Bermimpi Bertemu Brian Arfi

Desi alias Gendis melangkah masuk ke kamar yang tampak luas dan megah. Matanya menyapu sekeliling, mengamati setiap sudut ruangan yang dihiasi perabotan elegan. Ia menghela napas panjang sambil menyunggingkan senyum kecil.

“Lumayan lah ya,” gumamnya sambil menjatuhkan tubuh ke ranjang empuk yang dilapisi seprai putih bersih. “Memang nggak segede kamar lamaku dulu, tapi cukup nyaman juga.”

Tak lama, pintu kamar diketuk pelan. Suara Bi Inah terdengar dari balik pintu.

“Nyonya, saya bawakan susu hangat,” kata Bi Inah sopan.

“Masuk saja, Bi,” jawab Desi santai, tetap berbaring.

Bi Inah masuk membawa nampan kecil berisi segelas susu hangat dan meletakkannya di meja samping tempat tidur. Ia menatap Desi dengan cemas. “Nyonya, kalau ada apa-apa, panggil saja saya, ya.”

“Iya, iya, tenang aja, Bi. Kalau saya butuh, pasti saya panggil,” balas Desi dengan nada santai.

Bi Inah mengangguk, lalu beranjak keluar. “Saya pamit dulu, Nyonya.”

Begitu Bi Inah menutup pintu, Desi bangkit dari ranjang, berjalan ke pintu, dan menguncinya. Tak cukup sampai di situ, ia juga menggerendel pintu itu dengan hati-hati. Ia tak mau hari ini diganggu oleh siapapun. Desi memastikan semuanya terkunci rapat.

Ia kembali ke ranjang, meraih gelas susu hangatnya, dan menyeruputnya perlahan. Matanya mulai terasa berat, tubuhnya terasa sangat lelah setelah seharian berurusan dengan rumah sakit dan menguburkan bayi Desi asli.

“Capek banget,” ujarnya pelan.

Setelah selesai meminum susunya, Desi merebahkan tubuhnya dan tak butuh waktu lama sebelum ia terlelap.

Dalam tidurnya, Desi mendapati dirinya berada di sebuah taman bunga yang indah. Aroma segar bunga-bunga menyeruak ke hidungnya, membuatnya merasa tenang. Ia melihat hamparan bunga warna-warni yang ditiup lembut oleh angin.

“Wah, tempat apa ini? Indah banget,” katanya sambil berjalan di tengah taman.

Tiba-tiba, sebuah suara memanggil namanya dari kejauhan.

“Gendis...”

Ia menoleh, mencari sumber suara. Tak jauh darinya, ia melihat sosok wanita yang tak asing—Desi asli. Di samping Desi, ada seorang anak laki-laki yang tampak berusia sekitar tiga tahun.

Desi asli tersenyum hangat sambil melambaikan tangan. “Gendis, ke sini,” panggilnya.

Gendis berjalan mendekat dengan bingung. “Desi? Kok kamu di sini? Dan... siapa anak itu?” tanyanya, menunjuk anak kecil yang berdiri di samping Desi.

Desi asli tersenyum lembut. “Ini anakku, Brian Arfi,” jawabnya sambil mengelus kepala bocah itu.

Mata Gendis membelalak. “Hah? Tapi... tapi baru pertama kali bertemu denganmu, aku lihat kamu masih menggendong bayi. Kok sekarang dia udah sebesar ini?” tanyanya bingung.

Desi asli tertawa kecil. “Waktu di sini berbeda, Gendis. Brian tumbuh dengan cepat di tempat ini. Dan aku ingin mengucapkan terima kasih padamu,” ucapnya tulus.

Gendis mengernyitkan dahi. “Terima kasih? Untuk apa?”

Desi asli menatap Gendis dengan mata berkaca-kaca. “Karena kamu sudah menguburkan jenazah anakku dengan layak. Terima kasih juga karena kamu memberinya nama yang indah,” jawab Desi sambil tersenyum lembut.

Gendis menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Ah, itu sih wajar. Aku cuma melakukan apa yang menurutku benar,” katanya dengan nada canggung.

Tiba-tiba, Brian yang sedari tadi diam memeluk kaki Gendis. Gendis terkejut dan menunduk, mensejajarkan diri dengan anak itu.

“Eh, kamu kenapa, Nak?” tanya Gendis dengan bingung.

Brian menatapnya dengan mata polos dan senyum ceria. “Terima kasih, Tante Gendis,” katanya dengan suara kecil tapi penuh kehangatan.

Gendis terdiam sejenak, merasa hatinya hangat mendengar ucapan anak itu. Ia mengelus kepala Brian dengan lembut. “Ah, nggak perlu terima kasih, Brian. Aku cuma bantu apa yang bisa aku bantu,” katanya sambil tersenyum lebar.

Desi ikut berlutut di samping anaknya. “Brian sangat bahagia karena kamu memberikan perhatian padanya, meski dia sudah tidak ada di dunia. Aku juga bahagia karena kamu mau menerima kehidupan ini dengan lapang dada,” katanya.

Gendis tertawa kecil. “Yah, walaupun awalnya berat, tapi aku pikir ini adalah kesempatan baru buatku. Jadi, kenapa nggak dimanfaatkan sebaik mungkin?” jawabnya santai.

Desi tersenyum bangga. “Itulah yang aku harapkan, Gendis. Aku ingin kamu menjalani hidup ini dengan bahagia. Gunakan kesempatan kedua ini untuk melakukan hal-hal baik. Jangan sia-siakan hidupmu,” pesannya.

Gendis menatap Desi dengan serius, lalu mengangguk. “Tenang aja, Desi. Aku bakal hidup sebaik mungkin. Lagipula, aku kan sekarang kamu,” katanya sambil terkekeh.

Desi tertawa kecil, lalu berdiri sambil menggandeng Brian. “Selamat menjalani hidupmu, Gendis. Aku percaya kamu akan membuat banyak orang bahagia,” katanya sebelum mulai berjalan menjauh.

Brian melambaikan tangan kecilnya. “Dadah, Tante Gendis!”

Gendis melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. “Dadah, Brian! Dadah, Mbak Desi! Jaga diri kalian, ya!”

Setelah sosok mereka menghilang, Gendis merasa dadanya hangat. Ia berdiri di tengah taman bunga yang indah, menikmati aroma dan pemandangan sekitar.

“Baiklah, Desi. Aku nggak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku akan hidup dengan caraku, tapi tetap memastikan aku nggak mengecewakanmu,” katanya pada dirinya sendiri sebelum semuanya perlahan memudar.

 

Sementara itu, Bima memarkir mobilnya di depan rumah sederhana yang cukup rapi, rumah Maya. Napasnya terasa berat, pikirannya berkecamuk setelah perjalanan panjang mencari istrinya.

Baru saja ia keluar dari mobil, suara langkah kecil terdengar. Seorang bocah laki-laki berlari menghampirinya dengan mata sembap, wajahnya masih menyisakan bekas air mata. Itu Abas, anak Maya, cinta pertama Bima.

"Kenapa ayah lama sekali datang?" tanya Abas sambil memeluk kaki Bima erat. Suaranya terdengar serak, penuh kerinduan.

Bima terdiam sejenak, hatinya tersentuh namun juga bingung. Ia tahu betul bahwa ia bukan ayah kandung Abas, tetapi anak itu selalu memanggilnya dengan panggilan “ayah” sejak pertama kali mereka bertemu.

“Maaf, Nak. Ayah baru datang,” jawab Bima akhirnya, sambil membelai kepala bocah itu. “Abas baik-baik aja, kan?”

Abas menggeleng. “Nggak, ayah. Abas nangis terus tadi. Abas pikir ayah nggak mau datang lagi.”

Hati Bima semakin perih. Ia menggendong Abas sambil melangkah ke arah rumah. Dari pintu, Maya berdiri memperhatikan mereka dengan ekspresi yang sulit ditebak.

“Bima,” sapa Maya pelan. “Masuklah. Abas sudah menunggumu sejak tadi.”

Bima hanya mengangguk, menggendong Abas masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa.

Setelah duduk di sofa, Abas langsung memanjat pangkuan Bima. Ia terlihat sangat bahagia, meskipun matanya masih sedikit bengkak.

“Abas kangen banget sama ayah,” ucapnya polos sambil memeluk Bima erat.

Bima tersenyum tipis. “Ayah juga kangen sama Abas. Tapi ayah sibuk, Nak. Nggak bisa sering-sering ke sini.”

“Kenapa ayah nggak tinggal di sini aja? Kita kan bisa main tiap hari,” kata Abas penuh harap.

Maya, yang duduk di kursi sebelah, langsung menatap Bima dengan pandangan tajam namun penuh pengertian.

“Abas, ayah nggak bisa tinggal di sini,” jelas Maya sambil mengelus kepala anaknya. “Ayah punya rumah lain. Ada yang menunggu ayah di sana.”

Abas cemberut, lalu menatap Bima dengan mata yang hampir menangis lagi. “Tapi Abas sayang ayah. Abas nggak mau ayah pergi.”

Bima terdiam, bingung harus berkata apa. Ia tahu dirinya bukanlah ayah Abas, tetapi setiap kali mendengar bocah itu memanggilnya “ayah,” hatinya terasa berat untuk menyangkal.

“Ayah juga sayang sama Abas,” kata Bima akhirnya. “Tapi ayah nggak bisa selalu di sini. Kamu harus jadi anak yang kuat, ya? Kalau kangen, kamu bisa telepon ayah.”

Abas mengangguk kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedih.

Setelah bermain cukup lama, akhirnya Abas tertidur di pangkuan Bima. Maya mengisyaratkan agar Bima membawanya ke kamar. Dengan hati-hati, Bima menggendong Abas dan membawanya ke kamar anak itu.

Setelah meletakkan Abas di ranjang, Bima menarik selimut menutupi tubuh kecilnya. Ia menatap wajah polos anak itu, hatinya terasa hangat namun juga diliputi rasa bersalah.

“Dia benar-benar menyayangimu,” bisik Maya dari ambang pintu.

Bima menoleh, lalu berjalan keluar kamar dengan langkah pelan agar tidak membangunkan Abas. Setelah menutup pintu kamar, ia berdiri di koridor, menatap Maya yang memandanginya dengan ekspresi rumit.

“Maya...” panggil Bima pelan. “Aku nggak tahu harus gimana. Abas bukan anakku, tapi dia terus memanggilku ayah.”

Maya tersenyum tipis, meskipun matanya tampak lelah. “Aku tahu, Bima. Dan aku nggak pernah memintamu untuk menganggap dia anakmu. Tapi Abas... dia memang menganggapmu sebagai figur ayah. Dia butuh itu.”

Bima menghela napas panjang. “Aku takut ini akan semakin rumit, Maya. Aku sudah menikah, dan istriku sedang mengandung anak kami...”

Maya menunduk. Ia tahu betul batas yang harus ia jaga, tetapi di sisi lain, ia juga tak ingin memisahkan Abas dari satu-satunya pria yang membuat bocah itu merasa nyaman.

Setelah beberapa saat, Bima berpamitan. “Aku harus pulang. Istriku mungkin sudah sampai di rumah sekarang.”

Maya menatapnya dengan penuh keraguan. “Bima, ini sudah larut malam. Tidakkah lebih baik kamu menginap di sini? Abas pasti akan sangat kecewa kalau besok pagi kamu nggak ada.”

Bima menggeleng pelan. “Maya, aku nggak bisa. Istriku mungkin sedang menungguku. Aku harus pulang.”

Maya berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. Ia menatap Bima dengan penuh harap. “Kalau begitu... kapan kamu bisa datang lagi? Bukan hanya untuk Abas, tapi juga untukku. Aku butuh seseorang untuk berbagi.”

Bima hanya menunduk, tidak menjawab. Setelah beberapa saat, ia melangkah pergi, meninggalkan Maya yang berdiri kaku di depan pintu rumah.

Terpopuler

Comments

neng ade

neng ade

Abas itu anak nya Bima dengan Maya bukan sih

2025-03-09

0

Mutiara Nisak

Mutiara Nisak

lbh tegas dikit mak...peran laki2 nya,jgn krn seorang anak,dia jd plin plan,anak kan bersih otak nya,klo g d kasih tau sm enak nya ,dia jg g bkln panggil ayah sm orang lain...
maaf y....sedikit mengkritik...biar lbh hidup cerita nya....

2025-01-19

0

Ning Suswati

Ning Suswati

jadipusing, kalau abas bukannya anaknya kenapa juga harus repot, gk tau kalau itu memang bibitnya si bima yg ketinggalan, terus mayanya belum mau mengakui kalau itu anak biologisnya bima

2025-03-18

0

lihat semua
Episodes
1 Reruntuhan Bangunan Vs Reruntuhan Hati
2 Operasi Darurat Yang Mencekam
3 Begadang Nonton Drama Korea
4 Harus Menerima dan Terus Berjalan
5 Bukan Sembarang Orang
6 Bukan untuk Nostalgia
7 Niat Menjual Rumah
8 Lupa Dengan Prioritas
9 Berbohong dan Ke Egoisan Bima
10 Mimpi dan Kenyataan
11 Mencari Keberadaan Desi
12 Plin Plan dan Tidak Berpendirian
13 Bermimpi Bertemu Brian Arfi
14 Pikiran yang Berkecamuk
15 Di Cuekin Emang Enak
16 Oh O.. Kamu Ketahuan..
17 Kemarahan dan Penyesalan
18 Trauma Butuh Ditemani Suami
19 Heboh Heboh Heboh
20 Ambil Saja Beserta Ampas nya
21 Bertemu Keluarga Benalu
22 Keluarga yang Menarik
23 Berbohong Demi Reputasi
24 Mau Jadi Anak Durhaka
25 Menikahlah Dengan Pilihan Mama
26 Sudah Selama Itu Ternyata
27 Cari Yang Lain Aja Sih
28 Jauh Jauh dari Hidupku
29 Hallo Tampan
30 Penyakit Langka
31 Penthouse Hunian Milik Desi
32 Bertemu Lagi...
33 Kekesalan Gabriel
34 Lelah Hati, Fikiran dan Fisik
35 Kedatangan Maya dan Abas
36 Mulai Rileks Bersama Mereka
37 Cerita Dalam Lift
38 Cerita Berlanjut....
39 Aku Punya Kejutan Istimewa
40 Bukan Na Hee Do
41 Kebohongan Terungkap
42 Kejutan Yang Tak Terduga
43 Kekecewaan Yang Besar
44 Senyuman Mahal Gabriel
45 Drama Asyik Di Pagi Hari
46 Kenyataan Pahit
47 Bebas.. Cheers
48 Sebenarnya Kau Siapa
49 Semua Salahmu Sendiri
50 Kenyataan Yang Menyakitkan
51 Tetangga Tampan
52 CEO Gadungan
53 Malas-Malasan Di Kantor
54 Bertemu Pelakor
55 Kedatangan Rendra
56 Cerita Desi Panjang x Lebar x Tinggi
57 Hidup Tak Seindah Yang di Bayangkan
58 Mulai Perhitungan
59 Ada Pertunjukan Hari Ini
60 Hukuman Untuk Pencuri Identitas
61 Akhir Dari Karyawan Nakal
62 Akhir Dari Maya Si Pelakor
63 Pacar Pura-Pura
64 Kabar Terbaru Ibu Bima
65 Penyesalan Yang Terlambat
66 Turut Berduka Cita
67 Aku Janda...
68 Selamat Datang di Kediaman Arsenio
69 Kapan Menikah?
70 Sebuah Panggilan Pagi
71 Keluhan Yang Tiada Henti
72 Curiga dan Mulai Gelisah
73 Siapa Pemilik Perusahaan
74 Saling Menyalahkan
75 Hancur Bersama
76 Keluarga Sat Set
77 Kejutan Untuk Desi
78 Dunia Ini Sempit
79 Mulai Posesif
80 Menikmati Momen Langka
81 Persiapan Menikah
82 Sah
83 Masakan Pertama Untuk Istri Tercinta
84 Benar-Benar Hancur
85 Acara Dansa
86 Waktu Berdua di Kamar
87 Gila, Jantungku Hampir Copot
88 Hallo Para Pembaca Setia
Episodes

Updated 88 Episodes

1
Reruntuhan Bangunan Vs Reruntuhan Hati
2
Operasi Darurat Yang Mencekam
3
Begadang Nonton Drama Korea
4
Harus Menerima dan Terus Berjalan
5
Bukan Sembarang Orang
6
Bukan untuk Nostalgia
7
Niat Menjual Rumah
8
Lupa Dengan Prioritas
9
Berbohong dan Ke Egoisan Bima
10
Mimpi dan Kenyataan
11
Mencari Keberadaan Desi
12
Plin Plan dan Tidak Berpendirian
13
Bermimpi Bertemu Brian Arfi
14
Pikiran yang Berkecamuk
15
Di Cuekin Emang Enak
16
Oh O.. Kamu Ketahuan..
17
Kemarahan dan Penyesalan
18
Trauma Butuh Ditemani Suami
19
Heboh Heboh Heboh
20
Ambil Saja Beserta Ampas nya
21
Bertemu Keluarga Benalu
22
Keluarga yang Menarik
23
Berbohong Demi Reputasi
24
Mau Jadi Anak Durhaka
25
Menikahlah Dengan Pilihan Mama
26
Sudah Selama Itu Ternyata
27
Cari Yang Lain Aja Sih
28
Jauh Jauh dari Hidupku
29
Hallo Tampan
30
Penyakit Langka
31
Penthouse Hunian Milik Desi
32
Bertemu Lagi...
33
Kekesalan Gabriel
34
Lelah Hati, Fikiran dan Fisik
35
Kedatangan Maya dan Abas
36
Mulai Rileks Bersama Mereka
37
Cerita Dalam Lift
38
Cerita Berlanjut....
39
Aku Punya Kejutan Istimewa
40
Bukan Na Hee Do
41
Kebohongan Terungkap
42
Kejutan Yang Tak Terduga
43
Kekecewaan Yang Besar
44
Senyuman Mahal Gabriel
45
Drama Asyik Di Pagi Hari
46
Kenyataan Pahit
47
Bebas.. Cheers
48
Sebenarnya Kau Siapa
49
Semua Salahmu Sendiri
50
Kenyataan Yang Menyakitkan
51
Tetangga Tampan
52
CEO Gadungan
53
Malas-Malasan Di Kantor
54
Bertemu Pelakor
55
Kedatangan Rendra
56
Cerita Desi Panjang x Lebar x Tinggi
57
Hidup Tak Seindah Yang di Bayangkan
58
Mulai Perhitungan
59
Ada Pertunjukan Hari Ini
60
Hukuman Untuk Pencuri Identitas
61
Akhir Dari Karyawan Nakal
62
Akhir Dari Maya Si Pelakor
63
Pacar Pura-Pura
64
Kabar Terbaru Ibu Bima
65
Penyesalan Yang Terlambat
66
Turut Berduka Cita
67
Aku Janda...
68
Selamat Datang di Kediaman Arsenio
69
Kapan Menikah?
70
Sebuah Panggilan Pagi
71
Keluhan Yang Tiada Henti
72
Curiga dan Mulai Gelisah
73
Siapa Pemilik Perusahaan
74
Saling Menyalahkan
75
Hancur Bersama
76
Keluarga Sat Set
77
Kejutan Untuk Desi
78
Dunia Ini Sempit
79
Mulai Posesif
80
Menikmati Momen Langka
81
Persiapan Menikah
82
Sah
83
Masakan Pertama Untuk Istri Tercinta
84
Benar-Benar Hancur
85
Acara Dansa
86
Waktu Berdua di Kamar
87
Gila, Jantungku Hampir Copot
88
Hallo Para Pembaca Setia

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!