Litania, Chandra dan kedua orang tua Chandra sedang berada dalam sebuah restoran hotel. Mereka melingkari meja bulat yang sudah tersaji aneka sarapan di atasnya. Mulai dari sandwich, nasi goreng bahkan salad buah. Semua tertata rapi nan indah, menggugah selera.
"Nanti kalian tinggal di apartemen yang di Pondok Kelapa aja, ya. Mama udah siapin segalanya. Habis dari sini kalian bisa langsung ke sana," ucap Lita. Berbicara dengan serius tapi tetap tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Bibirnya yang merah tak henti terkembang sejak melihat pengantin baru itu tiba dengan wajah kusut. Mata Litania terlihat sembab, sementara Chandra beberapa kali memukul pinggang.
Chandra mengangguk, sementara Litania masih menikmati roti dengan selai coklat dan taburan keju di dalamnya.
"Dan kamu Litania, maaf, acara bulan madu kalian ke Bali kami tunda dulu. Soalnya Chandra harus menyelesaikan kerusuhan yang dia sebabkan di perusahaan," ucap Lita lagi.
"I-iya, Ma."
Suasana kembali senyap, mereka menikmati makan pagi tanpa banyak suara. Hanya terdengar dentingan sendok membentur piring yang menengahi kebisuan mereka. Namun mendadak keusilan Lita berbicara. Rasa penasarannya makin menggunung melihat gerak gerik anak menantunya itu. Ia senggol kaki Bram kemudian memberi kode dengan kerlingan mata.
"Ekhem."
Suara dehaman pria lanjut usia itu akhirnya membuyarkan keheningan mereka--Chandra dan Litania. Ia letakkan sapu tangan setelah mengelap bibirnya. "Bagaimana malam pertama kalian?"
Uhuk! Uhuk! Uhuk!
Tersedak secara bersamaan. Litania dan Chandra langsung meraih gelas air yang berada tak jauh dari mereka. Menurunkan paksa makanan yang tercekat di tenggorokan. Mencoba mengatur napas agar kembali normal. Sungguh luar biasa, perkataan Bram yang tiba-tiba membuat wajah anak serta menantunya memerah, bahkan ada jejak air di ujung mata keduanya.
"Apaan sih, Pa?" Chandra protes setelah menormalkan hidung yang tersumbat nasi goreng.
Tersenyum simpul, Lita menimpali perkataan suaminya, "Alah, jangan pura-pura polos gitu, ah. Mama yakin, pasti hot, 'kan?"
"Mama ...." Chandra mengusap wajah, gusar. Ia lirik sekilas Litania yang sudah menunduk dengan pipi memerah. Chandra yakin, wanita di sebelahnya pasti salah tingkah akibat pertanyaan orang tuanya yang absurd.
Mengabaikan perkataan dan tatapan sang anak yang mengandung protes, Lita malah makin gencar menggoda. Ia pandang Litania yang sedang menundukkan kepala.
"Mama bener, 'kan? Buktinya aja mata kamu sembab gitu," ujar Lita, kemudian memandang Chandra yang sedang memegang kuat gelas kaca. "Emang sampe berapa ronde?"
"Ma ...."
****
Di perjalanan menuju rumah Sita. Chandra kendarai mobil Avanza miliknya menembus keramaian kota. Menuruti perintah Litania yang minta diantar ke sana.
Punya bini bener-bener merepotkan. Mengembuskan napas kasar, Chandra menyalurkan kekesalannya dengan berkali-kali memukul setir mobil. Biasa jam segini dia akan duduk nyaman di balik meja kerja. Tapi lihatlah sekarang, dirinya harus mengantar Litania melewati kemacetan parah ibu kota.
Sementara Litania, dia begitu asyik bermain dengan gawai yang ada di tangan. Mengabaikan ekspresi Chandra yang jelas tidak senang dengan perintahnya. Tapi, mau bagaimana lagi? Orderan tetaplah orderan. Yang harus di antar agar pembeli tidak kecewa.
"Emangnya harus banget, ya?"
Chandra berucap untuk pertama kali setelah setengah jam di dalam mobil. Melihat mata Litania yang berbinar memandang layar ponsel, menyisakan rasa kesal di dadanya. Ia sedang meradang, Litania malah terlihat senang. Menjengkelkan! Rutuk Chandra.
Mengangguk cepat, gadis berkucir kuda dengan gaun selutut berwarna nude itu masih fokus memandang ponselnya. Sementara jari tangan, mengeriting. Membalas pesan yang masuk. Ia tak menyangka, setelah pernikahannya dengan Chandra disorot media, dagangannya laris manis. Banyak pesanan yang datang. Ternyata ada untungnya juga kawin sama dia. Om-om jutek, batin Litania.
"Jelas, dong. Ini rejeki, dan rejeki gak boleh ditolak. Pamali." Tersenyum senang, Litania mulai menatap Chandra yang telah bermuka masam. "Ini tu hukuman buat kamu. Hukuman karna semalam ngambil kesempatan dalam kesempitan, enak aja main pelak peluk. Aku bukan guling."
Litania mendengkus. Ia kesal mengingat kembali bagaimana dirinya terbangun dengan posisi kepala dan tubuh ditindih Chandra.
Dasar Om-Om mesum. Darahnya kembali berdesir. Ia sipitkan mata, memojokkan Chandra yang tengah meliriknya.
"Enak aja main tuduh-tuduh. Itu bukan aku loh, ya. Yang nyosor duluan itu kamu. Gak inget?" Menjeda ucapan dengan senyuman miring, Chandra kembali melanjutkan kata, "Tidur udah kaya orang lagi karate. Lihat nih, karena kamu tulang pinggang aku yang berharga jadi sakit. Mana ngorok lagi. Harusnya kamu yang tanggung jawab. Entar sampe apartemen, pijitin. Badan aku serasa remuk karna kamu tendang," sungut Chandra. Ia kesal. Bagun tidur mendengar Litania berteriak nyaring di dekat telinganya. Lebih parahnya lagi, gadis itu dengan sekuat tenaga mendorong tubuhnya dengan kaki. Badan perempuan tapi tenaga kayak laki. Sialan.
"Yaelah, pijit aja sendiri. Lagian aku gak pernah ngorok. Kamu salah denger kalik." Litania membetulkan posisi. Kembali menyetuh layar ponselnya. Menyembunyikan wajah yang berdenyut. Perkataan Chandra benar-benar membuatnya malu. Pria dengan kemeja biru laut itu pandai sekali mengejeknya. Masa sih aku ngorok?
****
Tibalah di rumah Sita. Rumah sederhana tempat Litania tumbuh besar.
"Nenek kamu mana?" Chandra berucap seraya membuka sabuk pengaman lalu mengedarkan pandangan. Heran, tak mendapati sosok wanita tua yang lebih ramah dan anggun dibanding sang mama yang ceplas-ceplos dalam berkata.
Litania melihat jam tangannya. "Nenek sekarang masih jualan sayur di pasar. Tapi aku tadi udah bilang bakalan ke sini."
"Kunci rumah?"
"Ada, aku punya cadangan."
Tidak memerlukan waktu lama, Litania keluar dengan langkah terhuyung. Ia membawa kantong kresek yang lumayan besar, berisi stok baju dari reseller. Lumayan berat, karna ada seratus helai kaos polos di dalamnya.
"Woi, bantuin, dong!" teriak Litania yang baru saja turun dari tangga.
Membuang puntung rokok di tanah, pria bersurain klimis yang sedang sandaran di kap mobil itu memunjukkan ketidaksukaan. Untuk kesekian kali ia diperintah oleh Litania, apalagi ucapan Litania jauh dari kata sopan. Untung saja tidak ada orang lain di sana. Apa jadinya bila ada yang mendengar ucapan istri durhaka itu?
Dasar anak setan. Harus kuapakan anak ini biar sopan.
Mendengkus kesal, Chandra hampiri Litania yang terlihat oleng membawa bawaannya. Pikiran jahat mendadak terlintas di benak, membuatnya tersenyum miring lantas mendekati gadis itu.
"Kenapa diem aja. Tolongin ... berat, nih!"
Namun, bukannya mengambil barang yang ada di tangan Litania, Chandra malah memukul kuat kening gadis itu dengan empat buku jarinya.
Rasain. Chandra tersenyum smirk.
Sementara yang dipukul tentu saja hanya mengaduh, tak bisa melawan karena tangan masih memegang bawaan.
"Apaan, sih. sakit tauk. KDRT ini namanya," sungut Litania. Matanya memerah dengan rahang yang sudah mengeras. Untuk kedua kalinya dahinya itu menjadi sasaran kekerasan.
Menyambut barang yang Litania pegang, Chandra terlihat tersenyum penuh kepuasan. "Makanya, ngomong itu yang sopan. Aku itu suami kamu. Lebih tua enam belas tahun."
"Lalu aku harus panggil apa? Ayang, bebeb, cintaku, manisku, suamiku, atau kakanda tersanyang?" Litania berucap penuh kejengkelan. Pukulan Chandra lumayan menyisakan rasa panas di dahinya.
"Abang, cukup Abang aja. No protes," ucap Chandra penuh penegasan dalam kata yang keluar. Ia menarik sedikit kedua ujung bibirnya, ada kepuasan melihat ekspresi Litania. Gadis itu melongo, mau menyanggah tapi keburu dilarang.
Dasar laki-laki gak berperikesuamian. Ah, apes banget, sih!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 268 Episodes
Comments
Muji Mbakyu
makin lucu ceritanya
2023-06-05
0
skyri
pak CEO pake mobil Avanza?
2022-07-26
1
Mar Ina
akoh droop baca nya masa ceo mobil kelas menengah ke bawah,,Kya mobil akoh yg orang mnegah ke bawah😀😀
2021-10-26
0