Beberapa bulan sebelumnya….
"Terima kasih, ini kopinya, dan selamat menikmati makan siang,"
Seorang penjaga kantin perusahaan besar tersebut tampak tersenyum ramah, saat memberikan segelas kopi dingin pada seorang pria yang sejak tadi mengantri di depannya. Setelah orang itu berlalu, dia pun kembali melemparkan senyum manisnya --bahkan lebih manis lagi, menurutnya-- pada seorang wanita yang sekarang menggantikan posisi pria tadi saat mengantri.
"Halo, Mbak Anggi…. Mau pesan apa hari ini?" tanya penjaga kantin tersebut, terlihat begitu akrab pada seorang karyawati bertubuh seksi bernama Anggi.
"Eum…. Pesan apa ya, enaknya? Saya bingung," gumam perempuan itu seperti berpikir, memutar pandangannya ke arah papan menu yang terpampang besar di dinding dalam bagian kantin.
"Bingung? Tumben…. Nggak mesan yang kayak biasanya aja, Mbak?" tanya pemuda penjaga kantin itu tersenyum, terlihat mengernyitkan dahinya sejenak menatap Anggi.
Sedikit menggeleng, Anggi menjawab, "Nggak ah, Mas…. Bosen, itu-itu mulu…. Saya mau coba yang lain aja," katanya, sekali lagi membuat si pemuda penjaga kantin tersenyum singkat.
"Ya udah, mau pesan apa?" tanyanya lagi, melihat Anggi yang mengetuk dagunya pelan beberapa kali seolah tengah berpikir.
"Eum…. Enaknya apa, ya? Coba saya pikir-pikir dulu," gumam Anggi sedikit menyipitkan mata, lalu menatap pemuda di depannya itu dengan gaya menggoda. "Gimana kalau…"
Pemuda penjaga kantin tersebut sudah siap akan mencatat pesanan Anggi, saat tiba-tiba saja wanita bertubuh sekal itu merapatkan tubuhnya ke batas meja pemesanan dan menyandarkan sebelah sikunya di sana.
"... pesan Mas-nya aja? Kayaknya enak, deh,"
"Hah?"
Anggi menggigit bibirnya gemas, sambil menahan tawanya melihat tampang cengo pemuda penjaga kantin tersebut saat mendengar jawaban dari Anggi.
Pesan dirinya untuk menu makan siang? Apa maksudnya, coba?
"Emh, Mbak Anggi ini apa-apaan, sih? Mau pesan saya buat jadi makan siang? Memangnya, saya ini nasi rendang, apa? Ada-ada aja…." Ucap pemuda itu pelan, terlihat sekali dia gugup ditatap oleh Anggi.
"Lah, emangnya kenapa? Mas emang bukan nasi rendang, tapi Mas lebih menggiurkan daripada itu. Lihat dada Mas aja, saya hampir ngiler, loh…." Goda wanita itu lagi semakin genit, kali ini melayangkan tangannya sedikit, menyentuh dada pemuda tersebut dengan gaya yang gemulai.
Dalam satu kali sentuh, Anggi terlihat cukup kaget, merasakan dada pemuda yang tertutup kaus longgar itu terasa sedikit padat. Sepertinya, ada tubuh yang kekar di balik kaus longgar berwarna hijau yang dikenakan oleh pemuda di depannya.
"Eh, Mbak! Apaan, sih? Kaget saya…." Pekik pemuda itu, memang terlihat kaget dan membuat Anggi semakin gencar untuk menggodanya.
"Loh, kok kaget, sih? Jangan lebai, deh! Kayak baru pertama kali disentuh perempuan aja," kerling Anggi nakal, sedikit kaget kala melihat wajah pemuda di depannya itu bersemu merah.
Apa? Apa ini? Kenapa dia terlihat seperti malu-malu? Selama ini, Anggi memang belum pernah menggoda laki-laki yang baru bekerja sekitar satu bulan itu, karena masih sangat sibuk dengan beberapa pekerjaan di divisinya. Tapi, dia tidak menyangka kalau reaksi pria itu akan sangat menggemaskan seperti ini. Antara tidak tega dan juga ingin semakin menggoda, Anggi hanya tersenyum simpul melihat wajah laki-laki itu yang merona.
"Apaan sih, Nggi? Udah, ah! Jangan digodain mulu…. Lo nggak lihat nih, antriannya panjang banget cuma karena dengerin lo gombalin Mas-Masnya ini? Gue laper, tahu!"
Anggi menolehkan sedikit kepalanya dengan bibir yang masih mengukir senyum tipis, pada Ditha, teman satu divisinya yang sedang mengantri di belakang. Dalam satu kali lihat, dia sudah bisa membandingkan antrian pada barisannya itu memang jauh lebih panjang ketimbang antrian di sebelahnya.
"Iya, Nggi. Mending lo cepat milih, deh…. Kasihan, ntar Mas-nya dikira nggak becus melayani karyawan, sampai bisa bikin antrian macet kayak gini," imbuh Roni, teman divisinya yang lain, kali ini berdiri di antrian sebelah mereka, dimana pesanannya sudah selesai dicatat dan dibayar.
"Apaan sih, lo berdua? Ganggu kesenangan gue aja! Gue kan juga lagi mikir mau pesan apa. Ya nggak, Mas?" sahut Anggi ketus pada kedua temannya, lalu terlihat kembali melemparkan senyum menggodanya ke arah pemuda penjaga meja kantin.
"Ehm, i--iya, Mbak…." Angguk pemuda itu kikuk, semakin membuat Anggi mengulum senyum melihatnya.
Dalam hati, Anggi pun bergumam. "Sasaran yang empuk,"
"Eh, Mas! Kenapa dijawab, sih?! Udah, bikin aja pesanan dia yang kayak biasa. Dia mah, nggak usah dikasih kendor! Ntar pekerjaan Mas malah nggak kelar-kelar lagi, cuma karena ngeladeni dia doang!" celetuk Ditha sewot, mendengus sinis, , sebelum akhirnya dia bersidekap jengkel melihat tingkah penjaga kantin yang seperti anak remaja.
Eh? Atau jangan-jangan, penjaga kantin yang baru ini memang masih remaja, ya? Duh, karena sibuk mengurus ini dan itu dalam kurun waktu satu bulan, Ditha jadi tidak tahu tentang gosip apa saja yang tengah beredar di perusahaan tempat mereka bernaung ini. Soal penjaga kantin yang tampan ini, memang masih remaja, atau sudah dewasa, sih?
"Iya, Mbak Ditha, saya catat sekarang." Ujar pemuda itu akhirnya, menyebutkan total yang harus Anggi bayar, untuk bisa membawa makan siangnya menuju meja yang disediakan.
°°°
"Gue dengar-dengar, sebentar lagi divisi kita bakal ada orang baru yang bakal bergabung!"
"Orang baru? Siapa?"
"Nggak tahu! Kata anak-anak sih, mereka cuma tahu nama, sama statusnya doang. Karena, lo tahulah, gimana pelitnya Bu Intan ngasih informasi tentang karyawan baru yang mau bergabung di tiap divisi. Jadi, ya anak-anak cuma tahu dua informasi umum itu aja dari beliau."
Ditha mengerutkan dahinya sedikit samar, mendengar apa yang dikatakan oleh Roni padanya dan juga Anggi. Saat makan siang seperti ini, memang adalah saat yang tepat untuk membicarakan segala sesuatu --a.k.a gosip-- yang tengah beredar sekitar perusahaan. Maklumlah, satu bulan terakhir ini, Anggi dan juga Ditha yang memang berada dalam satu tim pada divisi pemasaran memang sangat sibuk mengurus produk mereka yang baru dikeluarkan. Jadi, mau tidak mau, mereka jadi menyampingkan segala pikiran mereka yang ingin mengetahui tentang kabar yang beredar.
Dan apa yang dikatakan oleh Roni tadi, cukup membuat dua orang itu merasa terkejut, karena sebelumnya mereka baru tahu kalau penjaga kantin yang mereka temui selama ini adalah seorang anak remaja yang bekerja paruh waktu di sana.
"Oh, ya? Statusnya?" tanya Anggi penasaran, alih-alih menanyakan soal nama orang yang tengah mereka bicarakan tersebut.
"Duda,"
"He?" kernyit Anggi tampak tidak suka, dengan langsung membuang pandangannya ke arah lain. Sepertinya, dia kecewa deh, dengan status orang baru yang dibicarakan oleh Roni tadi.
"Cerai mati, atau gimana?" tanya Ditha penasaran, yang hanya dibalas Roni dengan gidikan bahu.
"Mana gue tahu! Orang anak-anak cuma tahunya dia itu duda. Entah itu duda cere mati atau hidup, juga… mereka nggak tahu! Bu Intan cuma bilang kayak gitu sama mereka." Kata Roni sedikit keras, menyeruput es teh manis yang menjadi menu penutupnya siang ini.
"Oh," desah Ditha tersenyum datar, seperti halnya Anggi yang tidak tertarik lagi dengan pembahasan mereka tentang orang baru.
"Namanya Andi. Katanya sih, harusnya dia udah mulai masuk kerja hari ini. Cuma, karena ada beberapa urusan lagi, dia baru bisa datang siang nanti." Cerita Roni lagi, sontak membuat Ditha membelalakkan matanya sejenak.
"Emang, bisa begitu? Tanggung banget, hidupnya! Mending besok aja sekalian!" ujar gadis berwajah tirus itu berdesis, lalu ikut menyeruput sisa es teh manisnya yang tadi juga dia pesan untuk menemani nasi soto makan siangnya.
"Nggak, tahulah! Ini juga gue dengar dari anak-anak lain. Kenapa dia bisa bertingkah seenaknya begitu, mungkin dia punya koneksi dengan para petinggi. Siapa tahu?" gidik Roni tidak begitu peduli, lantas bangkit dari duduknya, diiringi oleh Anggi dan juga Ditha.
Mereka berjalan menuju ruang divisi mereka sambil membahas segala yang menarik untuk dibicarakan. Mulai dari hal konyol, hingga masalah serius, tak luput dari bahan obrolan bibir mereka.
"Jam makan kita udah habis aja, gara-gara si Anggi yang asyik gombalin penjaga kantin yang baru itu. Gue jadi nggak sempat nyebat dulu kan," keluh Roni malas, begitu mereka keluar dari lift yang membawa mereka ke lantai sebelas dimana ruang kerja mereka berada.
"Lah, kok jadi malah nyalahin gue, sih? Yang nyuruh lo nungguin emang siapa? Gue? Keluarga gue? Nenek moyang gue? Enggak, kan?" dengus Anggi tidak terima, lantas berjalan berlenggak-lenggok dengan santainya di depan pria tersebut.
Tampak jam makan siang memang sudah selesai sekitar sepuluh menit yang lalu. Namun, tiga sekawan itu baru saja kembali, karena terlalu asyik mengobrol sambil makan, tanpa sadar kalau jam istirahat sudah hampir selesai. Untung saja tadi Ditha sempat melihat ponselnya saat sedang makan. Dia membaca notifikasi sebuah pesan yang mengatakan kalau mereka harus segera kembali ke ruangan begitu selesai makan, karena supervisor mereka akan mengenalkan seorang karyawan baru --yang sempat mereka bicarakan sekilas saat sedang makan tadi-- di divisi mereka.
"Eh, itu Pak Edwin sama siapa?"
Begitu masuk, pandangan Roni langsung tertuju pada meja supervisor mereka yang berada di paling depan ruangan tersebut. Terlihat, orang yang bernama Edwin itu sedang berbicara pada karyawan lain di divisinya, dengan seseorang yang berdiri di sampingnya.
"Eh, kalian bertiga baru pada balik? Lama amat? Perkenalannya udah hampir selesai," tegur Edwin santai, melihat Anggi, Ditha dan juga Roni yang baru saja masuk ke ruangan berdinding kaca tebal tersebut.
"Hehe, iya ni, Bos…Maklumlah, makan sama cewek gimana…. Pasti lama," sahut Roni.
"Lama apanya, nih? Makannya, atau ngegosipnya?"
"Ya dua-dua,"
"Heh!"
Roni hanya tersenyum simpul, melihat Ditha yang menyikut lengannya sambil melotot. Lalu, seolah tidak peduli lagi, dia kembali duduk di meja kerjanya yang memang berada dalam satu deretan dengan Anggi dan juga Ditha, ketika dia mendengar Ditha berbicara.
"Eh, Nggi! Kok lo diam aja? Kesambet?" senggol wanita itu pada Anggi, yang sepertinya baru mereka sadari sudah terdiam sejak mereka tiba di ruangan tadi.
Seperti orang yang tiba-tiba kehilangan jiwanya, Anggi menatap lurus pada sosok pria yang saat ini sedang berdiri tegap di sisi Edwin, yang juga masih berdiri memandangnya.
"Nggi? Kamu kenapa? Ada masalah?" tanya Edwin bingung, melihat wajah Anggi yang tidak memiliki ekspresi itu tidak berkedip ke arahnya.
"Itu…." Seperti suara yang hilang terbawa hembusan angin, samar, Edwin mendengar Anggi bertanya sambil mengangkat tangannya menunjuk lemah ke arah pria yang tengah berdiri di sampingnya.
Siapa? Karyawan baru ini? Pikir Edwin, kemudian tersenyum maklum kepada Anggi. Mungkin perempuan itu kenal kali, ya? Dia kan tipe orang yang punya kenalan paling banyak. Mungkin, anak baru ini adalah salah satunya? Batin Edwin.
"Kamu kenal, sama Andi?" tunjuk Edwin pada lelaki yang berdiri di sampingnya, menggunakan jempol yang dia miringkan ke arah kiri.
"Andi?" gerak bibir Anggi, tampak tidak mengeluarkan suara sama sekali.
"Ya, Andi. Damar Alfandi. Dia karyawan baru yang kemarin dibilang sama bagian HRD bakal masuk dalam divisi marketing kita. Kalian juga pasti udah pada dengar 'kan, kabarnya? Karena sesuatu hal, dia baru bisa masuk siang ini." Terang Edwin sangat tenang, tanpa melupakan senyum simpulnya melihat Anggi, yang tanpa sadar malah membuang napas beratnya begitu samar.
Andi… Damar Alfandi…. Entah kenapa, Anggi merasa hidupkan akan terasa gelap lagi mulai sekarang.
"Kenapa? Kamu kenal sama dia?"
Bersambung….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Astirai
aku nyimak thor....
mampir jg di bukalah hatimu untukku ya...
2021-04-10
0
Sept September
semangat kakakkkk...keren covernya
2020-09-01
0