Bagian keempat

Andi merasa kesal bukan kepalang dengan situasi yang dihadapinya saat ini. Di depan mata, wanita yang sedang dia kejar sedang bermesraan dengan laki-laki lain. Terlihat sangat biasa sih, bagi pandangan setiap orang. Hanya saja, bagi dirinya yang tidak pernah melihat Anggi seperti itu sebelumnya, hal ini terlihat begitu berlebihan. Seolah mereka itu adalah sepasang kekasih, Anggi dengan santainya menyandarkan kepalanya di bahu Roni. Mending, kalau bahu pria itu lebih bidang daripada Andi. Ini, siapapun yang melihat mereka pasti bisa melihat kalau Andi jauh lebih gagah ketimbang Roni. Jadi, untuk apa Anggi bersikap lebai seperti ini? Ingin memanas-manasi hatinya, kah? 

"Jangan terlalu banyak makan cabe. Kemarin, maag lo kumat kan, gara-gara kebanyakan cabe?"

Andi mendengus sebal melihat Roni yang menarik lengan Anggi saat wanita itu hendak menuangkan cabai giling ke atas bubur ayamnya. Sok romantis. 

"Dikit aja, elah! Nggak berasa gini kalo nggak pake cabe…." Pinta Anggi mendecak, ingin meraih mangkuk cabai dari tangan Roni, tatkala pria itu langsung menjauhkannya lagi darinya. 

"Is, Roni! Pelit banget sih, lo?! Bukan cabe punya lo juga…!" pekik Anggi sebal, memberengutkan wajahnya terhadap Roni yang hanya memasang tampang datar masa bodoh, sembari meletakkan mangkuk cabai itu di sebelah Andi. 

Sejenak, Anggi ingin meminta seseorang mengambilkan cabai itu darinya. Hanya saja, karena dia sadar dengan seseorang yang paling dekat dengan cabai itu hanyalah Andi, akhirnya mau tidak mau, Anggi pun memakan sarapan bubur yang dipesannya tadi tanpa menggunakan cabai. Rasanya, ego Anggi masih lebih besar, ketimbang merasakan memakan bubur ayam tanpa rasa cabai di lidahnya. 

Sejenak, tidak ada yang berbicara di antara mereka. Keempatnya terlihat sibuk dengan sarapan masing-masing, sampai akhirnya Ditha yang membuka pembicaraan kembali. 

"Oh, ya…. Ngomong-ngomong, kita belum tau bener tentang lo, nih…. Sebelumnya, lo kerja di mana?" tanya gadis itu pada Andi, sambil mengunyah lontong sayur di mulutnya. 

"Gue?" tanya Andi menunjuk sendiri, kali ini mendapat perhatian juga dari Roni yang melihatnya. 

"Gue… kerja di perusahaan properti. Karyawan biasa, sih…. Nggak ada yang spesial,"

"Bagian marketing juga?"

"Iya,"

"Oh…."

Lalu, pembicaraan itu pun kembali terputus. Semua tampak kembali diam, sebelum Ditha melanjutkan pertanyaannya. 

"Eum, sory nih, sebelumnya…. Dengar-dengar, lo itu duda, ya?"

"Dith!"

"Apa?"

Roni menghembuskan napas panjang dan mengernyit, melihat Ditha yang mendelik ke arahnya. 

"Emang kenapa kalo dia duda? Lo mau daftar jadi istrinya?" sengit Roni sinis, melihat Ditha yang balas mendengus ke arahnya. 

"Bukan gitu! Gue kan cuma mau nanya doang! Apaan sih, lo?" sungut Ditha cemberut, lantas mengalihkan perhatiannya lagi ke arah Andi yang terdiam. 

"Lo nggak keberatan kalo gue nanya soal ini? Lo… nggak tersinggung, kan?" tanya gadis itu memastikan, melihat raut muka Andi yang sulit untuk dibaca. 

Sedikit tersenyum getir, tampak Andi berusaha menjawab pertanyaan Ditha sesantai mungkin. 

"Enggak, kok…. Gue nggak tersinggung. Cuma ya, emang gue merasa agak nggak enak aja, kalau ada yang bahas tentang status gue yang sekarang,"

"Kenapa?"

"Mau tau aja sih, lo!"

