Hari ini, Anggi tidak masuk kerja. Dan Andi sudah cukup kelimpungan mencari wanita itu kemana-mana. Dia berusaha bertanya tentang alasan Anggi tidak masuk hari ini. Mulai dari Ditha, sampai Roni yang judesnya minta ampun. Tapi, tidak ada yang tahu alasan sebenarnya wanita itu tidak hadir.
"Mungkin, dia sakit kali," kata Ditha, setengah berpikir.
"Lah, emang dia nggak bilang sama lo?" tanya Andi heran, dimana Ditha hanya bisa melenguhkan napas panjang.
"Dia mah, nggak pernah mau bilang kalo lagi sakit juga. Tapi, biasanya sih, gitu. Kalo dia nggak masuk, dan nomor handphone-nya nggak aktif, itu tandanya dia lagi sakit."
"Terus, lo pada nggak jengukin dia? Kan dia lagi sakit?" tanya Andi lebih heran, kali ini menatap Ditha dan juga Roni yang tengah memandangnya sinis itu dengan tatapan menuntut.
"Ngapain? Dia juga nggak bakal suka ada yang nengokin. Jadi, ngapain kita datang?"
"Kok gitu? Di mana-mana nih, orang sakit itu kalo dijenguk mah, senang. Dia kok nggak mau?" tanya Andi lagi cerewet, dimana dia ingat, kalau Anggi itu adalah tipe wanita yang paling manja kalau sedang sakit. Terlebih saat masih mengandung dulu. Dia sering sekali merengek hanya untuk diperhatikan oleh Andi.
Tapi, kenapa sekarang malah beda? Ini yang sedang mereka bicarakan, Anggi atau bukan, sih?
"Itu 'kan orang lain…. Bukan Anggi! Kalo dia mah, beda…." Sahut Ditha sejenak, mencebikkan bibirnya sedikit. "Dia nggak suka dijenguk, karena dia takut orang bakal ngelihat muka jeleknya itu pas lagi sakit. Jadi, dia nggak mau!"
"Apa?"
"Anggi itu 'kan tipe cewek yang lebih mentingin penampilan. Jadi, dia bakal malu dong, kalo ada orang yang ngelihat muka pucatnya pas lagi sakit. Secara, orang sakit itu 'kan pasti kelihatan lesu dan nggak bersemangat gitu. Jadi, dia nggak mau kelihatan lemah di depan orang yang jenguk dia," terang Ditha lagi, tak ayal membuat Andi mendenguskan napas jengkel.
Apa kata perempuan ini?
"Anggi… yang ngomong gitu?" tanya Andi lagi memastikan, kali ini mendapat sebuah anggukan kepala dari Ditha.
"Ya lah, siapa lagi? Lo pikir, itu semua karangan gue, apa?" timpal perempuan itu santai, memakan keripik kentang yang sejak tadi ada di atas meja kerjanya.
Sambil memperhatikan hal itu, Andi berpikir. Apa benar, Anggi yang mengatakan hal semacam itu? Orang yang punya sifat sangat manja seperti Anggi itu? Serius?!
"Eh, lo ngapain sih, nanya-nanya keberadaan Anggi segala? Dia punya utang sama lo?" tanya Roni tiba-tiba, yang sejak tadi hanya diam, memperhatikan gaya interogasi Andi terhadap Ditha.
"Emang, kalo gue nyari seseorang itu, udah pasti karena utang, ya?" sinis Andi, melirik tidak suka pada Roni yang menatapnya curiga.
"Iya!"
Kampret!
Andi hanya bisa menarik napas panjang dan membuangnya. Harus dia akui, kalau Roni adalah tipe orang yang sangat gampang untuk mencari musuh. Belum apa-apa saja, Andi sudah sangat membencinya.
"Gue nyariin Anggi, cuma pengen tau keadaannya dia. Soalnya, dia kan jarang banget ngilang tanpa kabar kayak gini. Jadi, wajar dong, kalo gue khawatirin dia," kilah Andi santai, yang malah mendapat dengusan sinis lagi dari Roni.
