"Ron, muka lo kenapa, sih? Kusut bener dari tadi gue lihat?"
Roni melirik sekilas ke arah Ditha yang mendumel. Tampak, sejak tadi gadis berkacamata itu terus memperhatikannya dengan kentara. Lebih tepatnya, sejak mereka bertiga --juga Anggi-- duduk di kantin perusahaan tersebut yang berada di lantai 3.
Tidak menjawab, Roni terus menatap Anggi yang saat ini tengah menikmati makan siangnya yang berupa nasi dengan lauk ayam bakar.
"Nggi, gue mau nanya sesuatu sama lo," ucap Roni serius, melihat Anggi yang sempat meliriknya sekilas.
"Soal tadi,--"
"Eh, gue mau pesan jus pokat. Lo pada mau, nggak? Biar sekalian gue pesenin!"
"Lo yang bayarin?"
"Iya,"
"Pake uang lo, kan?"
"Iya…."
"Oke!"
Tanpa menunggu jawaban ataupun merespons pertanyaan dari Roni sebelumnya, Anggi berdiri dan langsung berjalan menuju counter pemesanan di kantin tersebut. Dia meninggalkan Roni dan Ditha, bahkan sebelum dia sempat mendengar dari Roni apakah dia juga mau jus alpukat, atau tidak.
Kesal, Roni pun hanya bisa mendengus melihat sikap Anggi yang memang memang sangat hebat dalam urusan elak mengelak.
"Ron! Lo kenapa, sih? Dari tadi gue lihat, muka lo masam mulu! Lagi ada masalah lo, ya? Cerita, dong!" celetuk Ditha, yang ternyata masih juga memperhatikan tampang Roni dari arah samping.
"Ngapain gue cerita sama lo? Buat jadi bahan ghibahan lo, ntar?" ketus Roni menyebalkan, sontak membuat Ditha mengedip dan mengomel.
"Eh, kampret! Gue nggak sejahat itu, ya!"
"Tapi lebih kejam dari itu, iya kan?" sambar Roni kemudian, membuat Ditha mulai kesal dan meminum es teh manisnya yang tadi tinggal sepertiga. Kalau urusan makan siangnya, sudah habis bersamaan dengan Roni yang juga sudah habis.
"Lo nyebelin!" rutuk Ditha, tak ayal dibalas dengusan masa bodoh oleh Roni.
"Orang niatnya mau baik, malah disewotin sama lo. Apa sih--"
"Kenapa lo mau baik sama gue? Lo naksir sama gue?" timpal Roni lagi, kali ini sukses membuat Ditha menoleh aneh kepadanya.
"Lo kenapa, sih? Kok--"
"Kalo naksir, bilang. Nggak usah cari alasan sok peduli." Kata Roni lagi-lagi menyambar, dan membuat Ditha terbengong, menahan napas tidak percaya.
Sesaat, gadis berkulit putih itu hanya diam memandang Roni yang tetap cemberut. Sambil melihat ke arah lain, pria itu tampak sedang memikirkan sesuatu dengan wajahnya yang masam itu.
"Lo itu sebenarnya kenapa, sih? Nyebelin banget jadi orang? Gue nanya bagus-bagus, eh, lo-nya malah sewot! Udah gila kali lo, ya?" tuding Ditha sebal, kemudian bangkit dari tempat duduknya, bersamaan dengan Anggi yang sudah kembali dengan tiga gelas jus dingin di tangannya.
"Eh, lo mau ke mana?" tanya Anggi bingung, melihat Ditha berdiri yang sepertinya hendak meninggalkan meja tempat mereka bertiga makan tadi.
"Mau ke toilet. Mual gue," ujar Ditha agak tajam, melirik dongkol apa Roni yang tetap diam dengan wajahnya yang ditekuk.
Dengan gaya yang sedikit kaku, Anggi pun mengangguk dan berkata, "Oh," sambil melirik ke arah Roni.
Kemudian, tidak mengerti harus berbuat apa sekarang, karena tidak menyangka akan ditinggal berdua dengan Roni, Anggi pun mencoba untuk duduk tenang di depan laki-laki itu. Di bawah pengawasan mata tajamnya, Anggi mencoba menikmati jus alpukat yang baru saja dia pesan, demi mengalihkan perhatian Roni yang sejak tadi mengarah kepadanya.
"Lo belum jawab pertanyaan dari gue," ucap Roni, dengan nada suara yang datar, terus memandang Anggi yang mulai gemetaran.
"Pertanyaan lo yang mana?"
