Ambil Saja Beserta Ampas nya

Setelah puas berbelanja ponsel, skincare, dan kosmetik, Desi merasa perutnya mulai keroncongan. Ia memutuskan untuk mencari restoran yang menyajikan makanan favoritnya. Ketika matanya menangkap papan nama restoran mewah dengan interior klasik yang mengingatkannya pada kebiasaan lamanya sebagai Gendis, tanpa ragu ia melangkah masuk.

Pelayan restoran menyambutnya dengan ramah.

“Selamat siang, Nona. Selamat datang di La Cuisine. Anda ingin meja untuk berapa orang?” tanya pelayan pria muda dengan sopan.

Desi menatap pelayan itu. “Untuk satu orang saja. Aku ingin meja yang nyaman di dekat jendela,” ucapnya tegas.

Pelayan itu segera mengantar Desi ke meja yang diminta. Begitu duduk, Desi membuka menu dan mulai memilih makanan favoritnya.

“Apakah Anda sudah siap memesan, Nona?” tanya pelayan yang sama.

“Ya. Aku mau beef steak medium rare, dengan mashed potato, side salad, dan mushroom sauce. Untuk minumnya, jus anggur merah segar tanpa gula,” kata Desi tanpa ragu.

Pelayan mencatat pesanan Desi dengan cekatan. “Baik, Nona. Mohon tunggu sebentar, pesanan Anda akan segera kami siapkan.”

Namun, saat Desi menunggu, tiba-tiba terdengar suara keributan dari meja lain. Seorang pelanggan wanita muda dengan pakaian sederhana sedang berdebat dengan seorang pelayan.

“Maaf, Bu. Tapi jika Anda tidak memesan apa-apa, kami tidak bisa mengizinkan Anda duduk di sini terlalu lama,” kata pelayan dengan nada sedikit ketus.

“Tapi aku hanya ingin menunggu teman sebentar. Dia yang akan memesan nanti,” jawab wanita itu dengan suara memohon.

Pelayan tampak tidak sabar. “Aturannya tetap aturan, Bu. Kalau Anda tidak memesan, kami harus meminta Anda pergi.”

Desi yang mendengar percakapan itu mulai merasa geram. Ia tidak suka melihat seseorang diperlakukan seperti itu, terutama karena ia tahu bagaimana rasanya diremehkan. Dengan sigap, ia berdiri dan berjalan ke meja wanita tersebut.

“Ada masalah di sini?” tanya Desi dengan nada dingin, membuat pelayan yang tadi bertengkar langsung kaget.

“Ah, tidak ada, Nona. Kami hanya menjelaskan aturan restoran kepada pelanggan ini,” jawab pelayan itu sambil tersenyum kaku.

Desi menatap tajam. “Aturan apa yang membuat kalian tidak bisa bersikap sopan kepada pelanggan? Wanita ini bilang dia menunggu temannya, kan? Apa itu salah?”

“Bukan begitu, Nona. Tapi restoran kami memiliki aturan minimum order untuk semua pelanggan yang duduk,” jawab pelayan itu dengan canggung.

Desi menghela napas panjang. “Dengar, aku tidak suka melihat seseorang diperlakukan seperti ini. Kalau masalahnya adalah minimum order, tambahkan apa pun yang dia pesan nanti ke tagihanku. Aku yang bayar.”

Wanita yang tadinya duduk di meja itu terkejut. “Nona, tidak perlu. Aku tidak ingin merepotkan—”

Desi mengangkat tangan, menghentikan wanita itu berbicara. “Aku tidak peduli soal uang. Yang penting, kamu bisa duduk dengan tenang dan menunggu temanmu tanpa diganggu.”

Pelayan itu tampak bingung dan sedikit malu. “Baik, Nona. Kalau begitu, kami akan mengizinkan pelanggan ini tetap di sini. Terima kasih atas pengertiannya.”

Desi kembali ke mejanya, tetapi keributan kecil tadi membuat suasana hatinya sedikit buruk. Pelayan lain segera menghampiri untuk mengantarkan pesanan.

“Maaf atas ketidaknyamanan tadi, Nona. Kami akan memastikan layanan Anda tetap prima,” ujar pelayan itu dengan nada penuh penyesalan.

