"Siapa?"
Lala mulai gelagapan. Dia tak menjawab dan malah menatap ke arah layar besar. Brian tersenyum begitu tipis melihat Lala yang salah tingkah.
Lengkungan senyum kembali hadir ketika melihat Lala tertawa begitu lepas. Sebenarnya Lala sadar akan curi pandang Brian, tapi dia pura-pura tidak tahu.
Para penonton satu per satu sudah bubar. Lala yang hendak bangkit, malah menoleh ke arah Brian ketika sebuah pertanyaan terlontar dari sang dosen.
"Mau langsung pulang?"
"Mau cari buku dulu," jawabnya.
"Tujuan yang sama."
"Hah?"
Anggukan kecil seperti menghipnotis Lala. Mereka berdua pun keluar dari bioskop beriringan dan menuju toko buku tanpa adanya pembicaraan.
Di dalam toko buku mereka berdua berpencar. Buku yang mereka cari tidak sama. Lima belas menit berlalu, Lala dikejutkan oleh kehadiran Brian di sampingnya.
"Udah Nemu bukunya?"
Lala menunjukkan buku tentang psikologi. Brian malah tersenyum kecil. Padahal Lala jurusan management, tapi yang dia beli buku yang sangat jauh berbeda dengan jurusannya. Brian pun tak banyak tanya. Setelah apa yang mereka cari sudah mereka dapatkan, Brian dan Lala sudah berada di depan kasir.
"Satuin aja," ucap Brian pada kasir lelaki.
Lala tercengang. Tangannya mulai meraih lengan Brian hingga membuat atensi pria itu beralih. Gelengan pelan menandakan Lala tidak mau. Namun, Brian sudah memberikan kartunya untuk membayar bukunya juga buku yang Lala beli.
"Nomor rekening Bapak berapa? Biar saya transfer." Lala sudah mengeluarkan ponsel untuk membuka m-banking.
"Saya enggak akan miskin hanya karena membayari buku yang kamu beli."
"Tapi--"
Brian melenggang meninggalkan Lala dan mau tidak mau dia harus mengejar Brian karena bukunya dibawa oleh Brian.
Langkah mereka kini sejajar. Dahi Lala mengkerut ketika Brian menghentikan langkah di tempat permainan.
"Mau main?"
Lelaki itu mulai menatap Lala dan seketika anggukan penuh semangat Lala berikan.
Kadang ada tawa, kadang juga umpatan dari bibir mereka berdua ketika bermain capit boneka. Teriakan frustasi keluar dari bibir Lala karena terus saja gagal mendapatkan boneka yang dia suka.
"Aarggh!!"
Brian mulai mengarahkan Capitan ke arah boneka yang sangat Lala inginkan. Lala berteriak kegirangan ketika Brian berhasil mendapatkannya. Dia tak segan memeluk tubuh Brian saking senangnya. Tak ada jarak di antara keduanya untuk hari ini.
Dari kejauhan, seorang lelaki sudah menatap mereka berdua dengan sorot mata sendu. Lala yang begitu bahagia bersama pria tampan, tapi bukan dirinya.
Devan memang sedang mencari sesuatu ke mall tersebut. Tak sengaja dia melihat Lala menuju bioskop. Awalnya, dia ingin juga masuk ke sana, tapi diurungkan. Memilih menunggu Lala di dekat bioskop.
Dia dikejutkan ketika melihat Lala dan dosen kampusnya keluar dari bioskop bersamaan. Tanpa sadar Devan mengikuti mereka berdua. Ketika di toko buku Devan melihat jelas bagaimana Lala dan Brian saling berbicara. Dan sekarang di tempat permainan Lala tertawa sangat lepas.
"Sebahagia itukah, La?"
Hanya hembusan napas kasar yang keluar dari bibir Devan. Lelaki itupun mulai pergi dari sana dengan wajah yang begitu sendu. Brian menoleh ke arah di mana Devan berada tadi. Senyum tipis pun terukir.
Lala begitu bahagia karena banyak sekali boneka yang dia dapatkan hari ini. Semua itu berkat Brian yang begitu pandai.
"Sebagai ucapan terimakasih, saya yang akan bayar makanannya."
Mereka sudah berada di tempat ramen. Di mana Lala ingin sekali memakan ramen pedas.
"Saya tak butuh itu. Saya masih mampu."
Wajah yang berbinar kini merengut kesal, Brian hanya meresponnya dengan wajah yang datar. Seketika dahinya berkerut ketika tangan Lala tersiram kuah ramen yang akan disajikan.
Brian segera bangkit dari duduknya dan segera meraih tangan Lala yang terkena kuah ramen panas. Dia menatap ke arah Lala yang menangan ringisan.
"Ma-maaf, Mbak."
