laki? Bukannya dulu dia sering mengatakan kalau selain Andi, tidak ada lagi yang pernah menyentuhnya bahkan sampai batas telapak tangan? Lalu, apa yang sedang Andi lihat ini? Apa dia sedang berdelusi?
"Ndi! Kenapa diam? Ayok!"
Andi tersentak kaget, saat Ditha menarik lengannya hingga berdiri.
Sedikit tergagap, dia pun akhirnya bertanya pada gadis bertubuh tinggi dan ramping tersebut.
"Itu…." Tunjuk Andi kaku, pada bayangan punggung Anggi dan Roni yang sedang menunggu di depan lift.
"Kenapa?"
"Mereka pacaran?"
"Enggak,"
"Terus?"
Sedikit tersenyum, Ditha menjawab pertanyaan bernada heran yang keluar dari mulut pria di dekatnya. Mungkin, dia sudah terkena gombalan Anggi, makanya dia terkejut melihat wanita itu merangkul laki-laki lain, pikir Ditha.
"Itu bukan pacarnya. Cuma Anggi, dia memang suka gitu sama cowok. Tipe playgirl. Jadi, gue saranin sama lo, jangan mudah baper, kalo nggak mau sakit hati." Kata Ditha terkekeh kecil, menepuk sekilas bahu Andi dan berlalu meninggalkan pria tersebut.
Mendengar hal itu, Andi yang tadinya sedikit merasa kesal dengan keakraban Anggi dan juga Roni, semakin bertambah kesal. Pikirnya, Anggi sudah benar-benar bukan wanita yang dia kenal dulu. Tingkah laku dan pernyataan yang tadi Ditha katakan padanya sudah cukup membuat Andi menilai buruk terhadap Anggi. Artinya, bukan karena kehadiran Andi saja yang membuat Anggi bersikap genit terhadap seorang pria. Namun, jauh sebelum ini juga, ternyata Anggi sudah bersikap seperti itu terhadap banyak pria.
"Benar-benar nggak bisa dipercaya."
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Mark
Mampir yuk Ke Another World.
Siapa tau kalian suka.
Jangan lupa juga Like Sama Fav nya ya😉
2020-09-11
0
Bintang
ceritanya bagus. lnjutkan. jangan lupa mampir juga di karyaku ya 🙏.
KAPAN KITA JADIAN?
mari kita saling bantu dengan Fan dan konentar mendukung.
2020-09-01
0
Anak Kost
Ceritanya Rapih, bagus.. semangat yaa 🥰
Dukung Novelku juga ya 'Simpanan Pria Arogan'
mari saling mendukung 🥰
2020-09-01
0