Trauma Butuh Ditemani Suami

Di lantai atas, Desi mengunci pintu kamar dan menyandarkan tubuhnya ke pintu. Napasnya tersengal karena emosi yang barusan ia ledakkan di hadapan Bima. Namun, setelah beberapa saat, sudut bibirnya terangkat, dan tiba-tiba saja ia tertawa terbahak-bahak.

“Astaga, bagaimana aktingku tadi? Pasti luar biasa, kan?” gumamnya pada diri sendiri, sambil menutup mulutnya untuk menahan tawa yang semakin menjadi-jadi. Ia melangkah ke cermin di sudut kamar, memandang bayangan dirinya dengan tatapan penuh puas.

“Biarkan saja dia penuh penyesalan. Suami brengsek seperti itu pantas dibuat menderita. Kalau masih belum sadar juga, mungkin lain kali aku harus menghantam kepalanya dengan panci!” ucapnya sambil melipat kedua tangan di dada, matanya menyipit seperti sedang memikirkan strategi baru.

Ia melangkah ke tempat tidur, duduk di tepinya sambil menggelengkan kepala. “Bego kok dipelihara. Aduh, kadang aku sendiri heran kenapa Desi mau menikah dengannya?”

Desi berdiri di depan cermin kamar, tersenyum puas pada bayangannya sendiri. Ia meraih tas kecil favoritnya yang menggantung di sisi lemari, memasukkan dompet, dan memastikan semua kartu tersimpan rapi di dalamnya. Tidak lupa, ia mengambil surat nikah yang selama ini tersimpan di laci meja.

“Ini pasti berguna nanti. Waktunya bebas dari bekicot plin-plan itu,” gumamnya sambil menutup tasnya dengan penuh tekad.

Desi melangkah ke lantai bawah. Di ruang tamu, Bima masih terduduk di lantai, kepalanya tertunduk, bahunya bergetar pelan. Ia menangis. Namun, Desi hanya memutar bola matanya, merasa jijik melihat pemandangan itu.

“Astaga, laki-laki dewasa kok begini. Nggak ada harga dirinya sama sekali,” Desi mendesis pelan.

Dia mengalihkan pandangannya, menahan hasrat untuk mengomel lebih panjang. Ia berteriak ke arah dapur. “Bi Inah! Bi!”

Bi Inah bergegas keluar dari dapur, wajahnya penuh kekhawatiran. “Iya, Nyonya. Ada apa?”

“Aku mau pergi. Jadi gak usah masak buat aku ya.” Desi berkata santai sambil memeriksa isi tasnya.

Bi Inah tampak bingung. “Tapi, Nyonya, bagaimana dengan Tuan? Dia kan belum makan—”

Desi langsung menyela dengan nada dingin. “Dia sudah ada wanita lain yang bisa ngurus dia. Paling nanti juga ditelpon sama si janda kembang itu.”

Bi Inah menahan napas. Dalam hatinya, ia heran dengan sikap Desi. “Nyonya ini aneh sekali. Ada wanita lain dalam rumah tangganya, tapi dia malah santai begini.” Namun, ia hanya menjawab singkat, “Baik, Nyonya.”

Desi melangkah menuju pintu. Baru saja tangannya hampir menyentuh gagang pintu, suara Bima memanggilnya dari belakang.

“Sayang, mau ke mana? Biar aku antar ya.”

Desi memutar tubuhnya dengan ekspresi kesal. “Apa sih? Minggir nggak? Aku mau pergi nih!”

Namun, Bima tidak menyerah. Ia mendekat dengan wajah penuh penyesalan. “Sayang, biar aku temani ya. Wanita pasca trauma itu butuh ditemani suaminya. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa.”

Desi memutar bola matanya sambil mendengus. “Trauma apanya? Nih bekicot bener-bener nggak ngerti-ngerti ya? Denger ocehanmu tuh malah bikin aku tambah stress dan trauma! Apalagi model lelaki sepertimu, apa gak jadi lebih trauma lagi. Aku gak mau ya mati 2x.”

Ia melipat tangannya di dada, menatap Bima dengan sinis. “Suami? Suamiku itu sudah hilang. Entah mati atau kabur sama janda kembang beranak satu!”

Bima mendadak terdiam, wajahnya memerah karena malu dan emosi yang bercampur. Dengan suara yang bergetar, ia berteriak lantang. “DESI!”

Plak!

Suara tamparan keras memecah udara. Desi melayangkan tangannya ke wajah Bima tanpa ragu.

Desi mengibaskan tangannya, tampak nyeri akibat tamparannya sendiri. “Aduh, sakit bener telapak tanganku. Kayaknya tadi kekencengan deh,” gumamnya pelan sambil mendesis, namun tanpa sedikit pun rasa menyesal.

Bima memegang pipinya yang kini memerah, tampak kaget untuk pertama kalinya ia di tampar oleh istrinya. Bima berusaha menahan emosinya. “Sayang, kenapa kamu menamparku?” tanyanya dengan suara parau.

“Karena kau teriak di depan mukaku, dasar nggak sopan!” teriak Desi, memandang Bima dengan tatapan penuh kebencian.

"Maaf, Maaf Des!" ucap Bima sedih dan khilaf.

“Sudahlah, jangan halangi aku. Aku mau pergi,” ucap Desi dingin, melangkah ke pintu tanpa menoleh lagi ke arah Bima.

“Sayang… Desi…!” Bima masih memanggil-manggilnya, tapi Desi tidak peduli. Ia terus berjalan ke arah mobil, membuka pintu, dan duduk di kursi pengemudi.

Bima, yang tidak tahu harus berbuat apa, mengikuti langkah Desi dengan cepat. Ia mengetuk jendela mobil, berharap Desi mau mendengarkannya.

“Desi, aku mohon! Jangan pergi sendiri. Biar aku temani, ya!”

Namun, Desi hanya menghidupkan mesin mobil tanpa sedikit pun menatap ke arahnya. Sebelum sempat berkata lebih jauh, ponsel Bima berdering. Nama Maya muncul di layar, membuatnya semakin frustasi.

Dengan emosi yang meluap, Bima mengangkat telepon itu. “Ada apa? Aku sibuk! Jangan telepon aku terus, ngerti nggak?!” bentaknya.

Di seberang telepon, Maya terdiam sejenak, terkejut mendengar nada bicara Bima yang kasar. “Bima… aku hanya ingin tahu kabarmu. Kenapa kamu marah seperti ini?” tanyanya dengan suara pelan.

Bima menutup telepon tanpa menjawab, melempar ponselnya ke rumput terdekat. Ia memandang mobil Desi yang mulai melaju keluar dari halaman.

“Desi… kumohon, jangan pergi…” katanya pelan, hampir seperti bisikan. Namun, Desi sudah menghilang dari pandangannya, meninggalkan Bima yang berdiri di sana dengan penyesalan yang mendalam.

Bima melangkah keluar dari rumah dengan tubuh lemas. Pandangannya kosong, pikirannya berputar-putar memikirkan Desi dan kata-kata tajam yang baru saja ia dengar. Dengan langkah berat, ia menuju mobilnya. Saat duduk di balik kemudi, ia memegang setir erat-erat, mencoba menenangkan diri. Namun, bayangan wajah Desi terus menghantui.

“Desi... kenapa semuanya jadi begini?” bisiknya, suaranya terdengar penuh penyesalan.

Ia menghidupkan mesin mobil dan mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju kantornya di pemadam kebakaran. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya berada di jalanan. Ia teringat kejadian sebelumnya, ucapan Desi tentang anak mereka yang telah tiada. Kata-kata itu terus terngiang di telinganya.

“Brian itu sudah mati, mungkin dia tidak ingin hidup dengan ayah seperti dirimu. Makanya dia menyerah....” suara Desi bergema dalam kepalanya.

