Damar memukul setir mobilnya keras, saat kendaraan roda empat itu mulai meninggalkan basement tempat Anggi tinggal saat ini. Beberapa saat lalu, dia hampir saja melakukan kesalahan bodoh, yang mungkin akan membuatnya kehilangan kesempatan untuk mendapatkan Anggi kembali.
"Kalau emang lo cuma mau ini, bakal gue kasih malam ini. Tapi setelah itu… jangan muncul lagi di hadapan gue."
Damar yang saat itu hampir dikuasi oleh nafsu, seketika sadar bagaikan tersiram air es. Dia membuka mata, dan melihat Anggi yang sudah berjongkok di depan lututnya.
"Nggi!" panggil pria itu cepat, buru-buru memperbaiki celananya dan menarik lengan Anggi hingga berdiri.
"Lo gila, ya?! Apa maksud lo barusan, hah?! Lo--"
"Nggak usah munafik, Damar! Gue tau apa yang lo mau dari diri gue." Sela Anggi cepat, terlihat ikut marah pada Damar.
"Apa?! Apa yang gue mau dari diri lo, Nggi? Apa?! Lo nggak tau apa-apa! Lo--"
"Lo cuma mau tidur sama gue, kan?! Emang, apa lagi yang bisa diinginkan sama cowok brengsek kayak lo, hah? Cinta?! Jangan bego'! Gue nggak bakal percaya sama omongan lo!"
"Nggi,"
Bruk!
"Nggi, lo jangan gila! Bukan ini yang gue mau! Gue--"
"Terus lo mau apa? Kalo lo emang nggak mau, pergi dari hidup gue! Gue nggak suka lihat muka lo! Gue muak! Gue mau muntah! Pergi dari hidup gue!!!"
Teringat apa yang terjadi di apartemen perempuan itu, seketika membuat emosi Damar kembali meledak. Bagaimana bisa, perempuan itu bersikap layaknya wanita penggoda hanya untuk mengusir Damar dari kehidupannya? Apa seputusasa itukah Anggi untuk membuat Damar, hingga rela memberikan tubuhnya?
Sungguh, demi apa pun, Damar tidak menyangka Anggi --orang yang memiliki ego sangat tinggi sejak kembali bertemu dengan Damar-- bisa bersikap rendah seperti itu hanya untuk membuat Damar mundur dari rencananya. Dia pikir, Damar akan menyerah pada keinginannya mendapatkan Anggi kembali hanya karena kesenangan satu malam?
Oke, Damar akui kalau dia hampir saja jatuh dalam perangkap Anggi, kalau saja wanita itu tidak berkata untuk meninggalkannya setelah melewati malam ini. Ya, meskipun sebenarnya Damar bisa mendapatkan keduanya --tubuh hangat Anggi dan rencananya untuk mendapatkan wanita itu kembali--, Damar tetap pada pendirian warasnya untuk bertahan. Walaupun otaknya sempat menyuruhnya untuk membiarkan Anggi memuaskan Damar, hati kecil pria itu menolak Anggi yang bersikap demikian.
Dia mau, Anggi menyerahkan dirinya secara suka rela pada Damar. Hubungan dalam ikatan yang resmi tentu akan jauh lebih indah daripada hubungan di luar status seperti yang pernah mereka lakukan sebelum ini. Dia ingin, Anggi melayaninya sebagai seorang istri, dan bukannya mantan istri ataupun kekasih. Tujuannya sudah jelas. Damar benar-benar ingin kembali pada wanita itu sebagai seorang suami, dan calon ayah untuk buah hati mereka di kemudian hari.
❄
Sementara itu, di apartemennya, Anggi hanya bisa terpaku seperti orang bodoh yang tidak bisa berbuat apa-apa. Dia melamun, meratapi segala hal yang baru saja terjadi antara dirinya dan juga Damar.
Dia benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja dilakukannya kepada Damar. Bagaimana bisa dia bersikap sangat murahan, dengan memaksa pria itu berhubungan dengannya dengan imbalan pergi dari kehidupannya? Memangnya, tidak ada cara lain lagi, sampai dia harus melakukan hal konyol seperti itu?
Sungguh demi apa pun, Anggi merasa kalau batu jauh lebih berguna daripada otaknya saat ini.
"Gue udah pernah pergi dari hidup lo, Nggi. Dan jangan harap, kalau kali ini gue bakal ninggalin lo kayak waktu itu. Karena selain mati, nggak bakal ada alasan buat gue pergi dari hidup lo!"
"Argh…."
Pip! Pip! Pip! Pip! Piiip…!
"Aaaaargh!"
Prang!
Tiririiii….
"Nggi,"
Bersamaan dengan gelas kaca yang ada di hadapan Anggi terbang membentur tembok hingga pecah, Arkan masuk ke dalam apartemen perempuan itu dan terkejut mendapati sebuah lemparan yang menyambut kedatangannya.
Dengan perlahan dan penuh kehati-hatian, Arkan mendekati Anggi yang tampak begitu emosi menatap puing-puing kaca yang tadi dia lempar di atas lantai.
"Nggi…, lo… nggak lagi ngamuk karena gue lupa jemput lo, kan?" tanya Arkan pelan, mengerjap takut melihat Anggi yang refleks menoleh ke arahnya bagaikan kecepatan cahaya.
Arkan pikir, mungkin saudaranya itu sengaja menunggu kedatangan Arkan yang dengan tidak punya otaknya tidak menjemput Anggi pulang kerja sore tadi, setelah sebelumnya memaksa perempuan itu untuk diantar menggunakan mobil pribadi Anggi sendiri. Mungkin, perempuan itu kesal karena harus menggunakan taksi atau --lebih parahnya lagi-- naik bus umum untuk pulang ke apartemen.
"Nggi, sory…. Gue bukannya sengaja nggak jemput lo tadi. Kebetulan, gue ada urusan mendadak di kantor. Ya, lo tau sendirilah ya, posisi gue sebagai direktur itu, gimana…. Nggak semua hal bisa gue serahin gitu aja sama sekretaris gue. Apalagi, kalau soal tender. Gue lupa, kalau hari ini gue ada pertemuan sama direktur perusahaan lain. Kalau gue sampai nggak datang, lo tau sendiri apa yang bakal terjadi sama gue kan, Nggi? Bisa-bisa, gue bakal kena damprat sama Papa dan dikeluarin dari daftar keluarga. Lo… bisa ngertiin posisi gue kan? Lo… nggak bakal marah, cuma karena gue lupa kan, Nggi?"
Tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Arkan --dengan raut wajah agak ketakutan-- justru mencurahkan isi hatinya kepada Anggi. Membuat wanita itu --yang sebenarnya tidak kepikiran dan malah lupa dengan masalah Arkan yang lupa menjemputnya-- merasa pusing bukan main.
Dia menyandarkan bahunya ke bahu sofa, dan meremas rambutnya geram, seolah mampu mencabut otak yang tertanam dalam kepalanya hingga ke akar.
Anggi benar-benar sedang kesal saat ini.
"Kan, kayaknya… gue bakal jadi orang gila lagi deh, kali ini." Desah Anggi frustrasi, mengadu kepada Arkan dan membuat pria itu yang semula terlihat agak menyengir tidak enak terhadap Anggi, menjadi serius.
Dia tampak sedikit tegang, tatkala melihat Anggi mengusap rambutnya kasar seperti orang yang tengah mengalami depresi.
Untuk sesaat, bayangan Anggi di masa lalu saat kehilangan bayinya dulu, terlintas dalam pikiran Arkan dan membuatnya menjadi sedikit panik.
"Emangnya ada apa, Nggi? Kok lo ngomongnya kayak gitu?" tanya Arkan hati-hati, memperhatikan gelas dan beberapa kaleng minuman yang ada di meja ruang tamu Anggi.
Seketika, Arkan baru sadar kalau sebelumnya ada dua gelas di atas meja tersebut. Yang satunya masih utuh dengan sedikit minuman lagi di dalamnya, dan satunya lagi sudah hancur berkeping setelah dilemparkan oleh Anggi ke tembok. Artinya, sebelum Arkan, ada seseorang yang datang ke tempat Anggi dan membuat wanita itu depresi seperti ini.
"Tapi… siapa?" pikir Arkan pelan, kemudian tersadar akan sesuatu dan mulai mendekati Anggi yang sudah merenung seperti orang kehilangan jiwanya.
"Nggi, sekarang jawab gue…." Pinta Arkan tegas, memegang kedua bahu Anggi kuat dan menyuruh wanita itu menatap wajahnya.
"Siapa… yang tadi datang ke tempat ini."
❄
Keesokan harinya, Anggi masuk datang ke kantor dengan kondisi wajah yang jauh dari kata ceria. Tidak seperti biasanya, ada bayangan hitam samar yang melingkar di bawah kedua mata Anggi. Membuatnya terlihat seperti mayat hidup, dengan kulit pucat dan raut wajah yang begitu lesu.
"Hei, Nggi! Lo udah datang?"
Sewaktu menunggu lift, tiba-tiba saja Ditha muncul dan berdiri di samping Anggi. Tampaknya perempuan itu juga baru datang, terlihat dari pakaian lengkap dan rapinya, khas seorang karyawan yang siap akan bekerja.
"Hm," sedikit bergumam, Anggi melirik malas ke arah Ditha, sebelum kembali melihat ke arah pintu lift yang masih tertutup dengan rapat.
