Jam baru menunjukkan angka sembilan malam, ketika Anggi terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang sakit tidak karuan. Tubuhnya terasa panas, mata yang terasa perih, hingga tenggorokan yang begitu serak.
Anggi berusaha merubah posisi tubuhnya yang terasa kaku. Pelan-pelan, dia mulai mengangkat tubuhnya untuk menyandar di kepala ranjang. Walaupun susah payah, dia tetap berusaha, sampai akhirnya punggungnya bisa menyentuh dashboard.
Merasa haus, Anggi pun meraih cangkir putih yang biasa dia letakkan di atas nakas, sebelum ia tidur. Namun, seperti lupa, ternyata cangkir itu sudah kosong sama sekali. Artinya, Anggi harus berjalan ke dapur untuk mengambil air yang baru untuk dia minum.
Perasaan tidak enak dan sakit yang dia rasakan, membuat dia enggan untuk bergerak. Dia hanya bisa menyandarkan seluruh punggungnya hingga kepala ke atas dashboard ranjang, dan mulai menghembuskan napas yang berat.
"Ah…." Desah Anggi panjang, memejamkan matanya menghalau pening. Rasanya, dunia seperti berputar dengan sangat cepat, hingga membuat dia ingin muntah.
Cklek!
"Eh, udah bangun lo?"
Mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka, dan suara Arkan yang terdengar masuk ke telinganya, membuat Anggi langsung membuka kedua matanya yang terasa berat.
Tampak, pria itu berjalan ke arahnya sambil membawa piring berisi makanan dan segelas air di atas sebuah talam.
"Tadi, pas gue nyampek, gue ngelihat lo ketiduran di atas sofa ruang depan. Pas gue bangunin, lo malah nggak bangun-bangun. Dan pas gue pegang, eh, ternyata lo demam. Makanya, langsung gue pindahin lo ke dalam kamar." Jelas Arkan sambil tersenyum, meletakkan nampan bawaannya ke atas nakas di sisi ranjang Anggi.
"Gue udah panggilin dokter buat meriksa keadaan lo. Dan sebentar lagi, dokternya bakal datang," tambah Arkan, duduk di atas ranjang Anggi dan berhadapan dengan wanita itu.
"Terus, kenapa lo masih di sini? Pulang sana!" usir Anggi datar, menggerakkan kepalanya kepalanya ke arah pintu, dan seketika membuat Arkan terbengong.
Ceritanya, dia diusir?
"Setelah gue nolongin lo dan bersusah payah buat ngangkat badan lo yang besar ini ke kamar, ini balasan yang lo kasi buat gue?"
"Emang mau apa lagi?" tanya Anggi masa bodoh --terlihat tidak berminat sih, wajahnya-- pada Arkan yang tentu saja semakin mendengus mendengarnya.
Well… Arkan lupa, kalau selain tidak tahu malu, sepupunya ini memang tidak tahu diri sama sekali.
"Terima kasih, Arkan, udah nolongin gue. Tanpa lo, gue mungkin bisa mati kedinginan di luar sana," sindir Arkan geram, seolah berterima kasih kepada dirinya sendiri, dengan tatapan mata yang begitu jengkel kepada Anggi.
Namun, bukannya sadar dan balik berterima kasih kepada laki-laki itu, Anggi justru membaringkan tubuhnya lagi ke atas ranjang dan memejamkan kedua matanya. Sepertinya, dia berusaha untuk tidur lagi kali ini.
"Eh, kok lo malah tidur lagi, sih? Gue udah bikin makan malam buat lo, ini…." Ujar Arkan, menatap Anggi sambil menggoyang lengan wanita itu sesekali.
"Nggi!"
Melihat Anggi yang tidak menjawab panggilannya sama sekali, membuat Arkan mendecak dan menghelakan napas panjang.
Kenapa tadi dia harus datang ke rumah ini, sih? Seharusnya, dia ikuti saja kata hatinya untuk tidak datang ke rumah Anggi malam ini. Dengan begitu, kalaupun sepupunya ini mati karena demam, setidaknya dia tidak akan dilibatkan karena tahu kondisi wanita itu sebelumnya.
Benar-benar membuat repot saja.
"Eh, seenggaknya makan dulu, makanan yang gue buat. Gue udah capek-capek masak, lo malah enak-enakan tidur. Nggak punya perasaan banget sih, lo!" rutuk Arkan, seketika pula mendapat jawaban dari Anggi.
"Emang ada yang nyuruh?" sahut wanita itu cepat, lagi-lagi membuat Arkan mendengus tidak percaya.
Inilah yang namanya air susu dibalas dengan air tuba.
"Dasar! Nggak tau terima kasih! Nyesel gue udah bantuin lo!" maki Arkan jengkel, segera membawa kembali mangkuk bubur buatannya keluar dari kamar Anggi.
Dia meninggalkan perempuan itu sendiri dalam posisi membelakangi dirinya. Arkan tidak tahu, kalau ternyata, di balik kedua matanya yang terpejam, wanita itu sama sekali tidak tertidur. Dia justru berkhayal kembali dengan kejadian sebelum dia pulang ke apartemen.
"Nggi, Kakak tau, Kakak salah. Tapi, bukan berarti Kakak nggak berhak dapat kesempatan kedua dari kamu, kan? Kamu nggak mungkin sejahat itu kan, Nggi?"
Mohon Andi, saat mencekal tangan Anggi, waktu wanita itu baru saja masuk ke parkiran.
"Kesempatan? Kesempatan apa? Lo ngigau, ya? Minggir!" usir Anggi, tidak menggubris tatapan Andi yang memohon.
"Nggi…." Pinta pria itu memelas, hendak menarik lengan Anggi lagi, yang hendak meninggalkannya.
"Udah gue bilang, jangan bersikap sok akrab sama gue! Gue nggak mau ada orang lain tau, kalo gue pernah punya hubungan sama lo!"
"Emang, kenapa kalau orang lain tau? Emang salah? Toh, masa lalu itu nggak bakal bisa kamu hapus, Nggi! Biarpun berat, kamu harus terima itu sebagai bagian dari diri kamu! Itu nggak bisa kamu hilangin gitu aja!"
"Siapa bilang, itu nggak bisa gue ilangin gitu aja?" tantang Anggi angkuh, menatap berani sosok Andi yang terdiam di depannya.
"Gue bisa ngilangin semua hal buruk itu dari hidup gue, asal lo nggak pernah muncul di depan gue. Gue bisa ngelakuin hal itu."
"Nggi!"
Anggi yang tidak ingin lagi terlibat pembicaraan dengan Andi, segera membalikkan tubuhnya. Dia berjalan sedikit lebih cepat menuju mobilnya yang terparkir di area parkiran kantor.
Baru saja Anggi membuka sedikit pintu mobilnya, tangan Andi tiba-tiba saja muncul dan mendorong pintu mobil itu dengan kasar hingga kembali tertutup rapat. Saking kerasnya Andi mendorong pintu mobil itu, Anggi sampai terkejut melihatnya dan sontak menatap wajah Andi yang terlihat marah dari pantulan kaca mobilnya yang tertutup.
Sesaat, keduanya tidak saling berbicara. Hanya dalam posisi masing-masing, sampai akhirnya Anggi kesal dan memutar tubuhnya ke arah Andi.
"Lo minta satu kesempatan?" desis Anggi, mendapat satu sorotan mata tajam dari laki-laki di hadapannya.
"Gue tanya sama lo sekarang. Emang, lo pernah ngasih gue satu kesempatan buat ngomong, tentang apa yang gue rasain waktu itu?" tanya Anggi geram, mengepalkan kedua tangannya erat, menatap wajah Andi lekat-lekat.
"Pernah, nggak, lo kasih gue sedikit waktu, untuk menjelaskan alasan gue waktu itu?" tekan Anggi, melihat tatapan Andi yang kini mulai terlihat sayu.
"Itu…."
"Atau pernah, nggak lo… ngasih kesempatan buat anak kita ngerasain kasih sayang dari ayahnya?" tuntut Anggi lagi terlihat marah dan sedih, menatap mata Andi yang jelas semakin terdiam melihatnya.
Bibir pria itu bergerak. Tapi, tidak sanggup untuk bicara, tatkala apa yang Anggi ucapkan adalah sesuatu yang memang diperuntukkan hanya untuk menyudutkannya.
Pelan-pelan, Anggi melihat tangan Andi mengendur dan jatuh ke sisi tubuh pria itu berdiri saat ini.
"Gue rasa, gue udah nggak punya kesempatan lagi, yang bisa gue kasih sama lo. Karena sebelum ini…."
Anggi menarik napasnya panjang, dan merubah tatapannya ke arah Andi menjadi datar. "Gue udah pernah kasih seribu kesempatan buat lo buang,"
❄
"Dok, ini serius dia cuma masuk angin? Bukan karena dia lagi hamil kan, dok?"
Anggi mendelikkan kedua matanya gusar, menatap Arkan yang kini tengah meneror dokter yang baru saja memeriksa keadaan Anggi, dengan pertanyaan yang tidak berbobot.
Bukannya bersyukur kalau Anggi itu hanya kelelahan dan masuk angin biasa, laki-laki itu malah dengan seenaknya saja menyumpahi Anggi dengan kata kehamilan. Mau menyindir, atau bagaimana?
"Iya, adik Pak Arkan memang cuma masuk angin aja. Ditambah kurangnya istirahat, membuat tubuh adiknya Pak Arkan menjadi lemah dan demam. Bapak nggak usah khawatir," jelas dokter wanita tersebut dengan ramah, tersenyum sungkan pada Anggi yang masih setia memasang tampang datarnya melihat Arkan.
"Oh, syukurlah, dok… Saya pikir, dia hamil. Soalnya, saya bingung, harus cari dimana bapak dari bayi itu, kalo dia hamil. Saya bisa gi--"
Plak!
"Aaaau! Nggi!"