“Bagus kalau begitu. Ingat, jangan sampai ada pelanggan lain yang diperlakukan tidak adil seperti itu lagi. Pelanggan kalian membayar untuk pengalaman makan yang nyaman, bukan untuk dihakimi,” balas Desi tegas.

Pelayan itu hanya mengangguk dan segera pergi.

Setelah beberapa saat, makanan Desi datang. Steak yang empuk dengan saus jamur menggugah selera, dan jus anggur merah segar terlihat sempurna di meja. Namun, sebelum Desi sempat mencicipi makanannya, wanita yang tadi ia bantu tiba-tiba datang menghampiri.

“Maaf, Nona. Aku ingin mengucapkan terima kasih atas bantuannya tadi. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana kalau kamu tidak ikut campur,” katanya dengan suara pelan.

Desi tersenyum kecil. “Tidak perlu terima kasih. Aku hanya tidak suka melihat seseorang diperlakukan seperti itu. Duduklah dan nikmati waktumu di sini.”

Wanita itu mengangguk malu-malu sebelum kembali ke mejanya.

Desi akhirnya menikmati makanannya dengan tenang. Sambil makan, ia memperhatikan suasana restoran yang mulai kembali normal. Namun, ia tahu bahwa tindakannya tadi telah meninggalkan kesan mendalam, tidak hanya pada wanita yang ia bantu, tetapi juga pada para pelayan yang melihatnya.

Setelah selesai makan, Desi membayar tagihan dengan kartu hitamnya. Sama seperti di toko ponsel dan skincare sebelumnya, reaksi para pelayan membuatnya ingin tertawa.

“Kartu hitam? Nona ini siapa sebenarnya?” bisik salah satu pelayan.

“Mungkin dia anak sultan. Tapi gayanya sederhana banget, ya?”

Desi tidak mempedulikan bisik-bisik itu. Setelah semua tagihan selesai, ia melangkah keluar dari restoran dengan kepala tegak. Baginya, membantu orang lain adalah hal kecil yang bisa membuat dunia ini sedikit lebih baik, dan ia tidak perlu pujian untuk itu.

Sementara itu, para pelayan di restoran itu berbisik-bisik tentang Desi.

“Nona itu luar biasa, ya. Bukan hanya kaya, tapi juga peduli sama orang lain.”

“Iya. Kalau semua pelanggan kaya seperti dia, pasti restoran ini lebih damai.”

Hari itu, Desi tidak hanya memanjakan dirinya, tetapi juga memberi pelajaran berharga kepada orang-orang di sekitarnya tentang bagaimana bersikap kepada sesama.

Desi melangkah dengan percaya diri memasuki toko pakaian branded yang selama ini menjadi favoritnya. Ia tidak hanya membeli barang-barang berkualitas tinggi, tetapi juga mengagumi koleksi-koleksi terbaru yang dipajang dengan rapi di rak. Dengan cermat, ia memilih berbagai pakaian, mulai dari jaket kulit mahal hingga gaun malam yang mewah.

Pelayan toko yang melihatnya langsung mengarahkan langkahnya untuk membantu memilihkan barang, mengambilkan ukuran yang sesuai, dan mengemas pakaian-pakaian tersebut. Setelah beberapa menit, Desi selesai memilih barang-barang yang diinginkannya dan mulai berjalan menuju kasir dengan pelayan yang membawakan tumpukan pakaian.

Namun, ketika ia melangkah melewati bagian depan toko, langkahnya terhenti sejenak. Seorang wanita yang tampak agak kikuk, Maya, berdiri tidak jauh darinya dengan seorang anak laki-laki kecil yang tampaknya berusia sekitar lima tahun, yang sedang menggenggam tangan Maya. Maya melihat Desi dan menyapanya dengan senyum yang sedikit canggung.

"Oh, Mbak Desi, benar kan?" Maya berkata, mencoba memastikan nama Desi.

Desi melirik Maya dengan tatapan datar dan sedikit bingung, seolah tidak mengenalnya. "Mbak mbak, aku ini anak tunggal, gak punya adik. Apakah saya mengenalmu?" jawab Desi dengan suara datar dan dingin.