"Gue baru tau, kalo ternyata lo itu punya empati yang sangat tinggi terhadap orang lain. Salut gue," ucap pria itu, yang tentu saja bukanlah sebuah pujian yang tulus. Dari gerak senyumnya saja, Andi bisa tahu, kalau dia itu sebenarnya hanya menyindir Andi yang bertingkah sok manis.
"Perasaan, sikap gue biasa aja, deh. Malah, gue heran sama lo berdua. Bukannya lo berdua dekat ya, sama Anggi? Tapi, kok dia sakit aja, lo berdua kayak biasa aja, terus cenderung nggak peduli. Yang nggak punya empati itu, gue apa lo berdua?" balas Andi terang-terangan, menatap Ditha dan Roni bergantian.
Tampak, Ditha hanya melirik singkat ke arah Roni, yang saat ini sibuk beradu pandang dengan Andi dengan sorot mata mereka yang tajam.
"Justru karena kita tau banget sama sifat Anggi itu gimana. Nggak kayak lo, yang sok tau, nyatanya nggak tau apa-apa soal dia!" hardik Roni marah, mengerutkan dahinya tidak senang.
"Lo bilang, gue nggak tau? Hmph!" dengus Andi santai, namun tetap terdengar begitu kesal sambil memajukan tubuhnya sedikit ke arah Roni.
"Gue bahkan kenal dia luar dalam, lebih dari yang lo bayangin saat ini. Jadi, berhenti menganggap gue nggak tau apa-apa soal dia," tekan Andi, kali ini tidak mendapatkan respons kalimat apapun dari Roni.
Pria itu hanya diam menatap emosi sosok Andi yang saat ini sudah memasang tampang angkuh di hadapannya.
"Oh, ya? Kalau gitu, kenapa lo mesti sibuk nanya ke sana-ke mari, cuma karena lo nggak ngelihat Anggi satu harian ini? Lo bilang, lo dekat sama dia. Tapi…."
Roni yang sepertinya punya jawaban khusus untuk menyerang Andi, berdiri dari kursinya dan mendekati pria itu perlahan-lahan.
"Dia kok nggak ngasih tau lo, alasan dia nggak masuk?"
Shit!
Andi jadi terdiam mendengar balasan dari Roni. Benar, kalau dia memang kenal dan dekat dengan Anggi, kenapa juga dia harus sibuk mencari Anggi ke sana ke mari? Bukankah dengan begitu, dia kelihatan seperti orang yang tidak mengenal pribadi Anggi yang sebenarnya?
"Lo berdua, kok jadi pada ribut, sih? Masalah Anggi ini, juga…." Keluh Ditha sedikit mendesah sebal, melirik ke arah Roni yang memandangnya malas dan Andi yang menatap tajam ke arahnya.
"Eh, Ndi! Emang, ngapain sih, lo nyariin si Anggi? Lo ada masalah sama dia?" tanya Ditha heran, sejak tadi memperhatikan wajah Andi yang sepertinya tidak tenang.
"Nggak. Emang, kalo gue nyariin dia, itu artinya gue ada masalah, gitu?" kilah Andi sedikit sewot, yang tentu saja dibalas dengan gidikan bahu oleh Ditha.
"Bukan gitu…. Cuma, tumben aja, lo agak kesetanan nyari dia hari ini. Kayak ada sesuatu,"
"Sesuatu?"
"Iya, sesuatu…." Angguk Ditha, tak ayal melihat Andi yang membuang pandangannya ke arah lain. Seperti tengah menyembunyikan sesuatu, begitulah yang dinilai Ditha atas sikap Andi saat ini.
"Apa? Lo emang bener ada urusan ya, sama dia? Atau…."
Ditha yang sengaja menggantung pertanyaannya di ujung kalimat, melihat Andi yang kembali melirik ke arahnya.
"Lo emang ada hubungan spesial sama dia?"
***
Hari sudah malam, dan langit tampak sangat mendung dengan awan hitam yang menggantung menutupi kota. Dari balik jendela apartemennya, Anggi menatap gelapnya malam dengan pandangan yang datar. Sebentar lagi hujan, pikir Anggi, menarik napas dalam dan membuangnya.
Perlahan, tangan Anggi yang tadinya terlipat di dada, naik sebelah menyentuh dinding apartemennya yang terbuat dari kaca. Pandangannya sangat sayu, dengan usapan tangan yang menyentuh bayangan dirinya sendiri di depan kaca. Terlihat sedikit menyedihkan, seolah dia adalah raga tanpa jiwa.
"Happy birthday, Anggi," ucapnya pelan, masih menyentuh pantulan wajahnya yang ada di kaca. Lalu, dia menarik napas yang dalam sekali lagi, dan kembali melipat kedua tangannya di dada, memandang pandangan gelap yang ada di luar sana.
Dua puluh enam tahun, usia Anggi saat ini. Usia, dimana seharusnya dia sudah bisa bahagia dengan pasangannya. Entah itu masih menjadi kekasih, ataupun sudah menjadi suaminya. Mungkin, di usia seperti ini juga, Anggi sudah pantas memiliki seorang anak. Entah itu baru lahir, atau masih dalam kandungan. Semua sudah cukup matang, mengingat pekerjaan yang tengah digeluti Anggi juga memiliki penghasilan yang lumayan. Sebagai seorang karyawan sih, tapi setidaknya, gaji yang dihasilkan sudah cukup lumayan, untuk seorang wanita yang sudah berkeluarga.
Ah, apakah Anggi mimpi terlalu jauh? Kenapa rasanya sangat membahagiakan sekali, membayangkan dirinya berada dalam sebuah balutan hangat keluarga? Suami, anak dan rumah yang penuh cinta, selalu menjadi impian Anggi sejak dulu. Namun, apa yang dirasakannya saat ini?
Perlahan, Anggi memutar kepalanya menyisir keadaan rumah. Cahaya ruang yang sengaja dibuat temaram itu, selalu menimbulkan sensasi dingin bagi Anggi. Seolah tidak ada kehangatan di dalamnya dan juga tanda-tanda kehidupan. Hening, dan terasa begitu gelap.
Anggi pernah berpikir untuk mengakhiri semua kesendirian ini. Tapi, rasa bersalah dari masa lalu selalu menghantui dan membuatnya takut akan memulai kehidupan yang baru. Takut gagal, itu sudah pasti, mengingat bagaimana kacau rumah tangga yang pernah coba ia bangun dengan hati yang tulus, rusak begitu saja hanya karena kesalahan dari dirinya. Yah, kesalahan dirinya, yang terlalu menuruti ego dan cinta, sehingga membuatnya buta akan kenyataan yang ada.
Bodoh, adalah kata yang tidak akan pernah bisa lepas dari diri Anggi, jika mengingat apa yang sudah ia lalui selama ini.
Piiip… piiip… piiip… piiip....
Anggi menolehkan kepalanya ke arah pintu apartemennya yang sedang diakses oleh seseorang. Dahinya sedikit mengernyit, tatkala pintu tersebut terbuka dan menampilkan sosok Arkan yang masuk ke dalam rumah Anggi, layaknya seorang penghuni tetap di rumah tersebut. Tanpa permisi, tanpa menelepon dia main masuk begitu saja ke apartemen Anggi, seolah dia adalah pemilik dari tempat tersebut.
Heran.
"Lo ngapain sih, datang ke mari lagi? Perasaan, baru juga tadi pagi lo pergi. Kok udah balik lagi aja?"
Baru saja Arkan masuk ke apartemen Anggi, sepupunya itu sudah langsung melemparkan pertanyaan bernada sengit padanya, yang sontak membuat Arkan menatap cewek itu dengan sorot mata cukup nelangsa.
Dosa apa dia, bisa punya saudara berlidah pahit seperti Anggi ini?
"Eh, sory ya, Neng! Gue juga, kalo bisa nggak datang lagi ke tempat ini, juga syukur! Mending, gue rebahan di rumah, sambil makan kripik yang gue beli dari samping rumah."
"Terus, kenapa lo malah di sini?" tanya Anggi lagi masa bodoh, terlihat begitu tidak peduli dengan tampang geram Arkan yang memandangnya.
"Nih!"
Merasa kesal, Arkan segera mendekati meja yang ada di ruang tamu apartemen Anggi, dan langsung menghempaskan sebuah plastik berisi beberapa wadah di dalamnya.
"Kiriman dari Nyokap lo! Katanya…," Arkan menggantung kalimatnya sejenak, dan menarik napas panjang. "Selamat ulang tahun."
Sontak, wajah Anggi yang tadinya datar namun terkesan keras, perlahan-lahan terlihat mulai mengendur. Mendengar ucapan selamat dari ibunya melalui mulut Arkan, ada perasaan sedih di hati Anggi untuk beberapa saat.
Tidak berbicara sama sekali, Anggi mengerjapkan kedua matanya pelan. Mendesahkan napas panjang dan membuang pandangannya ke arah lain.
"Niatnya, mereka pengen datang sendiri ke tempat lo. Tapi, kayaknya mereka tau, kalo lo nggak bakal bisa menerima kedatangan mereka begitu aja." Kata Arkan tenang, seolah tahu dengan apa yang sedang dipikirkan oleh Anggi saat ini.
"Mereka takut, bikin lo marah dan malah semakin jauhin mereka. Karena bagaimanapun juga kan, alasan lo keluar dari rumah itu, karena mau nenangin diri. Jadi, ya…."
Arkan berjalan santai ke arah sofa panjang di ruang tamu Anggi dan melanjutkan ucapannya. "Mereka coba mengerti sama keadaan lo."
"Kenapa mereka harus bersikap kayak gitu? Kalo mau datang mah, datang aja. Toh, gue udah terbiasa terganggu kok," sengit Anggi membalas, menolehkan kepalanya dan menatap sengit pada Arkan.
"Kayak lo, yang nggak pernah peduli gue marah atau enggak, ngelihat muka lo di rumah ini."
"Jadi, lo berharap mereka datang dan menemui lo sekarang, gitu?" sambar Arkan tertawa kecil, yang sontak membuat Anggi membuang pandangannya lagi ke arah luar jendela.
"Lo sebenarnya berharap mereka datang menemui lo, ya? Kenapa? Lo udah mulai kangen sama mereka? Udah nggak merasa bersalah lagi?" cecar Arkan seolah mengejek, melihat Anggi yang masih terdiam kaku di depan jendela.
"Nggi!"
"Lo tuh bawel banget, sih! Kalo nggak bisa diam, mending lo pulang aja! Gue masih perlu istirahat, tau!" sembur Anggi kesal, lantas berjalan ke arah sofa yang sama dengan Arkan, dan duduk di sebelah cowok itu sambil memasang tampang yang sangat masam.
"Eleh, lo sakit, tapi ngomongnya kok masih bisa nge-gas, sih? Pura-pura lo, ya?" tuding Arkan ikut-ikutan sebal, menunjuk wajah Anggi yang hanya mendengus membalasnya.
"Apa yang dikirim sama Nyokap gue? Gue laper!"
Mengabaikan sindiran Arkan terhadap sikapnya, Anggi langsung membuka tutup wadah plastik yang tadi sepupunya itu bawa. Dari aromanya sih, dia bisa menebak, kalau makanan yang dikirimkan oleh ibunya kali ini adalah gulai. Entah itu gulai ayam, ataupun ikan, dia belum memastikannya. Yang jelas, dia menebak, kalau itu adalah ayam, karena ibunya pasti sangat tahu, kalau Anggi sangat menyukai menu berbahan dasar ayam.