"Dasar nggak punya otak lo, ya! Seenaknya aja ngatain gue hamil! Lo pikir gue cewek apaan!" maki Anggi garang, setelah sukses melemparkan sebuah tutup cangkir --berbahan melamin--, tepat ke wajah Arkan.
"Dasar sodara nggak tau diri! Sialan!" rutuk Anggi kemudian, memasang tampang yang cemberut.
"Y--ya kan, kali aja, Ngi…. Abis, lo kan orangnya keganjenan. Tiba-tiba lo hamil, kan gue yang bakal repot kalo harus ngejar-ngejar cowok yang ngehamilin lo." Bela Arkan pada dirinya sendiri.
"Lo--!"
Anggi yang sebenarnya kesal dengan tingkah laku Arkan yang secara terang-terangan telah mempermalukannya di hadapan dokter wanita di depan mereka, hanya bisa menggeram menatap dongkol wajah Arkan yang santai.
"Eum, maaf kalau begitu… saya permisi dulu. Ini saya sudah menuliskan beberapa resep yang bisa Pak Arkan tebus untuk pengobatan Bu Anggi,"
Sadar diri, dokter wanita yang ada di depan mereka itu pun akhirnya memilih untuk undur diri. Setelah memberikan resepnya pada Arkan, beliau keluar dengan diantarkan oleh Arkan sampai ke depan pintu apartemen.
"Lo emang keterlaluan ya, Kan!"
Arkan baru saja kembali masuk ke dalam kamar Anggi, saat mendengar sepupunya itu langsung memarahinya dengan sorot mata yang marah.
"Keterlaluan apa, dah? Emang gue ngelakuin apa?" tanya Arkan bingung, berjalan menuju ranjang Anggi dan bersidekap.
"Maksud lo apa, ngatain gue keganjenan segala di depan dokter tadi? Pake ngatain gue hamil segala lagi…. Lo mau cari perhatian?"
"Eh? Cari perhatian apa nih, maksudnya? Gue nggak ngerti!"
"Halah! Nggak ngerti…." Dengus Anggi sinis, lalu berkata dengan lidahnya yang tajam. "Gue tau, meskipun tampang lo itu memang tampang orang bego', tapi lo ngerti dengan semua ucapan gue barusan! Jadi, nggak usah sok ngeles, dan bilang lo nggak paham semua perkataan gue." Ujar Anggi keras, melihat Arkan yang hanya mencebikkan bibirnya saja mendengar Anggi.
Memang, dia sebenarnya paham dengan tuduhan Anggi yang mengatakan kalau dia mengerti dengan semua ucapan wanita itu kepadanya. Hanya saja, kalau dan dibilang hanya ingin mencari perhatian saja pada dokter Prissa, Anggi salah besar.
Oke, dia bersalah telah berkata seenaknya di depan dua perempuan tadi. Lambat laun, dia sadar kalau mungkin Anggi malu dengan semua tuduhan Arkan di depan dokter Prissa. Cuma, Arkan berani jamin kalau itu semua dilakukannya atas dasar ketidaksengajaan. Kejadian di masa lalu yang telah menghancurkan keluarga mereka, membuat Arkan refleks mengatakan itu semua.
"Bukan gitu kali, Nggi…. Gue nggak bermaksud buat cari perhatian atau gimana. Gue cuma…."
"Cuma mau mempermalukan gue?" tuduh Anggi segera, sontak membuat dahi Arkan mengernyit.
Sedikit kesal, Arkan mengacak rambut belakangnya sebentar, dan duduk di atas ranjang Anggi, tepat di sebelah wanita itu yang menatap dongkol ke arahnya.
"Gue nggak sengaja bilang itu semua! Gue refleks. Gue takut, kalau ternyata kejadian beberapa tahun yang lalu itu terjadi lagi sama lo, dimana kondisi keluarga kita yang sekarang ini aja belum menemukan titik yang baik." Kilah Arkan lesu, lantas menghembuskan napas yang berat.
"Lo nggak tau kan, gimana hebohnya dulu keluarga lo, pas tau lo hamil di luar nikah? Nyokap lo aja sampai jatuh pingsan gara-gara itu. Dia syok, dan hampir store kalo nggak segera ditolong," ingatkan Arkan lagi, kali ini melihat perubahan raut wajah yang jelas di muka Anggi.
"Gue cuma takut, karena gue peduli sama lo." Ujar Arkan lagi, pelan-pelan menyentuh sebelah bahu Anggi dengan tangan kirinya.
"Kita mau lo baik-baik aja. Setidaknya lo ingat dengan hal buruk apa yang udah terjadi dalam hidup lo sebelum ini," Imbuh Arkan, masih menatap sendu wajah Anggi yang terlihat datar ke arah lain.
"Kita cuma nggak mau lo terluka karena alasan yang sama, untuk kedua kalinya,"
Paham dengan maksud ucapan Arkan yang sebenarnya, Anggi pun tampak termenung di tempatnya. Dia diam, sambil membayangkan kembali beberapa hal yang begitu menyakitkan dalam hidupnya.
Kemudian, sambil menghembuskan napas berat dan memejamkan mata, dia membalas, "Itu nggak akan terjadi lagi,"
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments