Enam bulan sebelumnya...
Namaku Hanselio Kaban. Kata orang-orang aku hanyalah seorang biang kerusuhan. Tapi itu tidak benar. Sangat tidak benar. Orang-orang-lah yang terlalu berlebihan menilai diriku.
Aku benci belajar. Jadi aku lebih memilih mengeksplor dunia luar dibanding duduk di dalam kelas seharian. Tapi guru-guru dan orang dewasa lain lebih senang aku tersiksa. Makanya mereka tak suka aku berkeliaran di luar, kemudian menuduhku macam-macam dan menghukumku yang katanya melanggar.
Di sini aku benar-benar tak mengerti. Aku hanya tidak mau melakukan hal yang membuatku merasa terbebani. Lantas kenapa aku dicap salah dan dipermalukan? Merekalah yang bersalah karena mengekang kebebasan seseorang.
Lalu, aku benci cowok-cowok lemah yang berlagak di depanku. Jadi aku menghajar mereka sampai sadar tempat masing-masing.
Oke, di sini mungkin aku agak sedikit kejam. Tapi aku hanya membuat perhitungan pada orang-orang yang duluan cari perkara. Intinya aku membela diri kan? Masa ia diam saja saat diremehkan dan ditindas. Itu sih goblok namanya. Tapi lagi-lagi, orang dewasa menganggap perilakuku salah. Dan terkadang para polisi ikut-ikutan menahanku semalaman di kantor mereka yang jelek.
Hal lainnya adalah, aku suka cewek-cewek cantik. Jadi aku memacari setiap gadis yang kurasa menarik.
Ayolah. Bukan aku yang awalnya menggoda mereka. Mereka yang datang sendiri padaku. Melihatku dengan mata mereka yang manja. Tertawa centil saat aku menceritakan suatu hal. Sengaja menempelkan tubuh mereka ketika berdekatan. Terus-terusan menggamit tanganku ketika kami berjalan berdampingan.
Lihat! Mereka sendiri yang melemparkan diri ke mulut singa. Dan sebagai singa yang kelaparan, aku hanya membuka mulut lebar-lebar.
Apa salahnya dari hal itu coba?
Tapi kemudian aku yang dikatai brengsek. Padahal, dari semua cewek yang pernah menggodaku, aku hanya memacari dua belas di antara mereka. Memang sih, itu hanya dalam rentang waktu satu tahun.
Tapi mau bagaimana lagi. Kata seorang gadis aku itu: "Amat sangat tampan dan menggoda dengan tubuh proporsional berbalut kulit kecokelatan yang menunjang tinggi badannya, rambut yang selalu tampak acak-acakan nan seksi, mata elang ditambah dengan alis tebal, hidung mancung, serta bibir penuh dan dagunya yang kelihatan tegas."
Astaga. Tiba-tiba aku jijik dengan deskripsi yang berlebihan itu. Tapi aku serius saat bilang ada seorang gadis yang mengatakan itu. Dia salah seorang cewek yang setiap hari menggangguku dan mengatakan dia telah menjadikan aku sebagai tokoh utama dalam cerita yang ditulisnya.
Sayangnya, citra jelek yang melekat pada diriku, bertambah hancur saat hari pembagian rapor.
Sebisa mungkin aku memasang wajah cool tanpa celah saat teman-teman, yang sebenarnya jauh lebih goblok dariku, membahas tentang rapor jeblok milik masing-masing.
"Absen gue lebih banyak, bro, liat nih!" Seorang cowok pendek membanggakan jumlah hari ia tidak hadir.
Cowok lain berdecak. "Alah gitu doang, nilai gue yang paling jelek dibanding kalian semua."
Dengarlah betapa bodohnya mereka.
"Tapi gak ada yang tinggal kelas, kan?"
Ah, shit.
"Gue naik kok."
"Gue juga."
"Gue juga."
"Masa sih zaman sekarang masih ada anak yang gak naik kelas? Tolol banget tuh orang kalo sampe kagak naik!"
Sialan. Aku memelototi orang yang secara tidak sadar telah mengumpankan diri sendiri ke mulut buaya itu tajam, membuat si tersangka keder dan tampak menciut.
Iya, benar. Sekarang kalian sudah tahu kan apa yang membuat citraku jadi lebih jelek.
AKU TIDAK NAIK KELAS!
Namun, yang tidak disangka-sangka adalah keputusan tiba-tiba Ayah yang memintaku pindah sekolah. Bukan hanya pindah sekolah saja, melainkan juga pindah dari rumahnya---atau istilah lainnya: aku diusir. Memang aku tak akan ditelantarkan begitu saja. Aku akan pindah ke Medan dan tinggal dengan nenek plus kakak sepupuku yang rada aneh.
Lalu apakah aku bersedih dengan hal itu? Nyatanya aku bahagia sekali bisa memisahkan diri dengan ayahku, sebab jujur saja, aku juga muak tinggal dengan pria itu. Si workaholic yang sepertinya tak mengenal kehidupan di luar pekerjaannya. Pria berhati dingin yang tak pernah terganggu akan semua kenakalan yang aku perbuat. Terkadang aku sempat berpikir mungkin ibuku meninggal karena bosan. Iya, hanya karena bosan. Habis sampai sekarang aku tak pernah tahu apa penyebab pasti meninggalnya beliau. Itu sangat aneh dan tiba-tiba. Ibuku sehat dan tak memiliki riwayat penyakit apa pun. Apalagi pemakamannya juga terkesan buru-buru dan terlalu ditutup-tutupi dari orang luar.
Kebosanan itu benar-benar membunuh. Ada rasa tak tertahankan yang teramat sangat dan kau tidak tahu harus diapakan. Dan aku menyalurkan perasaan itu melalui keonaran. Rasanya benar-benar lega. Semua itu serasa menguap hilang melalui pori-pori setiap aku bertingkah. Kesunyian yang telah menderaku selama bertahun-tahun pun seketika memudar, kemudian berganti suara bising yang lama sekali tidak kudengar.
Hanya dengan kebisingan, suara gaduh, aku merasa tidak sendirian.
Aku menatap ke luar jendela, hamparan luas benda putih yang menjadi objek pandanganku, perlahan berganti menjadi kegelapan saat mataku memejam.
***
"Perlu bantuan?" tanya Randall, abang sepupuku yang tiga tahun lebih tua. Setelah acara peluk-pelukan dari nenek dan si Randall ini di bandara Kuala Namu tadi, kini aku sudah berada di dalam kamar yang sengaja disiapkan untukku. Membuka satu per satu koper yang kubawa.
Aku menoleh pada Randall. "'Gak usah, Bang!' Gue tau seharusnya gue ngomong gitu, tapi gue males beberes. Jadi iya, gue butuh bantuan."
"Kampret lo, dari dulu gak berubah!"
Berubah? Maksudnya seperti dia sekarang ini?
Dulu Randall juga tinggal di Jakarta dan hidup penuh masalah sepertiku. Namun sekarang laki-laki itu berbeda seratus delapan puluh derajat. Dia lebih mirip anak culun superlembek dibanding mantan preman sekolah. Rambutnya yang dipotong monoton tanpa gaya tertentu (aku bahkan curiga dia potong rambut sendiri, modelnya jelek banget), wajah berminyak dengan kacamata bingkai hitam, kuping tanpa tindik (padahal dulu cowok ini melantur akan berubah jadi bab* jika melepas benda itu), dan badan letoi berbalut kaus cupu kebesaran---kalau masalah celana, dari dulu dia memang hobi pakai boxer.
Sebenarnya apa yang membuat si gengster berubah jadi anak alim?
"Kok malah melamun? Awas entar lo kesambet lagi."
"Gak apa-apa. Lagi pula kenapa memangnya kalo gue kampret? Masih mending daripada gue jadi aneh kayak elu." Aku merinding sendiri membayangkan diriku dalam bentukan cowok nerd begitu.
"Aneh apanya?" tanya Randall yang kini sudah berleyeh-leyeh di atas kasur. Padahal katanya tadi mau bantu-bantu.
"Lo gak ngerasa aneh dengan semua yang ada sama diri lo sekarang ini?" Aku menaikkan sebelah alisku dan berhenti membongkar pakaian.
"Hehe," cowok itu malah cengengesan. "Gue udah tebak sih elo bakal anggap gue kayak gitu. Tapi gue udah bosen hidup kayak dulu. Sekarang gue pengen hidup untuk diri gue sendiri, ngelakuin hal yang dari dulu gue tutup-tutupi gara-gara takut dianggap cupu."
"Emang apa yang elo lakuin sekarang?"
Randall menatapku dengan cengiran menyebalkan. Lalu dengan bangga mengatakan, "Sekarang gue jadi penulis novel thriller."
🥀🥀🥀
Sincerely,
Dark Pappermint
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
Ryoka2
Wkwkwk😂
2023-08-03
0
Rani nay
akhirnya setelah berabad-abad nyari novel yg sesuai kriteria ku akhirnya dapat juga
2022-12-13
0
novita setya
tergoda mampir krn referensi tmn..kynya menarik. okee q ikuti alurnya dl..☺
2021-08-14
1