Aku membawa langkah kakiku melewati koridor penghubung, menaiki undakan demi undakan tangga sampai tiba di lantai tiga yang sunyi. Pada hari biasa juga gedung ekstrakurikuler relatif sepi, tapi jelas sekali tak sesunyi hari ini. Pada lorong di depanku, aku tak melihat seorang manusia pun di sana (aku tak tahu kalau ada makhluk tak kasat mata).
Saat tiba di perpustakaan aku masih bersyukur karena Bu Bertha tetap stand by di kursinya pada meja administrasi. Ia melirik sedikit padaku lalu kembali menunduk mengurusi pekerjaannya. Aku tak lagi peduli dan memilih berjalan-jalan di sekitar TKP. Jelas police line yang kemarin dipasang telah dibuka, menandakan tim Puslabfor telah selesai melakukan olah TKP, yang kuasumsikan tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.
Apa cuma aku yang merasa ini tidak wajar?
Mataku menangkap sesosok bayangan di balik salah satu rak buku.
Jadi ada orang lain di sini?
Aku cukup kaget. Soalnya kukira di sini tak ada orang lain selain aku dan Bu Bertha. Ternyata masih ada orang yang berani kemari selepas kejadian kemarin. Aku mendekati bayangan itu dan tersentak saat kudengar pergerakan yang mendekatiku. Seorang gadis berambut gelap sebahu menatapku heran. Matanya berbentuk seperti buah kenari dengan manik berwarna hitam pekat. Lalu ada pula hidung mancung dan bibir mungil yang merona. Kulit putihnya sedikit menggelap sebab, mungkin saja, dia hobi berpanas-panas ria. Tubuhnya tegap dan tinggi dengan rasa kepercayaan diri yang terasa begitu kuat.
"Grisel!" Aku lebih tersentak lagi mendengar suara cempreng seseorang dari belakangku. Aku menoleh dan menemukan Tengku dengan wajah semringah tengah berjalan hendak melewatiku.
"Kamu gak takut ke sini sendirian?" tanyanya sok akrab. Aku benar-benar takjub dengan kemampuan sosialisasi anak ini.
"Buat apa takut. Kamu sendiri ngapain di sini?"
"Oh." Tengku berbalik menatapku. Sejenak kukira aku akan diperkenalkan pada gadis cantik itu, ternyata aku salah besar saat Tengku berbalik lagi dan mengabaikanku. "Aku ngikutin cowok di belakangku ini. Kayaknya dia pengen banget jadi Sherlock Holmes atau Hercule Poirot gitu," kelakar Tengku tanpa peduli pada imejku.
Cewek yang dipanggil Grisel itu tertawa. "Dia kepingin jadi detektif yang ngusut kasus bunuh diri Nixie?"
"Iya, dia juga dapet..." Langsung kubekap mulut lemas gossip boy ini sebelum ia bicara macam-macam. Tak lupa kuberi ia pelototan sebagai peringatan. Saat Tengku mengangguk, baru kulepaskan bekapan tanganku di mulut baunya.
"Sial lo, Bos. Tangan lo basah tau gak. Lo dari mana sih? Jangan bilang dari toilet, ya?"
Bisa tidak sih bocah ini tutup mulut dan berhenti mempermalukanku! "Jangan ngomong sembarangan!"
"Tapi mulut gue jadi sepet ini," ocehnya semakin menjadi-jadi.
Tiba-tiba muncul keinginan kuat untuk memiting leher Tengku sampai mengeluarkan bunyi retakan tulang-tulang lehernya yang kupatahkan, tapi tidak. Entah mengapa aku ingin menjaga sikap di depan cewek yang kini tengah memasang senyum geli itu.
"Mungkin lo lupa sikat gigi."
"Enak aja. Cowok ganteng tuh kudu wangi. Bisa mubajir kegantengan gue kalo dibarengi dengan bau badan."
Ucapan Tengku memang terkesan terlalu meninggi, tapi meski aku menolak untuk mengakui ini terang-terangan, aku akan mengakuinya di sini bahwa: Tengku itu memang ganteng. Bukan sekadar ganteng, melainkan ganteng banget. Sudah pernah kubilang kan wajahnya kinclong, tapi hal itu tak membuatnya kelihatan cantik, justru wajahnya terlihat tegas dengan rahang keras, alis tebal, mata indah dengan bulu mata lentik, dan hidung mancung yang proposional. Badannya juga jangkung, walau cowok ini tak lebih tinggi dariku. Yang disayangkan hanya tubuhnya rada kerempeng, juga sifatnya yang cenderung konyol dan tidak punya wibawa.
Tengku adalah tipe cowok ganteng yang menjatuhkan harga dirinya sendiri.
"Kamu selalu bawa-bawa muka ganteng terus ya, Li?"
"Li?" ulangku tak mengerti. Baru kemudian tersadar kalau namanya Ali. Sementara itu, Tengku tengah memasang wajah penuh cengiran sambil menaikkan sebelah alisnya. "Grisel manggil gue dengan sebutan istimewa. Dia manggil gue, Ali."
Aku berdecih. "Bukannya semua orang manggil lo gitu." Malah jika dipikir-pikir aku yang memanggilnya dengan sebutan berbeda.
"Kalo Grisel yang manggil jadi istimewa." Ia menoleh pada Grisel. "Apalagi kalo ditambahi jadi Ali Sayang."
Aku berlagak seperti mau muntah. Sebenarnya siapa sih cewek ini? Apa mereka pacaran?
"Cukup Ali aja, ya!"
Aku tak bisa menyembunyikan tawaku.
"Yah, Sel, gak ada bedanya kamu sama emakku di rumah dong."
Aku tak menghiraukan lagi percakapan kedua orang itu dan berbalik. Tanganku bergerak menyusuri rak-rak yang menyimpan berbagai macam buku, lalu kembali lagi ke tempat Nixie gantung diri.
Sebenarnya apa yang aku harapkan di sini? Dengan mendatangi tempat ini tak akan mengembalikan Nixie sehingga aku bisa bertanya mengenai tingkahnya hari itu. Atau menanyai apakah dia yang mengirimkan surat tidak jelas itu padaku. Jelas sekali aku datang kemari dengan harapan mendapat petunjuk tentang kematiannya. Aku tahu tak seharusnya aku begini, karena seolah-olah aku berharap kematian Nixie bukan bunuh diri biasa. Padahal dari penjelasan Cynthia kemarin, cewek itu mengakhiri hidup sebab putus dari pacarnya. Mungkin aku harus berhenti melakukan hal tak berguna. Anggap saja dia lagi nge-prank nakut-nakutin orang, tapi lupa memberi tahu korban bahwa ia sedang dijaili.
Baru mengumpulkan niat untuk pergi, panggilan Tengku membawaku kembali menemuinya---yang kini sudah berada di depan rak tak jauh dari meja utama. "Apa sih?" sahutku bete.
"Liat nih."
"Apa?"
.
.
.
Digantungin 😋
Sincerely,
Dark Pappermint
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments