Lupa Dengan Prioritas

Siang itu, setelah pengecekan panjang, hari ini adalah hari yang dinanti-nantikan. Hari untuk pulang. Desi meminta dimajukan jam pulang. Bukan sekadar kembali ke rumah, tetapi juga hari untuk memberi peristirahatan terakhir bagi bayi Desi yang telah meninggal. Karena jarak ke arah pemakaman juga lumayan jauh.

Tari datang membawa berkas untuk persetujuan akhir. Desi duduk di tempat tidur, terlihat tenang.

Tari, tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Sore, Ibu Desi. Bagaimana perasaan Anda hari ini? Sudah siap untuk pulang?"

Desi mengangguk sambil menarik napas dalam. "Saya merasa jauh lebih baik, mbk Tari. Dan ya, saya sudah siap untuk pulang. Terima kasih untuk semuanya selama di sini."

"Kami senang melihat Anda pulih dengan baik, Bu. Tapi, tentu saja, jika nanti merasa tidak nyaman atau ada keluhan, jangan ragu untuk menghubungi kami." ucap Tari.

Desi menatap mereka dengan tatapan penuh terima kasih. "Saya benar-benar menghargai perhatian kalian semua. Rumah sakit ini telah memperlakukan saya dengan sangat baik. Saya tidak akan melupakan ini."

Tari menaruh berkas di meja kecil di dekat ranjang. "Ini surat-surat yang perlu Anda tandatangani. Termasuk untuk proses pelepasan bayi Anda. Kami sudah berkoordinasi dengan pihak pemakaman, sesuai permintaan Anda."

Desi menatap berkas itu sejenak, lalu mengambil pulpen dan menandatangani dengan hati-hati. "Terima kasih sudah membantu mengurus semuanya, mbk Tari dan seluruh karyawan rumah sakit."

Taru mengangguk penuh pengertian. "Kami mengerti, Bu. Petugas ambulans dan tim dari rumah sakit akan menemani Anda ke lokasi pemakaman. Anda tidak sendirian."

Desi tersenyum tipis. "Sekali lagi, terima kasih."

Setelah proses administrasi selesai, Desi ditemani oleh seorang perawat lain, Lidia, menuju ruangan tempat bayinya disemayamkan sementara. Ruangan itu dingin, sunyi, dan dipenuhi aroma antiseptik.

Lidia berkata dengan lembut, "Kami sudah menyiapkan bayi Anda, Bu Desi. Jika Anda ingin melihatnya untuk terakhir kali sebelum diberi kain kafan, kami bisa menunggu di luar."

Desi menelan ludah, meskipun dia pernah meninggal satu kali namun sangat berbeda jika di tempat itu. "Iya. Saya hanya ingin memotret dia untuk terakhir kalinya. Sebagai pengingat."

"Sebenarnya bukan pengingat, tapi untuk di beri tahu kepada suami Desi yang brengsek ini," ucapnya dalam hati.

Perawat mengangguk, lalu membuka pintu sebuah lemari pendingin kecil. Bayi mungil itu diletakkan di atas nampan kecil, tubuhnya sudah bersih dan tertutup kain putih tipis. Desi mendekat dengan hati-hati, menatap wajah kecil yang damai meski telah tiada.

Desi mengeluarkan ponselnya. Ia memotret bayi laki-laki itu beberapa kali, memastikan setiap sudutnya terlihat. Setelah selesai, ia meletakkan ponsel di saku dan berbisik pelan, "Kau sangat tampan sekali, Bahagia lah kamu bersama Mama mu di surga sana. Aku akan melakukan hadiah terakhir untuk mama mu, yaitu menguburkanmu di tempat yang layak."

Perawat laki-laki mendekat, membawa kain kafan kecil. "Apakah Anda siap, Bu? Kami akan mulai prosesnya."

Desi mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia berdiri di sudut ruangan, menyaksikan para perawat membungkus tubuh kecil itu dengan kain kafan, lalu meletakkannya dengan hati-hati ke dalam peti kecil.

Perjalanan ke pemakaman terasa panjang sekitar 1 jam. Desi duduk di dalam ambulans, di samping peti kecil yang berisi bayinya. Di seberang, seorang perawat laki-laki, Deni, mencoba berbicara untuk mengurangi ketegangan.

Deni bertanya dengan suara lembut, "Bu Desi, apakah ada keluarga lain yang akan bergabung di pemakaman?"

Desi menggeleng. "Tidak perlu keluarga lain yang kesini. Hanya saya saja."

Deni tampak iba, lalu berkata pelan, "Tidak apa, Anda ada di sini untuk bayi Anda. Itu sudah cukup."

Desi menatap peti kecil itu, lalu berkata dengan suara pelan, "Dia tidak butuh banyak orang. Hanya butuh cinta dan doa yang tulus."

Deni terdiam, merasa tidak ada lagi yang perlu ia tambahkan. Hening menyelimuti ambulans hingga mereka tiba di pemakaman.

Beberapa petugas pemakaman sudah menunggu di lokasi. Mereka membawa sekop, bunga, dan segala perlengkapan yang diperlukan. Salah satu petugas menghampiri Desi dengan wajah serius.

"Selamat siang, Ibu. Kami sudah menyiapkan segalanya sesuai permintaan Anda. Apakah Anda ingin melihat prosesi dari awal?"

Desi mengangguk. "Ya, saya ingin menyaksikan semuanya. Ini adalah cara terakhir saya mengucapkan selamat tinggal."

Petugas memimpin Desi ke lokasi liang lahad yang sudah digali. Peti kecil itu diletakkan di atas meja kecil, dikelilingi oleh bunga-bunga putih. Desi berdiri di sampingnya.

Salah satu petugas berkata dengan nada penuh hormat, "Kami akan memulai sekarang, Bu. Jika ada sesuatu yang ingin Anda tambahkan atau lakukan, silakan sampaikan."

Desi menatap peti itu, lalu berkata dengan suara yang hampir berbisik, "Tidak ada. Hanya pastikan dia dimakamkan dengan hati-hati."

Para petugas mulai menurunkan peti ke dalam liang lahad. Desi menutup mata sejenak, merasakan angin lembut yang bertiup di wajahnya. Setelah peti berada di dalam tanah, mereka mulai menutupnya perlahan dengan tanah.

Salah satu petugas memimpin doa singkat. Desi ikut menundukkan kepala, bibirnya bergerak pelan mengikuti doa itu.

Setelah doa selesai, Desi menaburkan bunga di atas makam, lalu berdiri beberapa menit dalam keheningan. Dalam hati, ia berkata pada bayinya, "Istirahatlah dengan tenang bersama mama mu. Sampaikan ucapan terimakasih ku pada mamamu disana. Aku akan membuat raga Mama mu bahagia."

Salah satu petugas menghampiri Desi dengan hati-hati. "Ibu, jika ada yang perlu Anda sampaikan atau butuhkan, kami siap membantu."

Desi menggeleng dengan lembut. "Terima kasih. Saya rasa saya sudah selesai di sini."

Ia berbalik perlahan, melangkah menuju Taxi yang telah disiapkan untuknya.

Sementara itu di Kantor Pemadam Kebakaran, Bima berjalan memasuki kantor dengan langkah tergesa. Setelah tiga hari cuti, ini hari ke 4, ia kembali bekerja. Meski tubuhnya ada di kantor, pikirannya melayang ke tempat lain. Sejak keluar dari rumah Maya tadi pagi, ia merasa tidak tenang. Seperti ada sesuatu yang mengganjal, tetapi ia tidak tahu pasti apa itu.

"Hey, Bim!" suara Dika, teman satu divisinya, menyapa dari kejauhan. "Lama juga cutimu, gimana kabar istrimu? Aku dengar istrimu juga berada ditempat kejadian ketika reruntuhan itu. Dia baik-baik saja, kan?"

Pertanyaan itu membuat langkah Bima terhenti sejenak. Ia menatap Dika dengan wajah kaku, seperti baru diingatkan sesuatu yang sangat penting. Namun, ia mencoba tersenyum, meski senyumnya terlihat canggung.

"Istriku... dia baik-baik saja," jawab Bima dengan suara pelan, sambil memalingkan pandangan. Hatinya bergemuruh. "Oh Desi, istriku... aku bahkan lupa bagaimana kabarmu. Aku tidak menemuimu selama ini, bahkan setelah kejadian itu. Apa yang sudah kulakukan?"

Dika mengangkat alis, merasa heran dengan nada suara Bima yang terdengar aneh. "Oh, baguslah kalau begitu. Jadi kamu cuti kemarin untuk jaga istrimu di rumah sakit, ya?"

Bima terkesiap, tangannya langsung mengepal. Ia tertawa kecil, mencoba menutupi kegelisahannya. "Iya, semacam itu. Kamu tahu, kan, istriku butuh banyak istirahat."

Dika tersenyum sambil menepuk bahu Bima. "Baguslah kalau begitu. Istrimu pasti senang banget punya suami perhatian kayak kamu."

Mendengar itu, Bima hanya mengangguk kecil. Namun, kepalanya mulai penuh dengan pikiran-pikiran yang membingungkan. "Perhatian? Aku bahkan lupa dia ada di rumah sakit. Aku sibuk mengurus Abas dan Maya... Aku ini suami macam apa?"

Setelah percakapan singkat dengan Dika, Bima segera mencari tempat yang lebih tenang. Ia menuju ruang istirahat, mengambil ponselnya, dan mencoba menelepon Desi.

Bima memandang layar ponselnya dengan gelisah. Ia menggulir daftar kontak, lalu menekan nomor Istrinya, Desi. Suara nada sambung terdengar, tetapi tidak ada jawaban. Bima menunggu dengan cemas, menggigit bibir bawahnya.

"Tolong angkat, Desi... Tolong jawab... Aku perlu tahu kamu baik-baik saja..." pikir Bima sambil menahan napas.

Namun, panggilan itu terputus. Tidak ada jawaban. Bima mencoba menelepon lagi, tetapi hasilnya tetap sama. Desi tidak mengangkat teleponnya.

Bima memejamkan mata, merasakan kekhawatiran yang semakin membesar di dadanya. "Kenapa dia tidak mengangkat? Apa dia marah karena aku tidak ada mendampinginya?"

Tangannya gemetar saat meletakkan ponsel di meja. Ia memijat pelipisnya, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya terus berputar. "Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya? Bagaimana jika dia membutuhkan aku, tetapi aku tidak ada? Aku harus cari dia... Tapi, ke mana? Aku bahkan lupa bertanya pada rekanku, dia dibawa ke rumah sakit mana."

Ia menatap ponselnya lagi, mencoba mengingat siapa yang mungkin bisa memberinya jawaban. Namun, rasa malu tiba-tiba menghantam dirinya. "Apa yang akan mereka pikirkan jika aku bertanya sekarang? Mereka pasti mengira aku tidak peduli. Dan itu benar... Aku tidak ada untuk istriku selama beberapa hari ini."

Bima menunduk, menahan rasa frustrasi yang menggelegak di dadanya. Ia mengingat kembali saat-saat ia menemani Abas dan Maya. "Aku terlalu sibuk mengurus mereka. Abas terus meminta aku tetap di sana. Maya... dia selalu membuatku merasa dibutuhkan. Hingga aku lupa tugasku menjadi seorang suami."

Sebuah pikiran melintas di benaknya. "Apa aku terlalu nyaman dengan Maya? hingga aku lupa bahwa aku ini seorang suami? Apa aku benar-benar telah melupakan tanggung jawabku pada Desi?"

Bima menggenggam erat ponselnya. Ia memutuskan untuk mencoba menelepon Desi sekali lagi. Namun, saat suara nada sambung terdengar, rasa takut kembali menghantamnya. "Bagaimana jika dia tidak mau berbicara denganku?"

Bima duduk di ruang istirahat kantor pemadam kebakaran, mencoba menenangkan dirinya yang sedang kacau. Ponselnya tergeletak di meja, panggilan terakhirnya ke Desi tidak dijawab. Ia berusaha terlihat tenang, meskipun dalam hatinya berkecamuk.

Dika masuk dengan senyuman ramah, lalu duduk di seberang Bima sambil membuka botol air minumnya. "Kamu kelihatan aneh, Bim. Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya santai.

Bima menggeleng cepat, mencoba menghapus kegelisahan dari wajahnya. "Enggak kok, cuma capek aja setelah cuti."

Dika menyesap minumannya sebelum menatap Bima dengan mata menyipit. "Capek setelah cuti? Bukannya harusnya kamu lebih segar, apalagi setelah punya waktu untuk nemenin istrimu. Kamu kelihatan gelisah dari tadi. Kalau ada masalah, ceritain aja. Siapa tahu aku bisa bantu."

Bima terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata. "Aku... Aku cuma khawatir sama istriku. Dia nggak angkat teleponku."

Dika mengangguk, tampak paham. "Mungkin dia lagi istirahat, Bim. Wajar kok kalau dia nggak angkat telepon. Dia pasti butuh waktu untuk pulih."

Bima menghela napas panjang. "Iya, mungkin kamu benar. Tapi aku tetap nggak tenang. Aku merasa bersalah."

"Aku bersalah karena tidak bersama nya, dan tak tau kabarnya sekarang." ucap Bima dalam hati.

Bima berkata dengan nada lebih serius. "Oh iya, aku hampir lupa. Kata Aiman, pas proses penyelamatan itu, istrimu banyak mengeluarkan darah. Aku jadi penasaran, dia nggak apa-apa kan? Terus gimana sama kandungannya? Dia baik-baik aja?"

Pertanyaan itu seperti petir yang menyambar kepala Bima. Ia terdiam, seluruh tubuhnya menegang.

Terpopuler

Comments

Rena Agustina

Rena Agustina

begitu dahsyat nya pengaruh jalang laknaatt sampai sampai si suami anjing laknaatt lupa sama bini ...padahal tau bini kecelakaan tapi bisa bisanya lupa diri gara gara jakangblaknatt jahannam

2025-03-22

0

⫷ TՏᑌᗰᗩ ⫸

⫷ TՏᑌᗰᗩ ⫸

3 hari lupa istri yg sekarat
Maya..Abas trs yg di urus
mampus saja kau Bima
calling dr pihak rumah sakit berderet
apa di hapus Maya ?

2025-03-24

0

Jumiati Mia

Jumiati Mia

percuma menyesal istri anak disia2kan mantan dilayani anak orang dianggap anakmu mikir..buang aj laki model gini mah

2025-03-23

0

lihat semua
Episodes
1 Reruntuhan Bangunan Vs Reruntuhan Hati
2 Operasi Darurat Yang Mencekam
3 Begadang Nonton Drama Korea
4 Harus Menerima dan Terus Berjalan
5 Bukan Sembarang Orang
6 Bukan untuk Nostalgia
7 Niat Menjual Rumah
8 Lupa Dengan Prioritas
9 Berbohong dan Ke Egoisan Bima
10 Mimpi dan Kenyataan
11 Mencari Keberadaan Desi
12 Plin Plan dan Tidak Berpendirian
13 Bermimpi Bertemu Brian Arfi
14 Pikiran yang Berkecamuk
15 Di Cuekin Emang Enak
16 Oh O.. Kamu Ketahuan..
17 Kemarahan dan Penyesalan
18 Trauma Butuh Ditemani Suami
19 Heboh Heboh Heboh
20 Ambil Saja Beserta Ampas nya
21 Bertemu Keluarga Benalu
22 Keluarga yang Menarik
23 Berbohong Demi Reputasi
24 Mau Jadi Anak Durhaka
25 Menikahlah Dengan Pilihan Mama
26 Sudah Selama Itu Ternyata
27 Cari Yang Lain Aja Sih
28 Jauh Jauh dari Hidupku
29 Hallo Tampan
30 Penyakit Langka
31 Penthouse Hunian Milik Desi
32 Bertemu Lagi...
33 Kekesalan Gabriel
34 Lelah Hati, Fikiran dan Fisik
35 Kedatangan Maya dan Abas
36 Mulai Rileks Bersama Mereka
37 Cerita Dalam Lift
38 Cerita Berlanjut....
39 Aku Punya Kejutan Istimewa
40 Bukan Na Hee Do
41 Kebohongan Terungkap
42 Kejutan Yang Tak Terduga
43 Kekecewaan Yang Besar
44 Senyuman Mahal Gabriel
45 Drama Asyik Di Pagi Hari
46 Kenyataan Pahit
47 Bebas.. Cheers
48 Sebenarnya Kau Siapa
49 Semua Salahmu Sendiri
50 Kenyataan Yang Menyakitkan
51 Tetangga Tampan
52 CEO Gadungan
53 Malas-Malasan Di Kantor
54 Bertemu Pelakor
55 Kedatangan Rendra
56 Cerita Desi Panjang x Lebar x Tinggi
57 Hidup Tak Seindah Yang di Bayangkan
58 Mulai Perhitungan
59 Ada Pertunjukan Hari Ini
60 Hukuman Untuk Pencuri Identitas
61 Akhir Dari Karyawan Nakal
62 Akhir Dari Maya Si Pelakor
63 Pacar Pura-Pura
64 Kabar Terbaru Ibu Bima
65 Penyesalan Yang Terlambat
66 Turut Berduka Cita
67 Aku Janda...
68 Selamat Datang di Kediaman Arsenio
69 Kapan Menikah?
70 Sebuah Panggilan Pagi
71 Keluhan Yang Tiada Henti
72 Curiga dan Mulai Gelisah
73 Siapa Pemilik Perusahaan
74 Saling Menyalahkan
75 Hancur Bersama
76 Keluarga Sat Set
77 Kejutan Untuk Desi
78 Dunia Ini Sempit
79 Mulai Posesif
80 Menikmati Momen Langka
81 Persiapan Menikah
82 Sah
83 Masakan Pertama Untuk Istri Tercinta
84 Benar-Benar Hancur
85 Acara Dansa
86 Waktu Berdua di Kamar
87 Gila, Jantungku Hampir Copot
88 Hallo Para Pembaca Setia
Episodes

Updated 88 Episodes

1
Reruntuhan Bangunan Vs Reruntuhan Hati
2
Operasi Darurat Yang Mencekam
3
Begadang Nonton Drama Korea
4
Harus Menerima dan Terus Berjalan
5
Bukan Sembarang Orang
6
Bukan untuk Nostalgia
7
Niat Menjual Rumah
8
Lupa Dengan Prioritas
9
Berbohong dan Ke Egoisan Bima
10
Mimpi dan Kenyataan
11
Mencari Keberadaan Desi
12
Plin Plan dan Tidak Berpendirian
13
Bermimpi Bertemu Brian Arfi
14
Pikiran yang Berkecamuk
15
Di Cuekin Emang Enak
16
Oh O.. Kamu Ketahuan..
17
Kemarahan dan Penyesalan
18
Trauma Butuh Ditemani Suami
19
Heboh Heboh Heboh
20
Ambil Saja Beserta Ampas nya
21
Bertemu Keluarga Benalu
22
Keluarga yang Menarik
23
Berbohong Demi Reputasi
24
Mau Jadi Anak Durhaka
25
Menikahlah Dengan Pilihan Mama
26
Sudah Selama Itu Ternyata
27
Cari Yang Lain Aja Sih
28
Jauh Jauh dari Hidupku
29
Hallo Tampan
30
Penyakit Langka
31
Penthouse Hunian Milik Desi
32
Bertemu Lagi...
33
Kekesalan Gabriel
34
Lelah Hati, Fikiran dan Fisik
35
Kedatangan Maya dan Abas
36
Mulai Rileks Bersama Mereka
37
Cerita Dalam Lift
38
Cerita Berlanjut....
39
Aku Punya Kejutan Istimewa
40
Bukan Na Hee Do
41
Kebohongan Terungkap
42
Kejutan Yang Tak Terduga
43
Kekecewaan Yang Besar
44
Senyuman Mahal Gabriel
45
Drama Asyik Di Pagi Hari
46
Kenyataan Pahit
47
Bebas.. Cheers
48
Sebenarnya Kau Siapa
49
Semua Salahmu Sendiri
50
Kenyataan Yang Menyakitkan
51
Tetangga Tampan
52
CEO Gadungan
53
Malas-Malasan Di Kantor
54
Bertemu Pelakor
55
Kedatangan Rendra
56
Cerita Desi Panjang x Lebar x Tinggi
57
Hidup Tak Seindah Yang di Bayangkan
58
Mulai Perhitungan
59
Ada Pertunjukan Hari Ini
60
Hukuman Untuk Pencuri Identitas
61
Akhir Dari Karyawan Nakal
62
Akhir Dari Maya Si Pelakor
63
Pacar Pura-Pura
64
Kabar Terbaru Ibu Bima
65
Penyesalan Yang Terlambat
66
Turut Berduka Cita
67
Aku Janda...
68
Selamat Datang di Kediaman Arsenio
69
Kapan Menikah?
70
Sebuah Panggilan Pagi
71
Keluhan Yang Tiada Henti
72
Curiga dan Mulai Gelisah
73
Siapa Pemilik Perusahaan
74
Saling Menyalahkan
75
Hancur Bersama
76
Keluarga Sat Set
77
Kejutan Untuk Desi
78
Dunia Ini Sempit
79
Mulai Posesif
80
Menikmati Momen Langka
81
Persiapan Menikah
82
Sah
83
Masakan Pertama Untuk Istri Tercinta
84
Benar-Benar Hancur
85
Acara Dansa
86
Waktu Berdua di Kamar
87
Gila, Jantungku Hampir Copot
88
Hallo Para Pembaca Setia

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!