Dengan perasaan waspada, Litania ikuti langkah lebar Chandra. Melihat gelagat dan gejalanya, sudah dipastikan pria yang kini sudah sah menjadi suaminya itu tengah murka. Buktinya di sepanjang perjalanan dari kelab malam, tak ada satu pun kata yang terucap. Wajah Chandra merah padam. Tatapan pun seakan bisa membunuh tanpa harus menghunjamkan pedang. Menyisakan rasa takut di diri Litania.
Apa dia benar-benar marah? Tapi, bukan aku yang salah. Batin Litania berbicara.
Menarik napas panjang, Litania mulai memberanikan diri, mendahului langkah Chandra kemudian membentangkan tangannya dengan lebar--sebagai kode agar pria itu berhenti melangkah. Ia hanya ingin menjelasakan alasan kenapa dirinya berakhir berbuat onar.
"Bang Chandra, dengerin aku dulu. Bukan aku yang salah," ucap Litania. Entah sudah yang keberapa kali ia menjelaskan. Tapi respon dari Chandra tetap sama. Hanya sipitan mata tajam yang Litania dapatkan sebelum sempat menyelesaikan lisan.
"Minggir gak!" Chandra tepis tangan Litania lalu kembali mengayunkan kaki. Dadanya membuncah hebat, kekesalan sudah naik ke ubun-ubun. Bisa dijamin tak mungkin mereda dalam waktu dekat. "Masuk!" perintahnya ketika mereka sudah berada di depan pintu apartemen.
Tak berkutik, Litania yang sedari tadi gencar ingin menjelaskan menjadi bungkam. Keberanian dan kekurangajaran yang biasa menjadi tameng kini menguap terbawa angin. Baru kali ini melihat tatapan penuh kebencian dari suaminya itu.
"Duduk!"
Litania menurut. Ia rebahkan dirinya di sofa ungu bermotif polka di ruang tengah mereka. Menunggu hukuman apa yang akan Chandra berikan.
"Kamu ...."
Chandra tak melanjutkan kata. Suaranya terdengar dalam karena menahan geram. "Bisa-bisanya kamu membuat ulah di sana, ha!" Pecah, akhirnya suara lantang Chandra menggema dalam ruangan mewah itu. Menyisakan ketakutan di hati Litania. Gadis itu terlonjak kaget. Ia memucat, meremas-remas lututnya sendiri. Bentakan Chandra lumayan membuat jantung hampir berhenti berdetak.
"Tapi bukan aku yang salah. Mereka duluan. Aku ... aku ...." Litania menggigit bibir bawahnya yang bergetar. Aneh, tadi yang begitu ingin menjelaskan sekarang malah tak bisa berkata.
"Apa?! Apa salah mereka sampai-sampai kamu hajar mereka hingga bonyok begitu?! Apa kamu tau berapa biaya untuk patah tulang mereka dan perbaikan klab tadi!"
Chandra benar-benar berang, ia berucap dengan mata yang melotot tajam. Menatap nyalang Litania yang menundukkan kepala. Ada rasa sedih saat membentaknya. Namun, ia merasa wanita kecilnya itu harus didisiplinkan agar tidak kembali membuat ulah. Sikap barbar Litania benar-benar tak bisa ditoleransi. "Ayo, jawab!"
Lagi, Litania kaget, tak terasa matanya pun mulai berkaca-kaca. "M-mereka ... mereka melecehkanku ...."
Litania histeris, tangisnya pecah seketika itu juga. Bentakan Chandra yang menggema serta kejadian beberapa jam yang lalu menunjukkan fitrahnya sebagai perempuan, yaitu lemah.
Dengan terisak Litania kembali berucap, "Apa Abang tau. Mereka mengeroyokku. Mereka menguruminiku, memegang tubuhku," lirih Litania disela tangisan. Ia tutup wajah dengan telapak tangan. Menyalurkan rasa kesal dan sedih yang sedari tadi tertahan. Akan tetapi parah, Chandra yang seharusnya melindungi dan membela malah menyudutkan. Tak mau mendengar penjelasan dan langsung mengganti biaya medis empat pria brengsek itu tanpa mau mendengar kebenaran.
Apa? Bagaimana mungkin?
Chandra bergeming. Raut muka berubah drastis. Tadinya yang penuh kemarahan kini penuh rasa bersalah. Menyadari kesalahan fatalnya, pria beriris hitam itu terdiam. Berpikir keras bagaimana cara membujuk dan meminta maaf pada Litania. Kenapa aku bodoh sekali, sih? Sial.
Mengusap wajah dengan gusar, Chandra pun merebahkan diri di sofa--duduk berdampingan dengan Litania. Ragu-ragu tangannya menyentuh pundak Litania yang bergetar. "Kenapa gak bilang?"
"Aku udah mau jelasin. Tapi kamu gak mau dengar." Litania masih menutup wajah. Hati masih terasa sakit. Bukannya dibela dirinya malah disudutkan. "Suami macam apa yang gak percaya istri sendiri?" sungutnya seraya menepiskan tangan Chandra.
Menghela napas panjang, Chandra rengkuh tubuh Litania dan perlahan menepuk punggungnya. "Maaf, aku salah. Kamu pasti ketakutan."
"Tentu aja."
Kesedihan dan kebencian gadis itu makin dalam. Mengingat dendam masa lalu ditambah sikap tak percaya Chandra makin membuatnya tak bisa menerima sosok Chandra sebagai seorang suami. Namun aneh, setelah mendarat di dada bidang Chandra, rasa nyaman mulai menyerang. Isakan mulai terhenti, berubah menjadi gugup yang tak tertandingi. Ia usap air matanya dan melepaskan diri dari pelukan Chandra. "Jangan ambil kesempatan dalam kesempitan!"
Menautkan alis, Chandra hampir tertawa melihat wajah merah Litania. Belum lagi ingus yang hampir keluar. Oh sungguh. Hati Chandra serasa dikelitik lagi. "Kamu gak marah lagi, 'kan? Apa perlu kita lapor polisi?"
Menggeleng pelan, Litania tidak setuju dengan usulan Chandra. "Enggak perlu. Toh, aku udah puas ngasih mereka pelajaran. Paling gak, mereka gak akan bisa bergerak bebas untuk empat bulan kedepan."
"Yaudah kalo gitu. Sebagai permintaan maaf, kamu boleh minta apa aja. Nanti pasti aku turuti," ucap Chandra. Ia hapus jejak air mata yang masih tertinggal di pipi mulus Litania. Sentuhan pelan tapi menyisakan rasa kikuk yang teramat sangat.
"Ih, apaan, sih. Jangan sentuh-sentuh," ujar Litania ketus. Dilihatnya lagi wajah serius Chandra. "Tapi beneran aku boleh minta apa aja?" tanyanya untuk meyakinkan diri.
"Emb, apa aja."
Menyipitkan mata, Litania masih tidak percaya atas ucapan Chandra. "Apa aja." Litania mengulangi.
"Iya, apa aja."
"Yaudah deh. Entar aku pikirin. Sekarang aku mau mandi dulu." Litania masih memasang wajah galak. Menyembunyikan perasaan bahagia ketika mendengar Chandra berucap dengan senang hati akan mengabulkan permintaannya.
Tumben pak tua ini baik hati
Sepuluh menit berselang.
Terdengar suara pekikan Litania dari dalam kamar mandi. Chandra yang awalnya sedang tiduran di ranjang langsung bergegas membuka pintu. Ia panik, takut terjadi apa-apa pada Litania. "Ada apa, Litan?"
"Oh shit!" Chandra mengumpat. Netranya tak dapat menangkap cahaya apa pun. Sepertinya ada masalah dengan lampu. Dan sialnya gadis yang sedang mandi itu takut dengan kegelapan.
"Litan, diamlah. aku ke sana," ujar Chandra seraya melangkah. Dengan bermodalkan naluri, ia pun dapat merengkuh tubuh Litania yang masih basah. Gadis itu mematung di bawah shower dinding. Sementara tangisan masih terdengar walau tak senyaring tadi.
"Aku takut," lirih Litania.
"Tenanglah, tenang," ucap Chandra menenangkan. Ia belai rambut basah Litania kemudian menepuk-nepuk punggungnya. Akan tetapi, beberapa detik kemudian Chandra merasakan ada yang aneh. Terasa nyata ada dua gundukan kenyal menempel di dadanya yang hanya menggunakan kaus oblong biasa.
Gila, apa dia ....
Gleg. Jakun Chandra naik turun. Untuk memastikan pikiran aneh yang menghampiri, ia pun menurunkan tangan yang sudah bergetar.
Baiklah, aku hanya ingin memastikan, batinnya.
Tangannya pun turun dengan perlahan. Dan lagi-lagi, Chandra menelan saliva dengan mata yang membeliak di tengah kegelapan. Tabuhan di dada pun terdengar jelas masuk ke indra pendengaran. Dup-dup-dup-dup.
Gila, ternyata dia tel*anjang.
***
Hayo, siapa di sini yang menantikan belah duren Litan*.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 268 Episodes
Comments
Helena Wati
visualnya mana thor
2021-10-20
0
Sulastry Hutabarat
Astagaaa....🤣🤣🤣🤣🤣
2021-09-01
0
Airin
🤣🤣🤣🤣
menang banyak nih bang kocan....
2021-07-19
0