Maya terlihat sedikit kikuk mendengar ucapan itu, jelas sekali bahwa ia tidak menduga akan mendapat respon seperti itu. Namun, Maya berusaha tetap tenang dan tersenyum. "Perkenalkan, aku Maya, dan ini anakku, Abas. Teman Mas Bima," ujar Maya sambil menunjuk ke anak kecil yang ada di sampingnya.

Desi mengamati mereka sejenak tanpa menjawab. Saat Maya mengulurkan tangannya untuk bersalaman, Desi hanya menatap tangan itu sejenak, lalu beralih membuka tasnya dengan pelan, seakan tidak tertarik untuk menjabat tangan Maya. Namun, sebelum ia sempat berbicara lebih lanjut, Maya melanjutkan perkataannya dengan nada yang sedikit lebih menyindir.

"Kamu pasti senang banget, ya, dimanja Mas Bima? Membeli macam-macam barang branded seperti ini," Maya berkata sambil melirik tas-tas belanjaan yang bergelimang merek ternama. Maya tampaknya menganggap bahwa Desi pasti menikmati hidup dengan kemewahan yang diberikan oleh Bima.

Desi menyadari arah percakapan Maya yang semakin menjurus. Ia tersenyum tipis, namun tatapannya tetap tajam. Dalam hatinya, ia mulai berpikir, "Apa dia mendekati Bima karena menganggapnya kaya hanya karena menjadi kapten pemadam kebakaran? Mana ada begitu. Hmm, aku ingin coba mainkan dia sedikit. Penasaran banget dengan si pelakor ini."

Desi lalu menatap Maya dengan tatapan yang tidak bisa dibaca, lalu bergantian menatap anak Maya, Abas, yang tampaknya tidak terlalu mengerti situasi tersebut. Setelah beberapa detik yang tegang, Desi akhirnya berkata dengan suara yang begitu tenang, "Tentu saja, harus dimanjakan istrinya. Ya kali, manjain wanita lain yang nggak tahu diri di luar sana."

Maya terdiam, tidak tahu harus berkata apa, dan dalam sekejap, suasana di sekitar mereka menjadi sangat tegang. Semua orang di sekitar mereka mulai memperhatikan percakapan yang sedang berlangsung, termasuk para karyawan yang berbisik-bisik melihat keributan yang tiba-tiba terjadi.

Maya berusaha menjaga sikapnya, meskipun jelas ia mulai terganggu. "Bukankah kamu sedang hamil, Desi? Tapi kok perutmu sudah nggak buncit lagi. Apa kamu sudah melahirkan

Desi menarik napas dalam-dalam. Ia merasa amarahnya mendidih, tapi tetap memasang ekspresi tenang. "Ah, iya. Sudah lahiran," ucapnya dengan senyum sarkastik. Dalam hati, ia mengumpat, "Sudah lahiran tapi bayi itu nggak selamat bahkan ibunya juga meninggal, gara-gara kamu juga, pelakor."

Maya tersentak kaget mendengar jawaban itu. Wajahnya berubah cemas, namun ia berusaha tetap tenang. "Oh, begitu… Bukankah kamu masih tujuh bulan waktu itu?" Tanya Maya, mencoba menyelidik lebih jauh.

Desi memperhatikan Maya dengan tajam, matanya menyempit, jelas merasa tidak suka dengan pernyataan itu. "Kamu tahu banyak ya. Apa, si bekicot itu, eh, maksudku Bima, bercerita tentang aku?" Tanya Desi dengan nada yang menusuk.

Maya terkejut mendengar kata "bekicot" yang keluar dari mulut Desi, namun ia berusaha untuk tersenyum. "Oh, ya. Mas Bima sering bercerita tentangmu, Desi. Tentang bagaimana kamu hebat dan kuat. Dia sangat peduli padamu," jawab Maya, mencoba mengalihkan percakapan.

Desi terkekeh kecil, lalu mendekatkan wajahnya sedikit ke arah Maya. "Oh, begitu? Apa dia juga cerita kalau aku nggak suka pelakor?"

Maya terdiam sejenak. Ia merasa terpojok oleh pertanyaan Desi yang semakin tajam. Namun, ia berusaha tetap tegar. "Aku? Tidak. Aku hanya teman lama Mas Bima. Aku—" Maya terpotong oleh Desi yang segera menyambung.

Abas hanya menatap mereka berdua dengan bingung. Abas, yang tidak tahu apa-apa tentang percakapan ini, dengan polos bertanya. "Pelakor itu apa, Ma?"

Desi tanpa ragu menjawab dengan nada datar, "Pelakor itu perebut laki orang, nak. Yah, mirip-mirip siapa ya?" Desi menatap Maya dengan tajam, memberikan perasaan yang sangat menyakitkan bagi wanita itu.

Suasana di sekitar mereka semakin tegang. Para karyawan dan pelanggan mulai memperhatikan dengan cemas. Bisikan mulai terdengar di antara mereka. Mereka menyaksikan pertengkaran yang semakin memanas antara Desi dan Maya, namun Maya tidak tahu harus berbuat apa selain merasa malu.

"Apa maksudmu, Mbak Desi? Apa kamu menyindirku? Aku bukan pelakor, ya!" Maya membalas, kini nada suaranya penuh kemarahan.

Desi tertawa pelan, melirik para karyawan yang menonton dari jauh. Dengan suara lantang, ia bertanya, "Hah, apakah aku menyebut namamu sebagai pelakor? Apakah iya, Mbak-Mbak di sini, apa kalian mendengar aku menyebut nama wanita ini, Maya sebagai pelakor?"

Para karyawan yang sedari tadi mengamati percakapan menggelengkan kepala serempak, wajah mereka menunjukkan ekspresi penuh rasa penasaran dan keterkejutan.

Desi mengangguk puas, menatap Maya lagi. "Nah, kau sudah dengar jawabannya. Kecuali... kau memang mau mengakuinya sendiri, sih."

Maya tampak marah besar, wajahnya memerah, dan tangannya mengepal erat. "Desi! Akan aku adukan ini pada Mas Bima!" seru Maya dengan suara tinggi, lalu menggandeng Abas dan bergegas pergi.

Namun, sebelum Maya benar-benar meninggalkan toko, Desi berteriak lantang, "Ih, takut banget aku! Adukan saja, sana!"

Maya berhenti sejenak, menoleh dengan wajah kesal, tetapi Desi tidak peduli. Ia malah melanjutkan, suaranya semakin frontal. "Ambil aja Bekecot itu, sekalian ambil semua ampas-ampasnya! Orang kere juga diributin. Aku mah nggak peduli."

Para pelanggan dan karyawan di toko itu ternganga, tidak percaya dengan ucapan Desi yang begitu blak-blakan. Suasana toko menjadi semakin riuh dengan bisikan orang-orang yang membicarakan apa yang baru saja terjadi.

Desi sadar bahwa ia menjadi pusat perhatian, tetapi ia tetap santai. Dengan tenang, ia mengeluarkan kartu hitamnya dan menyerahkannya pada kasir, seolah menunjukkan bahwa semua ini tidak ada artinya baginya.

Kasir yang masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi hanya bisa menerima kartu itu dengan tangan gemetar. Para karyawan lainnya tampak saling berbisik, membicarakan keberanian Desi yang melontarkan ucapan tanpa filter.

Setelah membayar, Desi berjalan keluar toko dengan kepala tegak, meninggalkan jejak percakapan yang akan menjadi bahan gosip selama berminggu-minggu di tempat itu. "Kalau dia pikir bisa mengalahkanku, dia salah besar," gumam Desi sambil tersenyum sinis.

Terpopuler

Comments

Nor Azlin

Nor Azlin

sangat keren deh bagus banget hepaskan aja dasar pelakor murahan menggunakan anak sebagai tameng buat menjerat si bego Bima yah ...mau mempermalukan Desi malah dia yang malu mau ngadu adu aja nanti Bima yang akan kena kembali dengan si Desi ...kamu ingat yah Desi sekarang bukan yang lama Desi sekarang adalah Desi yang penuh dengan wawasan baru yah ...mau ngadu Desi berbelanja banyak barang sama Bima bukan uwang bima juha si Desi pake bego nya kamu itu ...kamu itu siapa nya Bima kamu pikir si Desi heran enggak sama sekali yah mau cerai lagi ada nah kamu kutip lah sampah yang dibuang oleh Desi mana tau barang rongsongan seperti Bima cocok buat kamu ...lanjutkan thor

2025-02-02

0

Ma Em

Ma Em

Bagus Desi kasih pelajaran untuk pelakor Maya buat dia malu emang benar sikap tegas Desi hrs dilakukan agar tdk ada pelakor2 lain tapi untuk si Bima ceraikan Bima secepatnya

2025-01-21

0

Mutiara Nisak

Mutiara Nisak

ternyata e ternyata . si bekicot cmn nempel doang,pantes aja d suruh ambil beserta ampas nya....klo g sekalian d ambil kan,malah bikin jijoy sm orang yg liat....ada2 aja mak bahasamu.....

2025-01-21

0

lihat semua
Episodes
1 Reruntuhan Bangunan Vs Reruntuhan Hati
2 Operasi Darurat Yang Mencekam
3 Begadang Nonton Drama Korea
4 Harus Menerima dan Terus Berjalan
5 Bukan Sembarang Orang
6 Bukan untuk Nostalgia
7 Niat Menjual Rumah
8 Lupa Dengan Prioritas
9 Berbohong dan Ke Egoisan Bima
10 Mimpi dan Kenyataan
11 Mencari Keberadaan Desi
12 Plin Plan dan Tidak Berpendirian
13 Bermimpi Bertemu Brian Arfi
14 Pikiran yang Berkecamuk
15 Di Cuekin Emang Enak
16 Oh O.. Kamu Ketahuan..
17 Kemarahan dan Penyesalan
18 Trauma Butuh Ditemani Suami
19 Heboh Heboh Heboh
20 Ambil Saja Beserta Ampas nya
21 Bertemu Keluarga Benalu
22 Keluarga yang Menarik
23 Berbohong Demi Reputasi
24 Mau Jadi Anak Durhaka
25 Menikahlah Dengan Pilihan Mama
26 Sudah Selama Itu Ternyata
27 Cari Yang Lain Aja Sih
28 Jauh Jauh dari Hidupku
29 Hallo Tampan
30 Penyakit Langka
31 Penthouse Hunian Milik Desi
32 Bertemu Lagi...
33 Kekesalan Gabriel
34 Lelah Hati, Fikiran dan Fisik
35 Kedatangan Maya dan Abas
36 Mulai Rileks Bersama Mereka
37 Cerita Dalam Lift
38 Cerita Berlanjut....
39 Aku Punya Kejutan Istimewa
40 Bukan Na Hee Do
41 Kebohongan Terungkap
42 Kejutan Yang Tak Terduga
43 Kekecewaan Yang Besar
44 Senyuman Mahal Gabriel
45 Drama Asyik Di Pagi Hari
46 Kenyataan Pahit
47 Bebas.. Cheers
48 Sebenarnya Kau Siapa
49 Semua Salahmu Sendiri
50 Kenyataan Yang Menyakitkan
51 Tetangga Tampan
52 CEO Gadungan
53 Malas-Malasan Di Kantor
54 Bertemu Pelakor
55 Kedatangan Rendra
56 Cerita Desi Panjang x Lebar x Tinggi
57 Hidup Tak Seindah Yang di Bayangkan
58 Mulai Perhitungan
59 Ada Pertunjukan Hari Ini
60 Hukuman Untuk Pencuri Identitas
61 Akhir Dari Karyawan Nakal
62 Akhir Dari Maya Si Pelakor
63 Pacar Pura-Pura
64 Kabar Terbaru Ibu Bima
65 Penyesalan Yang Terlambat
66 Turut Berduka Cita
67 Aku Janda...
68 Selamat Datang di Kediaman Arsenio
69 Kapan Menikah?
70 Sebuah Panggilan Pagi
71 Keluhan Yang Tiada Henti
72 Curiga dan Mulai Gelisah
73 Siapa Pemilik Perusahaan
74 Saling Menyalahkan
75 Hancur Bersama
76 Keluarga Sat Set
77 Kejutan Untuk Desi
78 Dunia Ini Sempit
79 Mulai Posesif
80 Menikmati Momen Langka
81 Persiapan Menikah
82 Sah
83 Masakan Pertama Untuk Istri Tercinta
84 Benar-Benar Hancur
85 Acara Dansa
86 Waktu Berdua di Kamar
87 Gila, Jantungku Hampir Copot
88 Hallo Para Pembaca Setia
Episodes