"Lo tau yang mana,"
"Nggak, gue nggak tau yang mana,"
"Masa?"
"Hm,"
Sedikit geram, Roni menarik sudut bibirnya menatap Anggi yang sejak tadi berusaha menghindari kontak mata dengannya.
"Kalo gitu, pertanyaan soal, apa yang lo lakuin sama si anak baru itu di lift tadi? Lo naksir sama anak baru itu? Selama ini, lo cuma pura-pura ketus, biar bisa dapat perhatian dari dia? Gitu?" cecar Roni to the point, lantas membuat Anggi kaku di tempatnya.
"Lo tau apa yang udah lo lakuin nggak, Nggi? Lo itu baru disentuh sama dia! Lo itu dicium sama dia!" bentak Roni tiba-tiba, sontak membuat Anggi kaget karena mereka yang menjadi bahan tontonan.
"Ron! Lo--"
"Gue tau, kalo selama ini tuh, sifat genit yang selalu lo tunjukin itu cuma sekedar candaan doang! Tapi, gue nggak nyangka kalo--"
Kali ini, setelah sejak tadi menyela setiap ucapan dari orang, sekarang giliran ucapan Roni yang disela oleh Anggi.
Bukan menggunakan ucapan, melainkan Anggi menyela ucapan Roni dengan cara bangkit dan meninggalkan pria itu di kantin.
"Nggi!"
Melihat Anggi yang sudah berjalan cepat di depannya, buru-buru Roni juga bangkit untuk mengejar wanita tersebut. Dia setengah berlari, hingga akhirnya berhasil menangkap lengan Anggi yang hampir mencapai pintu lift.
"Lo--"
Anggi yang ingin memberontak, segera ditarik oleh Roni ke sudut lantai, tempat dimana tidak begitu banyak orang bisa melihat mereka di sana.
"Lo apa-apaan sih, Ron?! Lepas! Gue malas ngomong sama lo!" bentak Anggi marah, berusaha mendorong Roni yang memojokkan tubuhnya ke dinding.
"Kenapa? Lo males, atau takut, hah?! Lo takut, kalo gue tau, ternyata sifat lo itu nggak lebih dari cewek munafik yang nggak bisa memegang ucapannya sendiri?! Iya!?"
"Maksud lo apa, sih?! Gue nggak ngerti!"
"Lo bego'! Lo cuma pura-pura nggak ngerti sama omongan gue aja! Sebenarnya, lo paham sama apa yang gue maksud, kan?!"
Di tengah aksi dorong-dorongan yang terjadi antara dirinya dan juga Roni, Anggi berusaha tetap mengelak dan membungkam mulutnya untuk tidak menjawab satu pun ucapan dari laki-laki di depannya.
Sementara itu, melihat Anggi hanya diam saja sambil berusaha mendorongnya menjauh, Roni pun bertambah geram.
Sambil tersenyum sinis, pria itu berkata, "Oh, jangan-jangan, ciuman dari anak baru itu bisa bikin lo jadi lupa ingatan, ya?! Iya!"
"Ron--!"
"Munafik." Gumam Roni, sontak membuat Anggi terdiam dan membeku di tempatnya.
Sebenarnya, ini yang dihindari Anggi sejak tadi. Sejak Roni memergoki dirinya dan juga Andi di dalam lift, Anggi berusaha keras untuk menghindari pria itu sejauh mungkin. Bukan berniat untuk bersikap masa bodoh atau pengecut. Anggi hanya merasa belum siap, untuk menghadapi pertanyaan yang akan Roni keluarkan seputar apa yang laki-laki itu lihat saat lift tadi pagi. Dia takut, jawaban yang akan dia berikan kepada Roni, justru akan balik menyerangnya nanti.
"Nggi, gue kira, sikap centil lo selama ini cuma ada di bibir doang. Gue kira, lo nggak akan semurahan itu menggoda orang, terlebih sampai ngasih tubuh lo disentuh sama cowok lain. Cuma, hari ini gue--"
"Murahan?" ulang Anggi kaku, menatap Roni yang sesaat hanya diam memandangnya.
"Lo bilang, gue murahan?" pertegas wanita itu lagi, dengan menaikkan suaranya satu oktaf, dimana Roni menarik napasnya panjang dan mengangguk.
"Gue nggak tau apa yang sebenarnya terjadi antara lo dan si anak baru itu. Cuma, dari yang gue lihat, lo kayak cewek murahan, yang bisa aja diapa-apain di sembarang tempat." Ujar Roni pelan, kemudian mundur perlahan.