Bima menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa sakit yang menjalar ke hatinya. Tangannya mencengkeram setir semakin erat.

“Desi bilang bayi kita sudah mati. Tapi dia tidak bilang bayi kita dikuburkan di mana. Apa mungkin dia bohong?” pikirnya, berusaha mencari logika di tengah kekacauan emosinya.

“Atau mungkin Desi melahirkan? diusia 7 bulan, bukannya masih normal wanita hamil melahirkan bayi usia 7 bulan!”

Bima menggelengkan kepalanya dengan frustrasi. “Atau jika memang itu benar, apa dia hanya ingin aku merasakan penyesalan ini? Kalau benar begitu, aku pantas menerimanya...”

Sebuah klakson mobil di belakangnya membangunkan Bima dari lamunannya. Ia sadar mobilnya berjalan terlalu lambat di jalan raya. Dengan cepat, ia mempercepat laju kendaraannya, meski pikirannya tetap berputar-putar.

“Desi... apa yang sebenarnya kau pikirkan? Apakah kau sudah tidak cinta padaku? Kemana perginya kelembutanmu? Apakah kau akan meninggalkanku? Ah tapi gak mungkin kan.”

Ia teringat lagi bagaimana Desi menamparnya tadi. Tamparan itu bukan hanya menyakitkan secara fisik, tapi juga membuat hatinya remuk.

“Dia pasti sangat marah. Dan aku pantas mendapatkannya...” Bima menghela napas panjang, matanya mulai memerah.

Ketika mendekati kantor pemadam kebakaran, Bima memperlambat laju mobilnya. Ia memarkir kendaraan di tempat biasa, tapi tidak langsung keluar. Ia masih duduk di sana, memandang lurus ke depan.

“Kalau anak kita benar-benar sudah tiada... bagaimana aku bisa menebus kesalahan ini?” bisiknya lirih.

Ia memegang kepalanya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Namun, bayangan Desi dan bayi mereka yang tak pernah ia lihat terus menghantuinya.

“Aku harus tahu kebenarannya. Tapi jika Desi memang melahirkan... di mana anak kita sekarang?” gumamnya pelan.

Bima memutuskan untuk mencari jawaban. Ia menyandarkan kepalanya ke kursi mobil, menutup matanya sejenak, dan menarik napas dalam-dalam. Namun, rasa sesak di dadanya tidak kunjung hilang.

“Aku harus bicara dengan Desi lagi. Tapi... apa dia mau mendengarkan aku?” tanyanya pada dirinya sendiri.

Teleponnya berbunyi, memecah keheningan di dalam mobil. Nama Maya muncul di layar. Namun, Bima hanya memandang telepon itu tanpa niat mengangkatnya.

“Kenapa semua ini terjadi, Maya? Kenapa kau muncul di tengah-tengah pernikahanku?” gumamnya, tapi ia tahu ini bukan salah Maya sepenuhnya. Ini salahnya—dia yang terlalu plin-plan, terlalu lemah untuk menolak godaan.

Dengan tangan gemetar, Bima menekan tombol untuk menolak panggilan itu. Ia tidak ingin berbicara dengan siapa pun sekarang, apalagi Maya.

“Desi, aku mohon... jangan pergi. Maafkan aku ya.” ucapnya pelan, meski ia tahu Desi tidak ada di sana untuk mendengar janjinya.

Bima keluar dari mobil dengan langkah berat, memasuki kantor. Rekan-rekannya menyapanya, tapi ia hanya mengangguk singkat tanpa berbicara. Ia langsung menuju ruangannya, menutup pintu, dan duduk di kursinya dengan tubuh lemas.

Terpopuler

Comments

neng ade

neng ade

rasakan itu semua karena ulahmu yang lebih menyelamatkan mantan dari pada istrinya sendiri.. ditelpon juga ga diangkat padahal kondisi istri nya kritis .. koma 3 hari bayi nya meninggal.. keterlaluan !!

2025-03-11

0

mince

mince

bima kamu tanya tentang di mana kelembutan desi dan cintanya ya telah pergi bersama hatinya yg hancur berkeping 2 bersama perhatianmu pd wanita lain

2025-02-16

0

Erni Nofiyanti

Erni Nofiyanti

bukanya tu hp udh di buang y di rumput.
apa di ambil lagi

2025-01-20

1

lihat semua
Episodes
1 Reruntuhan Bangunan Vs Reruntuhan Hati
2 Operasi Darurat Yang Mencekam
3 Begadang Nonton Drama Korea
4 Harus Menerima dan Terus Berjalan
5 Bukan Sembarang Orang
6 Bukan untuk Nostalgia
7 Niat Menjual Rumah
8 Lupa Dengan Prioritas
9 Berbohong dan Ke Egoisan Bima
10 Mimpi dan Kenyataan
11 Mencari Keberadaan Desi
12 Plin Plan dan Tidak Berpendirian
13 Bermimpi Bertemu Brian Arfi
14 Pikiran yang Berkecamuk
15 Di Cuekin Emang Enak
16 Oh O.. Kamu Ketahuan..
17 Kemarahan dan Penyesalan
18 Trauma Butuh Ditemani Suami
19 Heboh Heboh Heboh
20 Ambil Saja Beserta Ampas nya
21 Bertemu Keluarga Benalu
22 Keluarga yang Menarik
23 Berbohong Demi Reputasi
24 Mau Jadi Anak Durhaka
25 Menikahlah Dengan Pilihan Mama
26 Sudah Selama Itu Ternyata
27 Cari Yang Lain Aja Sih
28 Jauh Jauh dari Hidupku
29 Hallo Tampan
30 Penyakit Langka
31 Penthouse Hunian Milik Desi
32 Bertemu Lagi...
33 Kekesalan Gabriel
34 Lelah Hati, Fikiran dan Fisik
35 Kedatangan Maya dan Abas
36 Mulai Rileks Bersama Mereka
37 Cerita Dalam Lift
38 Cerita Berlanjut....
39 Aku Punya Kejutan Istimewa
40 Bukan Na Hee Do
41 Kebohongan Terungkap
42 Kejutan Yang Tak Terduga
43 Kekecewaan Yang Besar
44 Senyuman Mahal Gabriel
45 Drama Asyik Di Pagi Hari
46 Kenyataan Pahit
47 Bebas.. Cheers
48 Sebenarnya Kau Siapa
49 Semua Salahmu Sendiri
50 Kenyataan Yang Menyakitkan
51 Tetangga Tampan
52 CEO Gadungan
53 Malas-Malasan Di Kantor
54 Bertemu Pelakor
55 Kedatangan Rendra
56 Cerita Desi Panjang x Lebar x Tinggi
57 Hidup Tak Seindah Yang di Bayangkan
58 Mulai Perhitungan
59 Ada Pertunjukan Hari Ini
60 Hukuman Untuk Pencuri Identitas
61 Akhir Dari Karyawan Nakal
62 Akhir Dari Maya Si Pelakor
63 Pacar Pura-Pura
64 Kabar Terbaru Ibu Bima
65 Penyesalan Yang Terlambat
66 Turut Berduka Cita
67 Aku Janda...
68 Selamat Datang di Kediaman Arsenio
69 Kapan Menikah?
70 Sebuah Panggilan Pagi
71 Keluhan Yang Tiada Henti
72 Curiga dan Mulai Gelisah
73 Siapa Pemilik Perusahaan
74 Saling Menyalahkan
75 Hancur Bersama
76 Keluarga Sat Set
77 Kejutan Untuk Desi
78 Dunia Ini Sempit
79 Mulai Posesif
80 Menikmati Momen Langka
81 Persiapan Menikah
82 Sah
83 Masakan Pertama Untuk Istri Tercinta
84 Benar-Benar Hancur
85 Acara Dansa
86 Waktu Berdua di Kamar
87 Gila, Jantungku Hampir Copot
88 Hallo Para Pembaca Setia
Episodes

Updated 88 Episodes

1
Reruntuhan Bangunan Vs Reruntuhan Hati
2
Operasi Darurat Yang Mencekam
3
Begadang Nonton Drama Korea
4
Harus Menerima dan Terus Berjalan
5
Bukan Sembarang Orang
6
Bukan untuk Nostalgia
7
Niat Menjual Rumah
8
Lupa Dengan Prioritas
9
Berbohong dan Ke Egoisan Bima
10
Mimpi dan Kenyataan
11
Mencari Keberadaan Desi
12
Plin Plan dan Tidak Berpendirian
13
Bermimpi Bertemu Brian Arfi
14
Pikiran yang Berkecamuk
15
Di Cuekin Emang Enak
16
Oh O.. Kamu Ketahuan..
17
Kemarahan dan Penyesalan
18
Trauma Butuh Ditemani Suami
19
Heboh Heboh Heboh
20
Ambil Saja Beserta Ampas nya
21
Bertemu Keluarga Benalu
22
Keluarga yang Menarik
23
Berbohong Demi Reputasi
24
Mau Jadi Anak Durhaka
25
Menikahlah Dengan Pilihan Mama
26
Sudah Selama Itu Ternyata
27
Cari Yang Lain Aja Sih
28
Jauh Jauh dari Hidupku
29
Hallo Tampan
30
Penyakit Langka
31
Penthouse Hunian Milik Desi
32
Bertemu Lagi...
33
Kekesalan Gabriel
34
Lelah Hati, Fikiran dan Fisik
35
Kedatangan Maya dan Abas
36
Mulai Rileks Bersama Mereka
37
Cerita Dalam Lift
38
Cerita Berlanjut....
39
Aku Punya Kejutan Istimewa
40
Bukan Na Hee Do
41
Kebohongan Terungkap
42
Kejutan Yang Tak Terduga
43
Kekecewaan Yang Besar
44
Senyuman Mahal Gabriel
45
Drama Asyik Di Pagi Hari
46
Kenyataan Pahit
47
Bebas.. Cheers
48
Sebenarnya Kau Siapa
49
Semua Salahmu Sendiri
50
Kenyataan Yang Menyakitkan
51
Tetangga Tampan
52
CEO Gadungan
53
Malas-Malasan Di Kantor
54
Bertemu Pelakor
55
Kedatangan Rendra
56
Cerita Desi Panjang x Lebar x Tinggi
57
Hidup Tak Seindah Yang di Bayangkan
58
Mulai Perhitungan
59
Ada Pertunjukan Hari Ini
60
Hukuman Untuk Pencuri Identitas
61
Akhir Dari Karyawan Nakal
62
Akhir Dari Maya Si Pelakor
63
Pacar Pura-Pura
64
Kabar Terbaru Ibu Bima
65
Penyesalan Yang Terlambat
66
Turut Berduka Cita
67
Aku Janda...
68
Selamat Datang di Kediaman Arsenio
69
Kapan Menikah?
70
Sebuah Panggilan Pagi
71
Keluhan Yang Tiada Henti
72
Curiga dan Mulai Gelisah
73
Siapa Pemilik Perusahaan
74
Saling Menyalahkan
75
Hancur Bersama
76
Keluarga Sat Set
77
Kejutan Untuk Desi
78
Dunia Ini Sempit
79
Mulai Posesif
80
Menikmati Momen Langka
81
Persiapan Menikah
82
Sah
83
Masakan Pertama Untuk Istri Tercinta
84
Benar-Benar Hancur
85
Acara Dansa
86
Waktu Berdua di Kamar
87
Gila, Jantungku Hampir Copot
88
Hallo Para Pembaca Setia

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!