Ditha kembali menolehkan kepalanya secepat kilat ke arah Roni yang mengomel. Ini temannya satu, kok jadi sensitif dan super cerewet begini, sih? Biasanya dia santai-santai saja kalau Ditha ataupun Anggi bertanya-tanya tentang seseorang. Tapi, kenapa sekarang kesannya judes sekali? 

"Ya… nggak enak aja. Karena itu, bisa mengingatkan gue tentang kegagalan gue di masa lalu." Jawab Andi tenang, seolah tidak peduli dengan perdebatan antara Ditha dan juga Roni. 

"Oh, berarti cerai hidup, ya?"

"Kepo!"

"Ssssk!" 

Jengkel, Ditha kembali melayangkan tatapan membunuhnya kepada Roni. Dia heran, kenapa sih dengan si Roni ini? Biasanya juga, dia sangat semangat untuk mengetahui tentang kehidupan orang lain, sama seperti dirinya dan juga Anggi. Tapi, kenapa sekarang jadi terlihat sangat menjengkelkan begini? Dia bertingkah, seolah Ditha itu hanyalah seorang penggosip tunggal yang ingin mencari tahu tentang urusan pribadi orang lain. Benar-benar membuat kesal. 

"Terus, mantan istri lo sekarang di mana? Apa dia--"

Plang! 

Ditha yang baru saja akan melemparkan pertanyaan baru kepada Andi, mendadak menghentikan pertanyaannya, ketika mendengar suara sendok yang dibanting keras ke arah sebuah mangkuk kaca. 

Siapa lagi yang melakukannya, kalau bukan Anggi? Cewek yang dari tadi hanya diam di tempatnya menikmati sarapan itu, tiba-tiba menginterupsi pertanyaan Ditha dan membuat gadis itu sedikit kaget. 

"Gue kenyang…." Ucapnya datar, berdiri dari kursi yang didudukinya dan melihat Ditha dengan sorot mata yang sedikit tajam. 

"Pengen boker," lanjutnya santai, lantas berjalan meninggalkan meja makan di kantin tersebut, beserta tiga orang yang seketika terbengong mendengar kalimat yang baru saja dia katakan. 

Alih-alih melanjutkan sarapan lontong sayurnya yang masih tersisa setengah piring, Ditha yang merasa jijik dengan ucapan Anggi barusan, ikut membanting sendoknya ke atas meja. 

"Cewek gila!"

***

"Aku tau, kenapa kamu ngelakuin hal kayak gitu, tadi."

Anggi sedang berjalan menuju pantry yang ada di lantai dasar perusahaan tempatnya bekerja, saat mendengar suara Andi menyapa telinganya. 

"Ngelakuin apa?"

"Yang di kantin,"

Anggi menolehkan kepalanya dari Andi, saat dia sadar perihal apa yang sedang pria itu bicarakan dengannya.

"Dulu kamu juga sering begitu, kan? Waktu kamu lagi berusaha mengalihkan pembicaraan, kamu pasti mengelakuin hal yang aneh buat ngelak." Tuduh Andi lagi, melipat kedua tangannya di dada. 

"Sok tau,"

"Memang tau!" dengus pria itu seketika, menyandarkan tubuhnya di pilar pintu pantry, dan memperhatikan Anggi yang hendak membuat minuman di sana. Mungkin, kopi? 

"Aku tau, karena aku nggak cuma kenal sama kamu. Tapi, aku udah terlanjur sangat mengenal kamu. Jadi, apapun yang kamu lakuin sekarang, aku bisa tau, kalo itu cuma rencana kamu yang semata-mata mau bikin aku marah. Iya, kan?" tanya Andi lagi tersenyum, melihat punggung Anggi yang sangat begitu menggoda di matanya. Rasanya, dia ingin sekali mendekat dan memeluk punggung itu lagi, sebagaimana dia sering melakukannya dulu. 

"Hmph! Kepedean," dengus Anggi datar, sebelum akhirnya memutar tubuhnya menghadap Andi yang mendadak kaku mendengarnya. 

"Emangnya lo siapa? Penting buat gue nyari perhatian sama lo? Emang, apa untungnya buat gue?" sinis Anggi mengangkat sudut bibirnya sedikit, menatap sepele pada Andi yang terdiam. 

"Gue udah pernah bilang sama lo kemarin. Jangan pernah ungkit soal masa lalu lagi di depan gue. Kenapa sih, lo nggak mau dengar?" kernyit Anggi tidak suka, menatap Andi yang masih juga terdiam di tempatnya. 

Memang sih, apa yang dikatakan Andi tentang mengalihkan pembicaraan itu benar adanya. Seperti sudah menjadi kebiasaan, Anggi pasti akan mencari pengalihan lain, jika ada hal yang sangat tidak ingin dia bahas. Entah itu ingin pergi ke suatu tempat, ataupun melakukan sesuatu hal yang lain, demi mengelak dari pembahasan yang sedang melibatkan dirinya. 

Seperti sekarang, alih-alih pergi ke toilet sebagaimana yang dia katakan pada Ditha tadi, Anggi justru melenggang dengan sangat santainya menuju pantry yang ada di lantai satu. Hanya saja, dia tidak ingin mengakui semua perkataan Andi itu benar, karena ego yang mungkin akan membuat pria itu semakin memandang rendah atas dirinya. 

"Mau lo sebenarnya itu apa? Lo mau bernostalgia sama gue? Dengan semua kenangan buruk yang gue punya?" dengus Anggi lagi, lantas tertawa sinis. "Lo becanda?"

"Nggi,"

"Dengar, gue nggak mau tau apa tujuan lo sebenarnya datang ke tempat ini. Tapi, gue harap, lo berhenti bersikap seolah-olah lo punya suatu kenangan yang bahagia, dimana itu bisa lo jadikan sebagai bahan ingatan yang indah bersama gue. Karena bagi gue, semakin lo mengingatkan tentang ketololan gue di masa lalu, semakin jijik juga gue ngelihat muka lo yang sok penting itu. Ngerti lo!?"

"Nggi!"

Anggi yang sudah berusaha keras menahan emosinya sejak tadi, langsung menepis tangan Andi yang hendak menggapainya. Dia berjalan melewati pria itu dengan langkah tegas dan cepat, seolah pria itu adalah virus yang sewaktu-waktu bisa menyerangnya hingga mati. Bahkan, saking buru-burunya, dia tidak jadi membawa kopi yang sudah sempat dia buat di saat pantry tadi. Benar-benar menyebalkan. 

Sementara itu, Andi yang merasa kalau dirinya kembali ditolak oleh Anggi, termenung sejenak memandangi tangannya yang baru saja ditepis kasar. Dulu, tangan itu adalah tangan yang sangat dirindukan oleh Anggi. Entah itu pagi, siang, sore bahkan malam, tangan itu pasti akan menjadi sesuatu yang paling dicari oleh wanita itu. Untuk mengusap rambutnya di pagi dan malam hari, ataupun mengusap perutnya yang kadangkala merasa tidak nyaman. Bahkan, Andi sendiri kadang pernah merasa cemburu dengan tangannya sendiri yang jauh lebih dibutuhkan oleh wanita itu. Dia tahu, itu terdengar konyol. Tapi, itulah kenyataannya, dimana sekarang, dia tidak bisa merasakan lagi lembutnya rambut wanita itu saat dia sentuh, atau manisnya wajah perempuan itu, saat dia mengusap rambutnya dengan sayang. 

Namun, semua terasa berbeda sekarang. Anggi yang lugu, manis, dan selalu menjadi penyejuk di hati Andi, kini berubah menjadi sosok Anggi yang dingin, kasar dan juga sinis, seolah menjadi sisi lain dari Anggi yang baru. Mengeluarkan kata tajam yang cenderung membuat sakit hati, seakan sudah menjadi gambaran diri Anggi yang sekarang. 

Ah, sungguh Andi merasa perasaannya sangat kosong. Wanita yang dia cintai, sudah enggan untuk menatapnya kali ini. Dan membuatnya semakin merasa bersalah, atas apa yang sudah terjadi di antara mereka sejak waktu dulu. Andai saja waktu itu dia tidak egois dan mau menatap Anggi barang sebentar, mungkin sekarang dia sudah bisa memeluk wanita itu kapan pun dia mau. 

"Hah? Cinta? Aku baru tau, kalau hal yang sakit kayak gini kamu sebut dengan cinta. Jadi, apa bedanya sama orang yang saling membunuh di luar sana?"

Perlahan, Andi memejamkan kedua matanya yang terasa lelah. Dia bersandar di dinding pantry dan mengingat apa yang dulu pernah Anggi katakan kepadanya. 