"Eh, Ron! Lo baru datang juga?"
Seperti sudah dijanjikan sebelumnya, Roni juga datang dan langsung berdiri di belakang Anggi. Dia hanya tersenyum pada Ditha yang menegurnya, tepat saat pintu lift terbuka dan memberikan ruang kosong untuk mereka.
Suasana kantor yang cukup sunyi --karena memang masih terlalu pagi--, membuat lift tersebut hanya berisikan mereka bertiga saja. Saat salah satu dari mereka akan menekan tombol dimana divisi mereka berada, seseorang tiba-tiba saja masuk dan membuat ketiganya terdiam untuk sesaat.
"Ndi? Baru datang juga?" tegur Ditha mengerjap, melihat Andi --alias Damar-- yang terpaku sesaat menatap Anggi yang ternyata juga berada di dalam lift tersebut.
Lalu, seolah tidak terjadi apa-apa, pria itu pun tersenyum kepada Ditha dan mengganti posisi penekan tombol pada lift yang saat ini mereka gunakan.
Jika biasanya Andi itu terlihat cukup ramah dengan berbagai bahan pembicaraan, kali ini Ditha merasa kalau pria itu sedikit pendiam. Sikapnya yang selalu berusaha mencari perhatian Anggi, seolah luntur bagaikan tidak melihat wanita itu sama sekali dengan posisi tubuh yang membelakangi mereka semua.
Perjalanan menggunakan lift yang sebenarnya cukup singkat itu, mendadak sedikit lama, tatkala tidak ada satu orang pun dari empat manusia itu yang mau buka suara.
Anggi yang seolah ingin menghindari Damar, dan begitu sebaliknya, hingga Roni yang tampak sedang memikirkan sesuatu dalam lamunannya. Paling, hanya Ditha saja yang merasa bingung melihat tingkah tiga orang yang ada di hadapannya. Ingin berbicara duluan, tapi tidak yakin jika harus melihat raut wajah teman-temannya saat ini.
Ting!
Pintu lift pun terbuka. Tanpa bicara, Damar segera keluar dari kotak besi itu dan berjalan meninggalkan Anggi beserta dua temannya yang lain. Terlihat begitu asing, dengan raut wajahnya yang seolah tengah menyimpan suatu kemarahan yang cukup besar.
"Eh, tuh anak baru kenapa? Kok kelihatannya aneh gitu," celetuk Ditha, begitu dia dan kedua temannya yang lain --Anggi dan Roni-- keluar dari dalam lift.
"Aneh? Maksudnya?" tanya Roni bingung, menolehkan kepalanya ke arah Ditha.
"Ya, aneh…. Biasanya kan dia banyak bicara gitu sama kita. Kok gue ngerasa hari ini agak beda gitu, ya? Kayak cuek, tapi…."
"Ah, perasaan lo aja kali tuh…. Lagian, lo ngapain sih, merhatiin orang sampek segitunya? Ingat loh, Dith, lo itu udah punya tunangan. Nggak usah lah, lo sok-sokan mau kasih perhatian sama cowok lain. Lo nggak menghargai perasaan tunangan lo, apa?"
Masih juga berpikir soal perubahan sikap Damar hari ini, Ditha malah terkejut dengan omelan Roni yang tiba-tiba saja membahas tentang Ditha dan tunangannya.
"Lah, kenapa jadi bahas tunangan gue sih, Ron? Gila lo, ya?!" cetus Ditha sebal, menuding Roni yang hanya mencibir ke arahnya.
"Gue kan cuma bilang kalo ada yang beda aja sama sikapnya si Andi. Masa gitu aja, nggak dianggap menghargai perasaan tunangan gue, sih?! Lebay banget dah, hidup lo…!" ketus Ditha lagi melipat kedua tangannya di depan dada.
"Halah…. Ngeles aja lo!"
"Dih! Siapa yang ngeles! Coba lo tanya aja gih, sama si Anggi! Ya kan, Nggi? Lo juga ngerasa kalau ada yang beda dari sikap anak baru itu kan?"
Tiba-tiba, Ditha menolehkan kepalanya ke arah Anggi yang sejak tadi diam menyimak perdebatan dua orang di depannya.
Agak terkejut, Anggi menghentikan langkah kakinya sejenak, melihat ke arah Roni dan Ditha secara bergantian, sebelum akhirnya menjawab, "Nggak tau. Bukan urusan gue." Dengan nada dingin, dan pergi meninggalkan keduanya yang sontak saja terpaku mendengar jawaban tersebut.
Terlihat sedikit heran, Roni pun mendengar gumaman Ditha yang masih berdiri di sampingnya.
"Kayaknya… dia juga agak berubah, deh."
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments