Diskusi kami kemarin membawa aku, Tengku, dan Grisel mendatangi kelas X-1 yang terkenal sebagai tempat bermukimnya profesor-profesor yang ada di sekolah kami. Rata-rata anak-anak di sana berkacamata, agak terbelakang mengenai tren fashion, hal-hal yang viral di internet, dan dari jauh saja kelasnya tampak membosankan. Kami bertiga tengah berdiri di luar saat seorang gadis yang tampak jutek keluar dari kelas tersebut.
"Permisi," sapa Grisel dengan nada sopan dan membuat gadis itu berpaling melihatnya, kemudian satu per satu mengamati aku dan Tengku. "Di dalam ada Jay gak? Kalau ada boleh tolong dipanggilin."
Tatapan cewek itu seolah tanpa minat. "Bentar ya saya liat dulu," katanya, lalu melongok ke dalam beberapa saat sebelum kembali pada Grisel. "Itu ada di kursinya. Kalian masuk ajalah. Gak apa-apa kok." Kemudian ia mendahului kami untuk masuk ke dalam selepas membuang sampah yang dibawanya.
"Dingin banget." Komentar itu berasal dari Tengku yang wajahnya tampak cemberut. Mungkin dia tidak terbiasa mendapati cewek jutek yang tak mempan akan pesonanya, pasalnya tadi kulihat ia sudah pasang senyum lebar-lebar saat si cewek menoleh padanya. Dugaanku: dia pasti kesal.
Kami bertiga masuk ke dalam kelas yang ternyata hanya ada beberapa anak saja di dalamnya. Cowok incaran kami, seperti yang dijelaskan Tengku sebelumnya, tampak cupu dengan kacamata bingkai emas yang kelihatan antik. Jelas sekali dia punya selera yang aneh untuk anak muda. Meski kini tengah jam istirahat, cowok itu masih sibuk dengan buku-bukunya sambil sesekali memasukkan potongan apel ke dalam mulut.
Tanpa aba-aba aku dan Grisel langsung duduk di kursi di depannya, sementara Tengku memilih kursi di samping cowok itu yang kini tampak kebingungan. "Kalian siapa?" tembaknya dengan wajah kaku tanpa senyum.
"Kita Deterjen, detek..." Kusumpal mulut Tengku dengan tempat tisu yang tadinya tergeletak di atas meja Jay, bermaksud menghentikan ocehan tak pentingnya yang pasti dapat menurunkan gengsi kami bersama. Tak bisa kubayangkan jika dia berkoar-koar mengenai grup yang semena-mena ia buat.
"Kami mau nanya beberapa hal, Jay," jelas Grisel yang sepertinya adalah orang paling bijak dan dewasa di antara kami.
Sayangnya, cowok itu bukan jenis manusia ramah yang menanggapi ucapan Grisel---yang dibarengi dengan tebaran senyum---dengan baik. "Kalian mau nanya apa? Cepat, waktuku gak banyak."
Karena kesal aku pun menatap cowok itu tajam. Memangnya hanya dia saja yang bisa bertindak begitu. "Kita mau nanya tentang Nixie."
Perubahan raut mukanya yang kelihatan terkejut tak membuatku bingung. Tentu dia tak akan pernah menyangka bahwa akan ada gerombolan gila yang menginterogasinya mengenai gadis yang ia suka. "Sebenarnya kalian siapa? Kenapa tiba-tiba mau nanya-nanya tentang Nixie?" tanyanya defensif.
"Bukan siapa-siapa, lo gak perlu tau siapa kami." Tengku berlagak sok misterius. "Lo cuma perlu jawab pertanyaan aja. Udah gitu doang. Bos, tanya!"
Kuberi si tukang perintah itu pelototan tidak terima, tapi nyatanya aku tetap melakukan apa yang ia suruh. "Di hari kematian Nixie mulai dari jam enam sore, lo ada di mana?" Biasanya, ekskul-ekskul di sekolah kami berakhir pada jam segitu. Dari penuturan teman satu klubnya, Nixie terakhir kali terlihat sehabis kegiatan klub (info ini juga kami dapat dari Tengku yang memborbardir Cynthia dengan banyak pertanyaan, tapi sepertinya gadis itu tak curiga apa pun sebab Tengku memang tukang gosip).
Tak kusangka cowok itu malah tertawa ngakak. Aku jelas kaget, begitu pun dengan Tengku yang memandangi cowok itu aneh, serta Grisel yang menampilkan muka tidak enak.
"Kalian mau nuduh aku sebagai tersangka pembunuhan itu?"
"Kenapa kamu bisa berpikir itu pembunuhan?" desak Grisel.
"Semua orang yang berotak pasti berpikir bahwa ini pembunuhan. Cewek secemerlang Nixie mana mungkin tiba-tiba bunuh diri. Tapi orang-orang terlalu goblok dengan langsung mengasumsikan dia begitu."
"Lo sendiri bisa berpendapat demikian pasti ada alasan lainnya kan, selain karena dia cewek cemerlang dan sebagainya?"
Ia memandangiku kemudian ngakak kembali dengan suara yang lebih kencang, menampilkan deret gigi putih dan rapi yang rasanya agak terlalu besar untuk ukuran gigi manusia. Anak-anak lain di sekeliling kami pun jadi tertarik untuk memberi atensi pada kelompok kami. "Kau lagi berusaha dapat keuntungan dariku, hm? Aku gak bakal jawab pertanyaan dari orang-orang aneh kayak kalian. Sebaiknya kalian pergi, aku masih banyak tugas." Detik berikutnya, selepas ia mengatakan hal itu, sepertinya akan menjadi kejadian yang cukup memorable---tapi tentu memberi kesan negatif---untuk Jay, mengingat Tengku langsung mengaitkan lengan kirinya ke leher cowok itu. Ia tampak kepayahan dengan mulut yang mengeluarkan suara tercekik.
Aku dan Grisel sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda ingin menghentikan, sebab diam-diam aku cukup menikmatinya. Habisnya, cowok itu menjengkelkan sekali. Aku sedari tadi juga cukup tergoda untuk memiting lehernya setiap kali ia tertawa ngakak tidak jelas. Grisel pun aku rasa demikian. Ia diam saja, walau akhirnya bergerak untuk menghentikan perbuatan Tengku juga. "Udah, Li, kayaknya sekarang dia gak bakal ngeyel lagi."
Aku menahan tawa mendengar ucapan gadis itu yang menandakan ia tak keberatan berbuat kasar asal keinginannya terpenuhi. Sudah kuduga cewek ini tak seperti cewek-cewek manis pada umumnya.
Jay menghirup oksigen agak rakus selepas dilepas oleh Tengku. "Kalian gila! Kalian mau bunuh aku, ya!"
"Makanya jangan bikin orang palak. Memang sengaja carik perkara kau!" cerocos Tengku dengan bahasa dan logat khas anak-anak Medan.
Jay mendelik, tapi tak ayal ia keder dengan tingkah barbar Tengku. "Aku gak tau apa-apa."
"Yakin?" selidikku sambil melipat tangan dan mengangkat sebelah alis (memangnya Tengku saja yang bisa berlagak sok keren).
"Jujur aja, Jay. Kalau kamu gak jawab-jawab, ke depannya aku gak bisa jamin nasib kamu bakal baik-baik aja. Karena aku sendiri gak yakin mereka berdua akan diam aja selepas ini."
Lagi-lagi aku menahan tawa mendengar ucapan bernada lembut dan sopan milik Grisel. Siapa pun yang mendengar pasti tak akan merasa jika dirinya tengah diancam, melainkan sebuah saran terbaik untuk dilakukan.
"Aku berasumsi ini pembunuhan memang cuma karena dia cewek yang gak mungkin ngelakuin itu. Kalian pasti udah dengar aku dekat sama dia, kan? Makanya kalian bisa datengin aku begini dan nanya-nanya dengan semena-mena."
Aku tersenyum kecut di tempatku melihat ia yang menatap kami satu per satu dengan sinis.
"Tapi memang hari itu Nixie nampak aneh. Aku sempat ngeliat dia kayak orang linglung di koridor dekat perpustakaan. Terus waktu aku tepuk bahunya dia langsung kaget gitu."
"Ngapain kamu ke gedung eksul?" tanya Grisel.
"Masa kalian gak tau?" Dia mulai tertawa-tawa lagi, tapi dengan suara lebih pelan. "Aku kan hobi ke perpus."
Benar juga. "Udah gitu doang?" tandasku dengan nada mencemooh yang membuatnya langsung pasang tampang bete. Sudah kuduga ia akan terpancing jika direndahkan.
"Kalian gak bakal sangka apa yang aku temuin setelahnya. Jalang busuk itu... maksudku Nixie pergi ke ruang IT dan ketemu sama seorang cowok."
"Siapa?" Air muka Tengku jelas sekali sangat kepo, tapi saat Jay menoleh padanya, ia buru-buru memasang tampang cool.
Tangan Jay bergerak mengambil ponselnya yang tergeletak di meja, lalu beberapa saat kemudian, ia menunjukkan sebuah foto pada kami. Seorang laki-laki dan perempuan yang tengah... berciuman.
Di sampingku Grisel tampak terganggu sekali dengan foto itu, mungkin ia adalah jenis cewek polos yang tidak pernah melihat adegan begitu. Sementara aku... Begitu deh, tak usah dijelaskan. Wajar kan kalau orang pacaran mencium pacarnya. Dan dulu aku punya banyak.
🌹🌹🌹
Sincerely,
Dark Pappermint
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
novita setya
q curiga sm othornya..pasti dy dalang semua kejadian di novel ini..hayooo ngaku kak othor🤣😁
2021-08-15
1
Susi Iskandar
makanya jay jangan bikin orang palak. 😂😂😂...
2021-03-27
2
Dwi Sari
aku curiga sama otorrr..
2021-02-27
1