Tidak ada lagi yang berbicara di antara mereka. Mulut Anggi seperti terkunci melihat kepergian Roni. Bukannya tidak ingin menjelaskan, hanya saja, Anggi merasa bingung harus memulai cerita ini dari bagian mana, sementara ada beberapa hal dalam kehidupannya yang masih ingin dia simpan rapat-rapat sebagai luka dan kebodohan yang tidak boleh orang lain lihat.
"Eh, lo berdua di sini rupanya! Kok malah pergi, sih? Si Roni mana?"
Anggi menundukkan kepalanya, tepat saat Ditha datang menghampiri dirinya yang menyendiri.
Sedikit melirik, Anggi menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan Ditha. Dia hanya menatap pintu lift yang tertutup, tempat dimana Roni menghilang beberapa saat lalu.
❄
Hari ini, setelah pulang bekerja, Anggi memutuskan untuk tidak langsung pulang ke apartemennya. Dia membelokkan mobilnya ke sebuah taman yang ada di sudut kota, sedikit jauh dari tempat tinggalnya saat ini.
Suasana taman terlihat mulai sepi. Mungkin, karena sebentar lagi malam akan menjelang, orang-orang yang tadinya tengah menikmati sore di tempat itu, satu per satu mulai pergi meninggalkan Anggi seorang diri.
Wanita itu terdiam menatap langit sore yang berwarna oranye. Senja sudah mulai menyonsong, bersama hangatnya mentari yang kian meredup. Kilasan-kilasan masa lalu yang dulu pernah terjadi, membuat hati Anggi terasa sedikit nyeri. Ada rasa bahagia, ada juga rasa duka. Semua bercampur dalam satu kenangan lara dalam batinnya.
Dia ingat, taman itu adalah tempat pertama bagi Anggi bertemu dengan cinta pertamanya. Pertama kalinya bertemu berdua, setelah beberapa kali dia melihat pria itu terus bersama dengan sepupunya.
"Lo ngapain nyuruh gue datang ke mari?! Nggak ada tempat yang lebih bagus lagi apa, selain taman? Lo mau kencan sama gue?!"
Sedang asyik menikmati nostalgia pahit dalam hidupnya, Anggi malah mendengar suara sepupunya, Arkan, yang mengomel --menyindir-- begitu dia tiba di sebelah Anggi.
Tampak, wajah pria itu seperti ditekuk, ketika dia duduk di sebelah Anggi yang saat ini juga tengah duduk di kursi beton yang ada di taman tersebut.
"Gue ganggu waktu lo, ya?" tanya Anggi basa-basi, melihat Arkan mendengus dan melirik jengkel ke arahnya.
"Banget!" sungutnya.
"Sory," ucap Anggi lirih, lantas memutar kepalanya lagi ke arah depan, mengabaikan raut wajah terkejut Arkan yang mendengar ucapannya.
Sory?
Wah…. Dalam rangka apa, Anggi tahu mengucapkan kalimat itu?
"Tumben lo tau diri. Kenapa? Lo ada masalah? Lo mau cerita sama gue?" tanya Arkan mulai melunak, menatap wajah Anggi dari samping yang terlihat begitu lesu.
Sesaat, Anggi tidak menjawab apa pun pertanyaan dari Arkan. Dia hanya diam, sambil terus menatap lurus langit senja yang kini mulai terlihat kebiruan.
"Lo… masih ingat Damar, nggak?" tanya Anggi pelan, hampir menyerupai gumaman, yang masih mampu terdengar jelas oleh Arkan di sebelahnya.
"Damar?" ulang Arkan, lalu memasang tampang tidak suka melihat Anggi.
"Ngapain lo nyebut-nyebut nama dia? Lo kangen sama dia?" cetus Arkan sinis, mengerutkan dahinya dalam, lebih intens menatap Anggi.
"Enggak."
"Terus, ngapain lo nyebut-nyebut nama dia? Lo keingat lagi sama si brengsek itu?! Atau, lo ketemu sama dia?! Dia itu--"
"Gue satu kantor sama dia," sela Anggi cepat, menghentikan ocehan Arkan yang entah ingin mengatakan apa.
"Damar itu… karyawan baru di perusahaan tempat gue kerja. Dan dia…" Anggi menolehkan kepalanya ke arah Arkan dan menatap lesu sepupunya yang satu itu. "Satu divisi sama gue."
"Apa?!"
Menghelakan napas berat, Anggi membuang pandangannya lagi ke arah depan. Dari wajahnya, dia terlihat sangat lelah, dan seolah tidak punya semangat hidup untuk kedepannya.
"Udah berapa lama?"
"Dua minggu ini,"
"Dan lo baru cerita sama gue sekarang?!" semprot Arkan, sontak membuat Anggi mengelakkan wajahnya dari pria itu.
"Nggi, selama dua minggu ini, bukan satu atau dua kali gue datang ke apartemen lo! Lo punya banyak waktu dan kesempatan untuk ceritain masalah ini ke gue! Dan setelah dua minggu dia ada di samping lo, kenapa baru sekarang lo mau bilang hal ini ke gue, hah?! Lo sengaja, atau gimana?!" cecar Arkan marah, menuding Anggi dengan jarinya.
Anggi yang memang tidak tahu kenapa dia tidak menceritakan masalah ini pada Arkan lebih cepat, hanya bisa menunduk, dan mengulum bibirnya resah.
"Lo bego!" maki Arkan berikutnya, membuat hati Anggi kembali nyeri seperti semula.
Ya, dia memang bodoh. Selama berada di samping Damar, dia akan selalu menjadi orang yang bodoh. Entah itu dulu, maupun sekarang, dia akan tetap menjadi perempuan paling bodoh, jika sudah berada dekat dengan laki-laki bernama Damar Alfandi itu.
"Sory, gue…."
"Apa lagi yang dilakuinnya sama lo sekarang?" tanya Arkan menyela permintaan maaf Anggi yang tidak penting, dan memancing perhatian wanita itu untuk menoleh ke arahnya.
"Lo pasti nggak akan kelihatan sefrustrasi ini, kalo dia nggak ngelakuin sesuatu sama lo. Jadi, bilang sama gue, apa yang udah dia lakuin sama lo kali ini? Dia gangguin lo, atau dia ngelecehin lo lagi?" tanya Arkan menekan, menatap serius Anggi yang lagi-lagi bingung harus menjawab apa.
Tidak mungkin dia bilang, kalau dia sudah dilecehkan oleh Damar saat di lift tadi. Bisa-bisa Arkan marah, dan membunuh Damar dalam waktu dekat.
"Eum… itu… dia…."
"Jawab! Jangan cuma gagu nggak jelas kayak gitu!" bentak Arkan emosi, seketika membuat jiwa Anggi mengerut tidak berdaya.
Meskipun Anggi dan adiknya sering menindas Arkan, tapi kalau sudah marah, baik Anggi ataupun adiknya tidak akan berani mengganggu laki-laki itu. Emosinya kalau sedang marah, bisa lebih mengerikan daripada seekor monster. Begitu penilaian Anggi dan adiknya jika sudah melihat Arkan marah seperti ini.
"Dia nggak ngapa-ngapain gue! Gue… gue cuma nggak suka aja ngelihat dia ada di sebelah gue tiap hari, makanya gue cerita sama lo. Karena selain lo, nggak ada lagi tempat bagi gue buat cerita tentang masalah gue. Jadi, ini nggak ada hubungannya sama dia yang ngelecehin gue atau nggak!" kilah Anggi cepat, menatap takut pada Arkan yang masih menatapnya begitu dalam dengan sorot matanya yang terlihat mengerikan.
"Beneran…! Lo… lo ngapain lihatin gue kayak gitu, sih? Lo… nggak percaya sama omongan gue? Gue baik-baik aja, kok! Gue…."
Arkan masih diam menatap wajah tegang Anggi dalam-dalam. Membuat wanita itu merasa takut, dan menyesal kenapa dia menghubungi Arkan untuk datang menemuinya di taman tadi. Lebih baik, dia menyimpan masalah ini sendiri dan tidak pernah mengungkapkan rasa sakit hatinya kepada siapa pun. Mungkin, memang akan lebih aman jika dia memendamnya seorang diri. Ya, meskipun resikonya dia akan dianggap rendah oleh Damar ataupun Roni karena bisa disentuh oleh sembarang pria di mana pun juga.
"Lo harus berhenti bekerja hari ini juga," cetus Arkan tiba-tiba, sontak membuat Anggi terkejut dan menatap ngeri ke arahnya.
"Kok--!"
"Gue nggak mau tau! Sekarang… lo yang mundur dari perusahaan itu, atau gue habisin Damar!"
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
💕Nindi💕
The last chance maksudnya mereka balikan lagi gitu ya?
2021-11-03
0
Astuti Abata
serunya polemik kehidupan nyata
2021-04-17
0