Setelah menempuh perjalanan panjang, tibalah mereka di sebuah mansion mewah dengan halaman yang luas. Rumah megah dengan pekarangan yang dihiasi begitu banyak jenis bunga. Dari mawar, melati, kembang sepatu, tulip hingga anggrek, semuanya tertata indah nan cantik di halaman itu. Belum lagi rerumputan hijau jenis Swiss, terhampar membentang di sepanjang mata memandang. Pemandangan yang luar biasa indah menyambut kedatangan mereka.
Menelan saliva, Litania terkesiap dengan mata membelalak—ingin memastikan apa yang ia lihat adalah nyata. Sebuah rumah bertingkat tiga dengan luas lebih dari seribu meter persegi, berdiri kokoh di hadapan.
"Besar banget rumah ini."
Jiwa norak Litania kembali mencuat. Ia tak sadar sudah menganga hingga Chandra gemas dan sengaja mengapit bibirnya dengan jari telunjuk dan tengah.
"Bisa gak ekspresinya biasa aja," ledek Chandra yang jelas tak bisa menahan gelitikan perut tak kasatmata. Senyum pun terukir jelas di bibirnya yang berwarna coklat sedikit kehitaman.
"Ck! Ganggu aja." Bibir merah muda Litania sedikit mengeriting, tetapi kembali lagi ke mode awal. Ia lagi-lagi berdecak kagum, tak henti-hentinya mengerjap takjub. Baru kali ini melibat rumah yang begitu besar dengan warna putih mendominasi dan kaca yang super lebar menjadi jendelanya. Bahkan perabot dan furnitur mewah yang ada di dalam jelas terlihat. Begitu istimewa. Berbeda dengan rumah kebanyakan.
"Kenapa, kamu takjub?" tanya Chandra.
Menggelengkan kepala, Litania masih tak percaya ada rumah sebagus itu. "Wah ... ini rumah ter-daebak yang pernah aku liat. Rumahnya siapa, sih? Besar banget."
Akhirnya, pertanyaan kepo Litania tercetus juga. Ia pun dengan cepat membuka sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Memutar tubuh dengan tangan membentang, tak lupa pula senyuman pun merekah sempurna. Seakan ingin menyatu dengan alam indah itu.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada, ia rogoh saku celana jeans panjangnya. Mengabadikan diri dengan foto berlatar belakang rumah dan halaman besar itu.
Cekrak, cekrek, cekrak cekrek. Sepuluh foto telah tersimpan di galeri gawai. "Bang Chandra, ayo turun! Aku mau ketemu sama yang punya rumah."
Bersemangat, bahkan saking semangatnya, gadis yang mengenakan kaus ungu pas bodi dengan topi pink di kepala itu malah terlihat norak. Ditambah tingkahnya yang pecicilan membuat siapa saja heran sekaligus tertawa. "Ayo cepetan," rengeknya lagi.
"Iya, bentar." Chandra buka sabuk pengaman yang masih melingkar di pinggang. Menghampiri gadisnya itu seraya menggenggam tangan—menyatukan lima jari mereka. "Ayo masuk, katanya mau ketemu sama yang punya rumah."
"Tapi—"
Sebenarnya Litania risih akan sentuhan fisik yang Chandra layangkan, tetapi kembali lagi pada perjanjian mereka semalam—akan memulai segalanya dari awal. Risih atau tidak, suka atau tidak, ia akan berusaha legowo menerima kenyataan kalau dirinya sudah bersuami. Suami sah yang sudah tak diragukan lagi keabsahannya. Baik di bumi maupun langit.
"Ye ... malah bengong. Ayo cepetan. Katanya pengen ketemu sama yang punya rumah." Chandra mengulang kata. Ia tarik Litania untuk mengikuti langkah lebarnya.
Nyengir kuda—seperti orang gila, Litania ikuti ayunan kaki Chandra untuk memasuki rumah besar itu.
"Ini sebenarnya rumah siapa, sih. Aku juga pengen punya rumah kayak gini. Tu liat, halamannya luas bener. Pasti seru kalo main kejar-kejaran sama anak-anak," ucapnya setelah memutar kepala—melihat kembali ke halaman.
Menghentikan langkah, Chandra tatap wajah bingung Litania dengan seringaian penuh kemesuman. "Masih sore, loh. Kok udah ngomongin anak. Entar aja kalo udah maleman dikit," ucap Chandra yang terdengar ambigu di telinga Litania. Kekehan renyah pun mengikuti perkataannya itu.
Mengernyit, Litania urut pelipisnya. "Maksudnya—" Ucapan Litania terhenti. Sesosok pria tua berkaus putih dengan gunting pohon di tangan, tergopoh menghampiri mereka.
"Maaf, Den, saya gak tau kalau Den Chandra tiba sore ini."
Lagi, Litania terdiam—mencerna perkataan pria tua itu. Tunggu dulu, kok dia manggilnya 'Den?' Apa jangan-jangan rumah ini milik ....
"Iya, gak pa-pa, Mang. Saya bisa sendiri, kok." Chandra menjawab ramah. Ia putar kepalanya, menghadap Litania yang menautkan alis. "Kenapa? Kaget?"
Tersenyum hangat, Ujang si pria tua beruban berusia lima puluhan menipiskan bibir pada kedua majikannya itu. "Kalau gitu, saya pamit, Den. Kebun di belakang belum rampung. Kalau perlu bantuan, bisa panggil saya." Memutar tumit dengan perlahan. Ujang pun membungkuk hormat sebelum akhirnya meninggalkan mereka.
"J-jadi ru-rumah be-besar ini milik ...." Litania mendadak gagap. Bahkan untuk menyelesaikan satu kalimat saja ia telah menelan ludah berkali-kali.
Menggeleng pelan, Chandra kemudian memutar tumit, meninggalkan Litania yang masih mempunyai banyak pertanyaan di benaknya. "Bukan, ini rumah kita. Rumah yang akan diisi anak-anak kita kelak," ucap Chandra santai seraya membuka pintu besar rumah itu.
Tertegun, Litania mematung. Kakinya mendadak lemas dan tanpa sadar tangannya bertumpu pada gagang pintu besar bercat putih. Seolah semua tenaganya menguap entah ke mana. Hanya mata saja yang masih bisa beroperasi—mengerjap berkali-kali.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Litania telah mampu menguasai diri. Ia melompat dan memeluk Chandra dari belakang. Mendekap bahagia tubuh tegap pria itu. "Ini beneran rumah kita?" ulangnya histeris.
"Iya, rumah ini aku beli dua tahun lalu. Rumah yang juga akan jadi milik kamu. Rumah tempat kita menginap jika datang lagi ke sini."
Melepaskan tangan yang masih mengalung di pinggang, Chandra pun menatap Litania seraya mengulas senyum hangat. Tipisan bibir yang membuat dada Litania mulai kembali berulah—bertabuh dengan cepat. Ya, ampun. Soo sweet banget, sih, batin Litania.
"Sekarang, ayo kita naik. Kamu mandi dulu, habis itu kita akan makan malam." Menaiki setapak demi setapak, Chandra tuntun langkah Litania agar turut melangkah—menaiki anak tangga.
"Tapi, aku 'kan gak bawa pakean ganti."
Memegang kedua belah pundak Litania, Chandra berucap mantap, "Ada, aku udah siapain segalanya. Sekarang kamu masuk. Aku nunggu di sini."
"Ah, yang bener? Kok gak bilang?" lontar Litania.
"Udah, jangan banyak tanya. Cepetan masuk dan mandi. Baju kamu ada dalam paper bag di atas nakas."
"Oke, siap, Bos." Berjingkrak bak anak kecil yang telah mendapat permen, gadis belia itu meninggalkan suaminya masuk ke dalam kamar.
Lagi, netra Litania kembali berbinar setelah melihat dekorasi kamar yang tak kalah mewah dengan kamar seorang ratu. Nuansa putih masih mendominasi arsitertur ruang itu. "Wah, ternyata aku jadi orang kaya. Serasa jadi permaisuri seorang pangeran tua, ha-ha-ha ...." Litania tertawa renyah lalu kembali melanjutkan kata, "Ternyata gak ada ruginya nikah ama bangkotan itu."
Euforia begitu kentara di wajah putihnya. Bahagia, itu yang Litania rasa. Mempunyai suami tua tak selamanya rugi. Malah untung. Chandra sosok pria dewasa yang selalu mampu mengimbangi sikap kekanakannya. Setidaknya itu yang ia sadari semenjak insiden penculikan semalam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 268 Episodes
Comments
Wullan Cahyo
sumpah gue ngakak abis bacanya Thor udah kek orang gila
beneran deeeehhhh
2021-06-16
1
Wullan Cahyo
kurang ajar dia bilang BANGKOTAN hahahaha
bener² gak ada akhlak Lo Litania hahahaha
ntar bucin Lo gak mau jauh²
2021-06-16
1
Juliana Ruata
litania jng sebut suamimu bangkitan memangnya sdh kakek2 dia pria mapan😀🙏
2021-06-15
1