Brian segera membawa Lala menuju wastafel. Tangan Lala sedang disiram air yang mengalir dari keran wastafel. Sedangkan dia sibuk menghubungi seseorang dengan wajah yang begitu tegang.
"Wa, obat untuk kesiram air panas apaan?"
Seketika mata Lala beralih pada Brian yang tengah menelepon seseorang.
"Cepet DOKTER SADEWA!!"
"Pak, saya enggak app--"
"Terus arahkan tangannya ke bawah keran," titah Brian dengan begitu serius.
"Hem. Thank you."
Brian mendekat ke arah Lala. Meraih tangan Lala yang masih merah.
"Masih panas?"
"Udah gak terlalu."
"Tunggu sebentar."
Brian meninggalkan Lala sendirian. Tak lama dia kembali dan membawa tepung terigu di piring kecil. Belum juga Lala berkata, tangannya kembali Brian raih. Dia keringkan dan tepung terigu itu ditempelkan di bagian yang tadi terkena kuah ramen. Lala tak berkata apapun. Dia hanya terus memperhatikan.
"Kata teman saya ini pertolongan pertama supaya gak melepuh."
Lala pun hanya mengangguk dengan seulas senyum di bibirnya.
"Teman Bapak dokter?" Brian pun hanya mengangguk.
Sebegitu khawatirnya Brian hingga dia menelpon dokter langsung hanya untuk menanyakan obat untuk luka Lala.
Di meja tempat Brian dan Lala duduk, manager kafe juga karyawan yang tidak sengaja menumpahkan kuah ramen ke tangan Lala sudah berdiri dan bersiap meminta maaf juga bertanggung jawab.
"Maafkan keteledoran karyawan saya, Mbak, Mas."
"Kami akan bertanggung jawab."
Brian hendak membuka suara, tapi tangan Lala sudah memegang lengan Brian. Mata mereka bertemu dan gelengan pelan Lala berikan sebagai tanda.
"Saya enggak apa-apa kok, Pak. Nanti bisa saya obati di rumah," ucap Lala dengan begitu sopan.
"Lanjutkan pekerjaan kalian saja."
Brian terpana pada Lala yang bersikap begitu baik. Meskipun dia sudah dirugikan, tapi dia mampu memaafkan. Setelah manager kafe juga karyawan pergi, Lala dan Brian melanjutkan makannya. Sebenarnya Brian sudah mengajak untuk pindah tempat makan, tapi Lala menolak.
"Makasih ya, Pak," ucap Lala dengan senyum tulus.
Seperti biasa hanya anggukan yang menjadi jawaban. Lala melihat ponselnya dan sang adik sudah menelepon.
"Saya duluan, Pak. Adik saya udah jemput."
.
Seperti biasa Lala akan bertemu Devan di kampus. Kali ini dia bersikap biasa tanpa ada sapaan. Padahal, tatapan Devan begitu berbeda.
Baru juga tiba di kelas, teman kelasnya menghampiri Lala. Dia membisikkan sesuatu hingga dahi Lala berkerut.
"Mau ngapain? Kan hari ini gak ada kelas dia."
Lala melihat jam di ponsel, masih ada dua puluh menit lagi sebelum dosen masuk. Lala menuju ruangan Brian. Mengetuk pintu ruangannya, dan terdengar suara dari dalam.
Brian sudah berdiri seperti tengah menunggu Lala. Belum juga berkata, Brian sudah menghampirinya. Diraihnya tangan Lala yang semalam tersiram kuah ramen.
"Sudah Papa saya obati semalam," ucap Lala.
Manik mata Brian kini beralih pada Lala. Mereka saling pandang untuk sesaat.
"Papa saya seorang dokter. Jadi, Bapak enggak usah khawatir karena gak ada luka serius."
Brian tak menjawab apapun. Dia masih menatap Lala dengan begitu dalam. Hingga sebuah tanya Brian berikan.
"Kamu enggak kapok kan jalan sama saya?"
...**** BERSAMBUNG ****...
Coba atuh dikomen, sepi amat sih? 😥
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Salim S
cie cie yang udah mulai bucin sampe jam segitu khawatir nya sama ayang /Proud//Proud//Proud/,tuuh kan s devan tuh sebenernya cinta sama Lala cuma karena merasa sudah biasa jadi dia ngga sadar dengan perasaannya,udah devan biarkan Lala bahagia walaupun bukan kamu kebahagiaan Lala....
2025-01-28
2
Sri Lestari
Aman lah Sadewa sama Lea trs pak dosen sana Lala po ,,, biarin saja si cowok kampret itu 🤔
2025-01-28
2
Ida Lestari
wah yg Uda makin dket ya TPI kok Brian seolah olah slalu mengerti tentang Lala ya.....dokter Sadewa tu GK kyak dokter yg telp Lea kemaren kah??
lanjut trus Thor biar GK makin penasaran.....
semangat....
2025-01-28
0