Updated 88 Episodes

1
Reruntuhan Bangunan Vs Reruntuhan Hati
2
Operasi Darurat Yang Mencekam
3
Begadang Nonton Drama Korea
4
Harus Menerima dan Terus Berjalan
5
Bukan Sembarang Orang
6
Bukan untuk Nostalgia
7
Niat Menjual Rumah
8
Lupa Dengan Prioritas
9
Berbohong dan Ke Egoisan Bima
10
Mimpi dan Kenyataan
11
Mencari Keberadaan Desi
12
Plin Plan dan Tidak Berpendirian
13
Bermimpi Bertemu Brian Arfi
14
Pikiran yang Berkecamuk
15
Di Cuekin Emang Enak
16
Oh O.. Kamu Ketahuan..
17
Kemarahan dan Penyesalan
18
Trauma Butuh Ditemani Suami
19
Heboh Heboh Heboh
20
Ambil Saja Beserta Ampas nya
21
Bertemu Keluarga Benalu
22
Keluarga yang Menarik
23
Berbohong Demi Reputasi
24
Mau Jadi Anak Durhaka
25
Menikahlah Dengan Pilihan Mama
26
Sudah Selama Itu Ternyata
27
Cari Yang Lain Aja Sih
28
Jauh Jauh dari Hidupku
29
Hallo Tampan
30
Penyakit Langka
31
Penthouse Hunian Milik Desi
32
Bertemu Lagi...
33
Kekesalan Gabriel
34
Lelah Hati, Fikiran dan Fisik
35
Kedatangan Maya dan Abas
36
Mulai Rileks Bersama Mereka
37
Cerita Dalam Lift
38
Cerita Berlanjut....
39
Aku Punya Kejutan Istimewa
40
Bukan Na Hee Do
41
Kebohongan Terungkap
42
Kejutan Yang Tak Terduga
43
Kekecewaan Yang Besar
44
Senyuman Mahal Gabriel
45
Drama Asyik Di Pagi Hari
46
Kenyataan Pahit
47
Bebas.. Cheers
48
Sebenarnya Kau Siapa
49
Semua Salahmu Sendiri
50
Kenyataan Yang Menyakitkan
51
Tetangga Tampan
52
CEO Gadungan
53
Malas-Malasan Di Kantor
54
Bertemu Pelakor
55
Kedatangan Rendra
56
Cerita Desi Panjang x Lebar x Tinggi
57
Hidup Tak Seindah Yang di Bayangkan
58
Mulai Perhitungan
59
Ada Pertunjukan Hari Ini
60
Hukuman Untuk Pencuri Identitas
61
Akhir Dari Karyawan Nakal
62
Akhir Dari Maya Si Pelakor
63
Pacar Pura-Pura
64
Kabar Terbaru Ibu Bima
65
Penyesalan Yang Terlambat
66
Turut Berduka Cita
67
Aku Janda...
68
Selamat Datang di Kediaman Arsenio
69
Kapan Menikah?
70
Sebuah Panggilan Pagi
71
Keluhan Yang Tiada Henti
72
Curiga dan Mulai Gelisah
73
Siapa Pemilik Perusahaan
74
Saling Menyalahkan
75
Hancur Bersama
76
Keluarga Sat Set
77
Kejutan Untuk Desi
78
Dunia Ini Sempit
79
Mulai Posesif
80
Menikmati Momen Langka
81
Persiapan Menikah
82
Sah
83
Masakan Pertama Untuk Istri Tercinta
84
Benar-Benar Hancur
85
Acara Dansa
86
Waktu Berdua di Kamar
87
Gila, Jantungku Hampir Copot
88
Hallo Para Pembaca Setia

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!