Dengan penuh air mata, wanita itu berucap kepada Andi, "Kita cerai aja,"

Bersambung 

Terpopuler

Comments

Rah27

Rah27

Lanjutt, Gass terus👊, cerita nya bagus banget soal nya gak ada dua nya. Tetap semangat nulis nya💙💙💙

Jangan lupa baca juga cerita ku PERJODOHAN AQILLA & FARELL di tunggu ya

2020-09-18

0

lihat semua
Episodes
1 Prolog
2 Bagian pertama
3 Bagian kedua
4 Bagian ketiga
5 Bagian keempat
6 Bagian kelima
7 Bagian keenam
8 Bagian ke tujuh
9 Bagian ke delapan
10 Bagian ke sembilan
11 Bagian ke sepuluh
12 Bagian ke sebelas
13 Bagian ke dua belas
14 Bagian ke tiga belas
15 Bagian ke empat belas
16 Bagian Ke Lima Belas
17 Bagian ke enam belas
18 Bagian ke tujuh belas
19 Bagian ke delapan belas
20 Bagian ke sembilan belas
21 Bagian ke dua puluh
22 Bagian ke dua puluh satu
23 Bagian ke dua puluh dua
24 Bagian dua puluh tiga
25 Bagian dua puluh empat
26 Bagian dua puluh lima
27 Bagian dua puluh enam
28 Bagian dua puluh tujuh
29 Bagian dua puluh delapan
30 Bagian dua puluh sembilan
31 Bagian tiga puluh
32 Bagian tiga puluh satu
33 Bagian tiga puluh dua
34 Bagian tiga puluh tiga
35 Maaf
36 Bagian tiga puluh empat
37 Bagian tiga puluh lima
38 Bagian tiga puluh enam
39 Bagian tiga puluh tujuh
40 Bagian tiga puluh delapan
41 Bagian tiga puluh sembilan
42 Bagian ke empat puluh
43 Bagian empat puluh satu
44 Bagian empat puluh dua
45 Bagian Empat Puluh Tiga
46 Bagian empat puluh empat
47 Bagian empat puluh lima
48 Bagian Empat Puluh Enam
49 Bagian Empat Puluh Tujuh
50 Bagian Empat Puluh Delapan
51 Bagian Empat Puluh Sembilan
52 Bagian Lima Puluh
53 Bagian Lima Puluh Satu
54 Bagian Lima Puluh Dua
55 Bagian Lima Puluh Tiga
56 Mr. Evan's Brides
Episodes

Updated 56 Episodes

1
Prolog
2
Bagian pertama
3
Bagian kedua
4
Bagian ketiga
5
Bagian keempat
6
Bagian kelima
7
Bagian keenam
8
Bagian ke tujuh
9
Bagian ke delapan
10
Bagian ke sembilan
11
Bagian ke sepuluh
12
Bagian ke sebelas
13
Bagian ke dua belas
14
Bagian ke tiga belas
15
Bagian ke empat belas
16
Bagian Ke Lima Belas
17
Bagian ke enam belas
18
Bagian ke tujuh belas
19
Bagian ke delapan belas
20
Bagian ke sembilan belas
21
Bagian ke dua puluh
22
Bagian ke dua puluh satu
23
Bagian ke dua puluh dua
24
Bagian dua puluh tiga
25
Bagian dua puluh empat
26
Bagian dua puluh lima
27
Bagian dua puluh enam
28
Bagian dua puluh tujuh
29
Bagian dua puluh delapan
30
Bagian dua puluh sembilan
31
Bagian tiga puluh
32
Bagian tiga puluh satu
33
Bagian tiga puluh dua
34
Bagian tiga puluh tiga
35
Maaf
36
Bagian tiga puluh empat
37
Bagian tiga puluh lima
38
Bagian tiga puluh enam
39
Bagian tiga puluh tujuh
40
Bagian tiga puluh delapan
41
Bagian tiga puluh sembilan
42
Bagian ke empat puluh
43
Bagian empat puluh satu
44
Bagian empat puluh dua
45
Bagian Empat Puluh Tiga
46
Bagian empat puluh empat
47
Bagian empat puluh lima
48
Bagian Empat Puluh Enam
49
Bagian Empat Puluh Tujuh
50
Bagian Empat Puluh Delapan
51
Bagian Empat Puluh Sembilan
52
Bagian Lima Puluh
53
Bagian Lima Puluh Satu
54
Bagian Lima Puluh Dua
55
Bagian Lima Puluh Tiga
56
Mr. Evan's Brides

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!