Mengerjapkan mata, Litania sedikit takjub dengan dekorasi kamarnya. Kamar pengantin yang dihias sedemikian rupa oleh para pegawai hotel. "Wah ... daebak. Kamarnya bagus banget." Berdecak kagum, Litania memutar kepala juga tubuh. Menikmati keindahan kamar yang disulap begitu romantisnya. Ada taburan bunga di atas kasur, serta handuk yang dililit—membentuk bebek yang sedang berciuman.
Menelan ludah, mendadak sebuah film blue yang pernah ia tonton, terlintas jelas di ingatan. Gak enggak! Menggelang cepat seraya menampar pipi sendiri, Litania mencoba membuyarkan fantasi liar yang mendadak menguasai otak.
"Ck, ini karena Kinar, bisa-bisanya dia meracuni pikiranku yang masih polos ini," gumam Litania pelan. Ia rebahkan tubuh di kasur empuk itu. Memejamkan mata dengan tangan membelai kelopak bunga. Serasa nyaman, ia gerak-gerakkan tangan untuk menyentuhnya.
"Heh! Mandi dulu sana. Jangan langsung tiduran. Nanti kasurnya bau. Aku gak bisa tidur kalo ada yang bau." Candra berucap seraya membuka kemeja. Mengabaikan bola mata Litania yang sudah membulat sempurna.
Lagi-lagi Litania menelan ludah lalu beranjak dari posisinya. Mengalihkan mata yang sempat ternoda akibat tubuh atletis Chandra yang sudah tak berpenghalang. Gak ... gak, aku harus tahan.
"Siapa juga yang mau tidur sama kamu," ujar Litania. Ia pun meraih selimut dan melewati Chandra yang berdiri di samping ranjang. Meletakkan kain tebal itu di atas sofa panjang yang berhadapan dengan sebuah TV 65 inci. Ni orang nyebelin banget, sih. Litania membatin seraya melirik tajam.
"Ngapa liat-liat?" hardik Chandra.
Berkacak pinggang, Litania yang masih mengenakan gaun pengantin itu membalas tatapan tak kalah garang. "Songong banget, sih. Awas aja kalo ngambil kesempatan dalam kesempitan."
Berdengkus, Chandra mengelengkan kepala. Ia hampiri Litania yang sudah terduduk di atas sofa yang bergambar titik-titik polka berwarna ungu. "Kamu itu bukan tipeku." Menatap sinis Litania dari atas hingga kaki. Pandangan yang jelas menunjukkan jejak ketidaksukaan. "Aku gak suka anak kecil," lanjutnya. Penuh penekanan dalam setiap kata yang terucap.
"Bagus kalau begitu." Litania tak kalah sengit. Ucapan Chandra barusan lumayan melukai harga dirinya sebagai perempuan. "Aku juga gak suka laki-laki tua."
"Terserah." Chandra memutar tumit, menarik handuk yang masih berbentuk bebek itu. Dasar bocah edan, batinnya gondok. Ia tinggalkan Litania yang sudah bermuka masam, berlenggang tangan memasuki kamar mandi.
Meremas gaun yang menutupi lutut, Litania berusaha meredam kesal. "Dasar aki-aki tua gak berperasaan. Masih aja suka seenaknya sendiri." Litania membetulkan selimut. Merapikan singgasana mini yang akan menjadi tempat peraduan sementaranya untuk malam ini.
"Sip, ini udah oke." Tersenyum penuh kepuasan. Litania mulai mencoba membuka ritsleting yang ada di punggungnya. Namun sial, deretan gigi yang terbuat dari plastik itu melekat. Berkali-kali ia mencoba menariknya, tapi tetap saja tak bergerak. "Ish, ini gimana sih bukanya?" Litania bersungut. Sementara kedua tangan masih saja ada di belakang punggung.
"Kamu kenapa ?" tanya Chandra yang baru keluar dari kamar mandi.
Terlonjak kaget, Litania menoleh sosok yang ada di belakangnya. Ia gemetar, tapi bukan karena takut, melainkan karena menahan debaran di dada. Bagaimana tidak grogi bila pemandangan roti sobek tertata dengan indah di depan mata? Sadar Litan, sadar!
Chandra mendekat dengan handuk yang hanya melingkari pinggang. Sementara dada ia biarkan tak berpenghalang. "Kamu itu kenapa? Kalo ditanya itu, jawab." Chandra mengulang pertanyaan dengan nada sedikit meninggi.
Tersenyum kecut. Litania mencoba menekan keinginannya untuk menyentuh perut Chandra yang kotak-kotak.
"Ini, gak bisa dibuka." Litania berucap dengan posisi membelakangi Chandra. Menyembunyikan wajahnya yang sudah memerah dan menegang.
"Oh, cuma ini." Tanpa izin, Chandra menarik ke bawah pengait itu. Manariknya hingga ujung--pinggang—dan tampaklah punggung mulus Litania yang seputih susu.
Gleg! Chandra telan saliva dengan cepat. Melihat pemandangan itu menyisakan rasa gugup yang begitu nyata. Apalagi lekukan tulang belakang Litania yang mulus bagai seluncuran. Gila, bagus juga kulit ni anak.
Berdehem, Chandra menyentuh hidung dengan jempolnya. Mengusir jauh rasa takjubnya itu. Baru saja dihina, masa mau dipuji? Gengsi, dong.
"Udah, cepetan mandi. Kamu bau."
Memutar tubuh, wanita bersanggul itu menatap tak suka pada Chandra. Belum sejam di dalam kamar yang sama dirinya sudah dua kali diejek bau. Dasar Om-Om sialan.
"Iya, aku tau. Gak perlu diingetin pun aku mau mandi."
Setengah jam berselang.
Litania keluar dari bathroom dengan rambut yang ia balut dengan handuk kecil. Sementara tubuh, terbalut celana jeans pendek dengan kaos putih polos sebagai atasannya.
"Yah, udah tidur aja dia. Emang sih, yang namanya aki-aki pasti cepet capek," ejek Litania. Ia seperti melayangkan tinju. Geram ingin melancarkannya secara nyata.
"Aku itu gak bisa tidur kalo ada yang bau." Cibiknya, mengikuti omongan serta gaya Chandra yang berkacak pinggang saat memarahinya. "Dasar kampret songong," umpat Litania lagi.
Masih di dalam kamar pengantin. Chandra terbangun karena merasakan kemih yang tak tertahan lagi. Membetulkan posisi, pria yang mengenakan piyama coklat itu mendudukan tubuhnya.
Melirik jam dinding dan mengerjap berkali-kali, Chandra mencoba memfokuskan pandangan yang masih buram. Masih jam dua pagi, batinnya. Dengan langkah yang agak terseret, ia masuki kamar mandi. Tak butuh waktu lama, Chandra pun keluar dengan wajah lega.
Brukh!
Suara hantaman mengagetkan Chandra yang hendak menaiki ranjang. Ia cari asal suara itu dan mendapati Litania sudah tergeletak dengan posisi wajah menempel pada porslen.
"Ya Tuhan, aku benar-benar menikahi anak kecil."
Tak tega melihat Litania terbaring di lantai yang dingin, pria bersurai tipis itu berusaha membangunkannya. Menggoyang-goyang paha Litania dengan kaki. "Woi bangun, bangun oi."
Namun sayang, Litania terlalu nyenyak dengan mimpinya. Membuat Chandra memejamkan mata berkali-kali, sedikit hilang kesabaran karena Litania. "Woi, Bangun! Tidur kok kaya kebok. Ayo cepat bangun!"
Masih tak dapat sinyal sadar, Chandra terlihat makin gusar. Sementara orang yang dibangunkan makin memeluk selimut dengan erat.
"Ah, sial." Chandra usap wajah dengan sebelah tangan. Ia mulai berjongkok dan mulai menggendong tubuh kurus Litania dan meletakkannya di atas ranjang. "Ngerepotin aja. Dasar."
"Ibuk ... bapak, Litan kangen."
Lirih, igauan gadis itu sungguh penuh kesedihan. Membangkitkan rasa iba yang sudah lama berhibernasi dalam diri seorang Chandra. Ia hapus pelan jejak air bening yang mengalir di pipi Litania, kemudian menenggelamkan wajah gadis itu ke dada bidangnya.
"Tenanglah ... tenang, ada Bang Kocan di sini. Aku gak akan biarin kamu kesepian lagi." Mengusap-usap rambut Litania, Chandra berubah menjadi sosok Kocan yang dulu sering menghiburnya. Sosok mahasiswa yang selalu tertawa dan menggendongnya bila bersama. Sosok yang selalu tersenyum hangat dan memeluk bila gadis kecil itu menangis, entah karena terjatuh atau bertengkar dengan teman sebayanya.
Tenang, Litania mulai nyaman dalam dekapan Chandra. Tangisnya terhenti dan berubah menjadi napas yang terdengar teratur. Seulas senyum pun terukir jelas di wajahnya.
"Litan, kamu gak berubah sama sekali. Masih doyan aku peluk."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 268 Episodes
Comments
Elies
cie ciee,,,,
2021-06-15
1
Anie Jung
Enak oii di peluk bangkotan😆😆😆
2021-06-13
1
Mardi Anah
what kamu bilang bang kocan masih doyan memeluk Litan hm sosweet
2021-06-13
1