Aku tidak pernah menyangka bahwa pengakuan Randall malam itu malah menjadi petaka. Bukan karena kata-katanya ternyata adalah sihir hitam yang menyihirku menjadi seekor bab*, melainkan dia terus-terusan memaksaku untuk membaca karya-karyanya.
Lalu di sinilah karya-karyanya itu berada, tergeletak begitu saja di dalam tasku yang sedari tadi rasanya memang berat banget.
Tidak salah kan kalau aku bilang Randall itu aneh? Jelas-jelas aku terus menolak membacanya. Lalu kenapa tiba-tiba semuanya bisa ada di sini?
Sialan. Hansel dan buku itu bagai air dan minyak. Walau bukan buku pelajaran, mana bisa sekarang aku tiba-tiba jadi anak culun yang hobi bawa-bawa buku tebal ke mana-mana.
"Kenapa? Ada masalah?" tanya seorang guru perempuan yang katanya adalah wali kelasku.
"Gak ada, Bu," sahutku malas menjelaskan. Lagi pula mau menjelaskan apa, bahwa aku punya abang sepupu gila yang sekarang menerorku dengan novel-novel thriller.
"Ya sudah, kalau begitu sekarang ayo ikut Ibu."
Tanpa banyak cincong aku mengikuti langkah guru muda itu dari belakang.
Gila, bodinya oke juga. Pikiranku jadi melantur. Tapi mau bagaimana pun aku ini tetap cowok remaja yang masih menggebu-gebu. Wajar sekali kalau terkadang aku memerhatikan bagian tertentu dari seorang perempuan.
Buru-buru aku buang jauh-jauh pemikiran itu saat kami tiba di depan kelas yang akan aku tempati ke depannya.
Aku mengikuti Bu Vira masuk dan menemukan sekawanan murid berisik yang mendadak hening melihat kedatangan kami.
"Anak-anak, seperti yang kalian lihat, hari ini kita kedatangan teman baru." Bu Vira menoleh padaku. "Ayo perkenalkan dirimu!"
"Nama saya Hanselio Kaban. Saya pindahan dari Jakarta."
Dapat kudengar beberapa anak heboh sehabis mendengar perkenalan singkatku tadi.
"Anak ibu kota, geng. Tapi bentar lagi udah jadi anak daerah ding."
"Mukanya mirip Alex Lange."
"Agak serem."
"Ganteng kok."
Bu Vira berusaha meredakan kebisingan murid-muridnya yang disebabkan olehku. Jujur, ini lebih menyenangkan daripada hening berkepanjangan.
"Sudah itu saja?" tanya Bu Vira, memastikan apakah masih ada yang ingin kusampaikan.
Aku mengangguk. "Iya, Bu."
Tapi tiba-tiba sebuah tangan mengacung tinggi, berasal dari seorang cowok superkinclong yang sepertinya hobi tebar-tebar senyum Pepsodent. "Mau tanya dong, Bu."
"Tanya apa Ali?"
"Dia kenapa pindah ke sini? Kena polusi ya di sana? Kulitnya sampe gelap gitu?"
Sial. Aku sudah di-bully di hari pertama masuk sekolah. Tidak tahukah mereka aku lebih tua setahun dari mereka semua?
"Ketutup debu gitu, ya, Li?" serobot sebuah suara lain yang terdengar tak kalah menyebalkan.
Gelak tawa mulai memenuhi ruang kelas ini. Aku memasang wajah kecut yang sepertinya cukup berhasil membuat beberapa orang keder.
Saat dilihatnya aku tak berniat menjawab pertanyaan si Ali-Ali itu (tentu saja aku tak bakal mengaku kalau aku tinggal kelas), Bu Vira langsung menunjukkan sebuah kursi untukku.
"Kamu duduk di samping Ali, ya! Hanya dia saja yang duduk sendiri."
Haha. Jujur aku kesal bukan main karena harus semeja dengan cowok yang sekarang sedang cengar-cengir itu, tapi juga senang karena ini bisa jadi kesempatan untukku mengganggunya.
Namun kenyataannya tidak semudah itu. Cowok itu sama sekali tidak takut dengan pelototan yang secara terang-terangan kuarahkan padanya.
"Kita belum kenalan secara resmi," ucapnya begitu aku duduk pada kursi di sampingnya dengan masih memasang senyum Pepsodent yang sama. "Aku Tengku Ali Imran. Kau boleh panggil Ali, tapi jangan panggil Imron, itu nama bapakku."
Cowok ini goblok atau apa sih. Jelas-jelas aku terganggu terhadapnya. Kenapa dia bisa-bisanya malah pasang tampang innocent begitu?
"Kok diem aja, Bos?"
Eh, Bos?
Aku berdeham. Dan entah kenapa tangan ini malah bergerak sendiri, menyalami tangannya yang sejak tadi terulur. "Gue Hanselio Kaban. Tapi lo boleh panggil gue 'Bos' kok."
"Wuohhh," serunya lebay. "Kau ngomongnya pake elo-gue gitu, ya? Oke deh, gu-e juga bakal kayak gitu biar e-lo lebih nyaman ngomong sama gu-e."
"Lo gak perlu ngelakuin itu," tolakku sebab nada bicaranya aneh banget.
"Gak pa-pa, Bos. Gu-e ini mudah beradaptasi kok. E-lo bisa ngandelin gue. Tuh kan gue udah mulai terbiasa. Gampang banget ini mah ngomong kayak orang-orang ibu kota."
"Seharusnya kan gue yang menyesuaikan diri di sini."
"Iya sih, tapi gu-e," balik lagi deh, "pengen gaya-gayaan aja ngomong kayak gini ke elo, Bos."
"Serah lo deh."
🥀🥀🥀
Sincerely,
Dark Pappermint
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
atmaranii
penulisannya rapi gmpng dipahami..smngatt
2021-09-24
0
mbemndut
ngakak ngak sih sama Ali, sempet salting sama ' kena polusi ya, kok kulitnya item'
2021-07-01
1
Susi Iskandar
gu-e ngebayangin si Ali itu pas ngomong e-lo kaya gayanya di sule sama andre 😆😆😆😆.....
udah ali, kau gak cocok pakek bahasa gaul. apa adanya aja lah. sama nya kita anak medan 😂😂😂
2021-03-25
2