Bima masih menunggu dan mendengarkan setiap kata dari istrinya.
“Kau tahu, Bima? Aku berada di reruntuhan, mencoba menjaga agar anak kita tidak kenapa-kenapa.” Suara Desi bergetar, matanya mulai memerah karena menahan tangis. “Tapi apa yang kulihat? Kau di sana, menyelamatkan Maya dan anaknya. Kau mencoba menenangkan mereka, melindungi mereka, seolah-olah mereka adalah keluargamu. Apa kau sadar bagaimana rasanya melihat itu?”
Dalam hati Desi berkata, "Oh air mata, keluarlah setidaknya agar bisa meyakinkan acting ku ini."
Bima menggigit bibirnya, tangan gemetar. Ia ingin menjawab, tapi Desi tidak memberinya kesempatan.
“Ketika telfon itu masih berjalan,” lanjut Desi dengan suara yang semakin meninggi. “Aku sangat berharap, setidaknya kau akan menenangkanku juga. Tapi apa yang kau lakukan? Kau tidak mendengarkan. Kau hanya melemparku ke temanmu, meminta mereka yang menolongku. Bahkan tidak ada satu pun kata penghiburan seperti yang Maya dapatkan darimu! Kau langsung menutup telepon itu, membiarkan aku tetap berada di reruntuhan!”
Desi mendekatkan diri ke Bima, matanya menatap tajam seolah ingin menusuk jantungnya. “Begitu maksudmu, Bima? Begitu caramu menunjukkan bahwa aku ini istrimu? Begitu caramu menunjukkan bahwa aku ini penting bagimu?”
Bima menggeleng pelan, mencoba membela diri. “Desi, aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya...”
“Kau hanya apa, Bima?” potong Desi dengan nada sarkastik. “Kau hanya menjalankan tugasmu? Kau hanya ingin menyelamatkan mereka? Lalu aku? Bukankah aku juga butuh diselamatkan?”
“Aku tidak tahu bahwa kau...” Bima mencoba berbicara, tapi Desi memotongnya lagi.
“Tidak tahu?” tanya Desi, suaranya bergetar antara marah dan terluka. “Tidak tahu? Jangan bercanda, Bima. Aku menelponmu! Aku berteriak memanggil namamu! Aku memohon agar kau datang menyelamatkanku. Tapi kau memilih mereka. Kau memilih Maya dan anaknya, Bima. Dan aku dibiarkan di sana, sendirian, menghadapi maut!”
"Aish ini air mata kenapa gak keluar si?" ucapnya dalam hati. Lalu ia mencoba mencubit lengannya dengan keras dan menahan teriakannya. Tak lama keluarlah air matanya, bukan karena perkataannya untuk Bima, tapi karena cubitannya benar-benar sakit.
“Kau tahu apa yang paling menyakitkan?” lanjut Desi, kali ini dengan suara yang lebih pelan tapi penuh emosi. “Aku tidak hanya merasa dikhianati sebagai istrimu. Aku juga merasa dikhianati sebagai ibu dari anak kita. Kau bahkan tidak peduli dengan nyawa anak kita yang ada di dalam rahimku. Apa salahku, Bima? Apa salah anak kita, sehingga kau begitu tega mengabaikan kami?”
Bima bangkit dari duduknya, mencoba mendekati Desi. “Sayang, aku benar-benar minta maaf. Aku tahu aku salah. Aku menyesal. Tapi saat itu aku...”
Desi mundur, mengangkat tangannya agar Bima tidak mendekat. “Jangan mendekat, Bima. Aku tidak ingin mendengar alasanmu lagi. Tidak ada alasan yang bisa membenarkan apa yang kau lakukan.”
“Tolong, Desi,” Bima memohon. “Berikan aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku tidak ingin kehilanganmu.”
Desi tertawa kecil, tapi tawa itu penuh kepahitan. “Kesempatan? Kau ingin kesempatan? Kau pikir aku bisa melupakan semua ini begitu saja? Kau pikir aku bisa berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja? Tidak, Bima. Tidak.”
Bima terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa menghapus luka yang telah ia torehkan di hati Desi.
“Sekarang, dengarkan aku baik-baik, Bima,” ucap Desi, nadanya tenang, tapi penuh ancaman yang dingin menusuk. “Aku mungkin tidak akan meninggalkanmu sekarang. Tapi jangan harap aku akan melupakan apa yang kau lakukan. Jangan harap aku akan menjadi istri yang sama seperti dulu. Karena mulai hari ini, aku akan hidup untuk diriku sendiri. Bukan untukmu.”
Kata-kata Desi itu seperti cambuk yang menghantam Bima. Ia terdiam beberapa saat, tak tahu harus bereaksi bagaimana. Tapi, seketika itu juga, ia langsung berlutut di hadapan Desi, memeluk kakinya erat, seolah-olah itu adalah harapan terakhirnya untuk memperbaiki segalanya.
“Aku menyesal, Desi... Aku sungguh menyesal. Tolong beri aku kesempatan. Aku hanya ingin tahu...” suaranya parau, penuh keraguan. “Bagaimana dengan bayi kita? Iya.. Bagaimana dengan kandunganmu?”
Desi mendengarnya, tapi ia hanya tertawa kecil, bukan tawa bahagia, melainkan tawa penuh kepahitan. Ia menatap Bima yang masih memeluk kakinya, lalu berkata dengan sinis, “Kau baru bertanya tentang bayi kita sekarang? Apakah sekarang Kau buta, Bima? Tidak melihat kenapa aku tidak memakai daster lagi seperti dulu?”
"Heh, laki ini. Aku percaya, paling juga besok kembali membuat ulah bersama cinta pertama nya. Aku telah banyak menonton drama Korea yang seperti ini, paling ujung ujungnya balikan dan kasian lagi sama cinta pertamanya. Huft, hidup Desi penuh dengan drama... Oh tuhan, hilangkan lah laki-laki dihadapanku ini." ucap Desi dalam hati.
Bima tertegun, mendongak ke arah Desi, lalu menatap perutnya. Ia baru menyadari bahwa perut Desi yang dulu membuncit kini sudah rata. Tatapannya berubah menjadi panik, matanya membelalak penuh ketidakpercayaan.
“Kemana... kemana bayi kita, Desi?” tanyanya dengan suara yang mulai gemetar.
Desi menatap Bima dengan dingin. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Bima, lalu berbisik tajam, “Anak kita, anak kita, anak kita... Kenapa kau baru sadar punya anak dari ku? Kemaren kemana aja? Cukup bersenang senang dengan cinta pertama mu kah? Apakah sudah selesai bernostalgia?”
Bima mundur sedikit, bingung dengan nada sarkasme Desi. “Sayang, kenapa kamu berkata begitu? tolong jangan bercanda soal ini. Aku serius. Kemana bayi kita?”
Desi menegakkan tubuhnya, menatap Bima dengan penuh amarah yang tersimpan selama ini. “Kau masih tidak tahu, Bima? Baiklah, biar aku beri tahu kau satu hal yang sudah lama ingin kusampaikan. Anak mu sudah mati. Kau dengar itu? Sudah MATI.” Kata terakhir itu ia tekan dengan nada penuh kebencian.
Bima terpaku, tubuhnya luruh ke lantai. Ia menggenggam erat rambutnya sendiri, seolah tidak percaya apa yang baru saja ia dengar. “Tidak mungkin... Kamu pasti bohong, kan? Anak kita... dia tidak mungkin meninggal, Desi.”
"Nah kan, lu frustasi sendiri? Kapok lu mas mas, heh. Beruntung aku meminta Desi untuk tidak memberikan rasa nya sebelum dia pergi. Kalau tidak, aku ikut gila hidup di kehidupan kedua ku ini." ucap Desi tersenyum puas melihat Bima yang terlihat menyesal.
Desi mendengus, menatap Bima dengan jijik. “Bohong? Aku? Untuk apa aku berbohong, Bima? Kau pikir aku punya alasan untuk menyembunyikan hal ini darimu? Kau ini bodoh atau bagaimana?”
“Tapi... bagaimana bisa?” Bima berusaha mencari jawaban, suaranya bergetar, seperti seorang anak kecil yang baru kehilangan mainannya.
"Bagaimana bisa? bego ni orang bilang bagaimana bisa." ucap Desi dalam hati yang dongkol dengan Bima.
Desi menggelengkan kepala. Tapi bukan karena kesedihan, melainkan kemarahan. “Bodoh kau bertanya bagaimana bisa padaku? Kau tahu, Bima, ketika aku terhimpit bangunan itu, aku berusaha keras melindungi bayi kita. Aku bahkan tidak peduli jika aku harus mati, asalkan dia selamat.”
Bima menatap Desi dengan sorot mata penuh penyesalan. “Aku... aku tidak tahu... Aku benar-benar tidak tahu...”
Desi mendekatkan diri ke arah Bima lagi, menatapnya tajam seperti silet. “Jelas kau tak tahu, karena kau tak pernah menghampiri istrimu, kau tidak ada di sana. Kau tidak melihat bagaimana aku berusaha bertahan. Karena kau sibuk dengan mereka, memberikan mereka rasa aman, sementara aku hanya bisa berharap.”
“Desi, tolong jangan bilang begitu... Aku...”
“Diam, Bima!” Desi membentaknya, membuat Bima semakin terkejut. “Aku mengalami pendarahan di sana. Kau tahu kapan? Tepat setelah kau menutup teleponku waktu itu. Ya, waktu itu aku masih mencoba percaya padamu. Aku pikir, meski kau egois, setidaknya kau peduli pada anak kita. Tapi tidak. Mungkin bayi itu tahu, kalau dia tidak ingin hidup dengan ayah seperti dirimu. Makanya dia menyerah.”
Kata-kata Desi itu menghantam Bima seperti pukulan bertubi-tubi. Ia jatuh terduduk, menatap kosong ke lantai. Air mata mulai mengalir di pipinya.
“Desi... Aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak pernah berniat...” suaranya hampir tidak terdengar.
“Terlambat, Bima. Semua sudah terlambat.” Desi berbalik, berjalan menuju tangga, meninggalkan Bima yang terpuruk di ruang keluarga.
“Desi, tunggu!” Bima mencoba mengejar, tapi langkahnya terasa berat. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia hanya bisa duduk di sana, menangisi kesalahannya sendiri, berharap bahwa waktu bisa diputar kembali. Tapi semuanya sudah terlanjur hancur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Kamiem sag
thor aku pingin nabok jambak nyakar nendang mukul menerjang Bima bodoh itu sampai terkapar thor kapan bisa direalisasikan
tolong ya thor gak pakek lama thor emisiku sudah keluar dari ubun ubun nih
2025-03-04
7
🦆 Wega kwek kwek 🦆
aku pernah nonton drama chins pendek yg cerita nya mirip gini ,,, emosi aku nonton nya pengen aku cakar2 lakinya ,😤😤😤😤 sekarang jadi emosi lagi nih ,,,, Bima 🖕😤,
2025-02-03
0
Anonymous
emosinya dapet bgt, aku sampe nangis bacanya/Cry/
2025-01-20
0