"Kalo laper, pulang! Di rumah lo, pasti lebih banyak makanan daripada ini." Ujar Arkan rada ketus, melihat Anggi yang langsung mencomot sepotong paha ayam gulai yang tersedia di dalam wadah.
"Emang, apa urusannya?" kata Anggi masa bodoh, menikmati gigitan daging ayam yang sudah bersarang di mulutnya.
Ternyata dugaannya benar. Ibunya pasti ingat, kalau Anggi itu sangat menyukai daging ayam.
"Urusannya?" delik Arkan mendengus sedikit, melihat Anggi yang masih setia mengabaikannya. "Jelas, karena lo sering kelaparan! Lo pikir, gue nggak perhatiin, lo selama ini kurang makan? Gue tau, selera makan lo itu muncul, cuma kalo gue bawain lo makanan yang dikirim sama Tante Mira, kan?"
"Ih, enggak kok! Gue nggak sering kelaparan, ya! Cuma, emang kebetulan aja, setiap lo bawa makanan itu, gue laper. Nggak usah lebay, deh lo!"
"Oh, ya? Kalo gitu, timing-nya selalu pas banget, ya? Kebetulan juga, setiap gue bawa makanan, isi kulkas lo selalu kosong. Kenapa? Lo nggak punya duit, buat belanja bahan makanan? Atau, uang lo nggak cukup, untuk sekedar beli mi instan di mini market, gitu? Biaya apartemen lo, terlalu mahal, ya, sampai lo nggak punya sisa uang sedikit aja, buat beli makanan untuk lo sendiri?" cecar Arkan panjang lebar, dalam satu tarikan napas.
"Lo--"
"Kenapa? Lo juga mau bilang, kalo itu cuma kebetulan?" sela Arkan lagi emosi, membuat Anggi terdiam, menatap geram kepadanya.
"Pulang! Udah cukup lo main-main kayak gini!" kata Arkan lagi, membuang pandangannya ke arah lain, mengabaikan Anggi yang mendengus.
"Pulang? Pulang ke mana? Ini--"
"Ini bukan rumah. Ini apartemen. Dan lo ngerti sama ucapan gue yang barusan!" tegas Arkan, sekarang menolehkan pandangannya kembali pada Anggi yang terdiam menatapnya.
"Mau sampai kapan? Mau sampai ngeliat Nyokap lo tutup mata juga, seperti Om Rian, baru lo mau pulang buat nemuin beliau? Lo nggak mau belajar dari masa lalu lo yang udah pernah terjadi sebelumnya?" tantang Arkan lagi, kali ini sangat serius, seolah tidak mengizinkan Anggi untuk mengintimidasi dirinya.
"Udahlah, Nggi…. Lupain semua, dan mulai kehidupan lo yang baru lagi. Semua orang, berhak kok, dapat kesempatan yang kedua. Termasuk lo!" kata Arkan membesarkan hati Anggi, dengan menyentuh kedua bahu wanita itu dan menatapnya dalam-dalam.
"Kalo lo emang nggak bisa ngelakuin ini semua karena diri lo sendiri, maka lakukan ini semua untuk Nyokap lo! Setidaknya, balas rasa sedih dia di masa lalu dengan kehadiran lo di masa depan. Emang lo tega, bikin beliau sedih terus dari dulu sampai akhir hayatnya nanti?"
"Tapi, gue--"
"Lo nggak usah khawatir. Yang namanya orang tua, pasti akan selalu punya maaf untuk anaknya." Potong Arkan lagi, lantas membuat Anggi berpikir dengan serius.
"Gimana? Lo mau pulang, kan?" tanya Arkan pelan, melihat Anggi yang mulai terpengaruh atas ucapannya.
"Sebagai kado ulang tahun buat lo, gue bakal bawa lo pulang malam ini,"
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
💕Nindi💕
Ada masalah apa dg masalalu anggi dn mamanya?
2021-10-31
0