Menengadahkan kepala, Litania berdecak kagum. "Wah, daebak daebak daebak. Tinggi banget ini. Aku yakin kalo ada yang melompat dari atas bisa dipastikan dia mati duluan sebelum nyampe tanah."
"Ck, mana ada yang begitu." Chandra menimpali, heran jalan pikiran Litania yang tak masuk akal. "Mana bisa mati kalo belum nyampe tanah. Jangan ngaco kamu. Ayo cepat, jangan bikin aku malu," lanjutnya lagi. Ia gandeng bahu Litania seperti abang yang sedang merangkul adeknya. Sementara tangan kanan membawa barang dagangan Litania.
Litania memutar bola matanya, risih akan perlakuan Chandra yang tak terduga. "Ih, apaan sih. Jangan sentuh-sentuh." Ia lepaskan rangkulan, dan menyipitkan mata pada Chandra yang mulai menahan tawa. "Jangan macem-macem, ya. Mau aku tendang lagi." Mengancam dengan tatapan sinis. Membuat tawa Chandra pecah seketika itu juga.
"Dasar Om-om genit," sungut Litania.
"Iya deh, iya ...."
Tibalah mereka di tempat tujuan, unit nomor 504 A. Chandra membuka kunci dengan tangan kanan dan tangan kiri menenteng kantong kresek. "Ayo, masuk."
Chandra melangkahkan kaki, tapi mendadak tangannya dipegang oleh Litania. "Kenapa lagi?" Mengernyitkan dahi, Chandra menatap penuh tanya pada Litania yang terlihat cemas.
"Di sini aman gak? Aku takut." Litania berucap seraya menengok kanan kiri. Lorong yang sepi membuat pikiran horor yang entah sejak kapan hadir, menguasai dirinya secara keseluruhan. Mendadak juga bulu kuduknya meremang. Indranya mendengar suara ketukan kaki yang makin lama makin terasa mendekat.
Dup-dup-dup-dup. Jantung Litnia menggila. Tabuhannya begitu cepat. Ia rangkul lengan Chandra. Merapatkan tubuh di tangan tegap pria itu. Sementara netra, liar mengawasi sekitar. "Ada hantu gak, sih?"
Pletak!
Tamparan tepat mengenai dahi Litania.
"Auh! Sakit."
"Makanya, jangan mikir yang enggak-enggak. Di sini aman. CCTV ada di mana-mana." Chandra menunjuk beberapa sudut di mana kamera itu berada, kemudian kembali melanjutkan kata, "Hantu juga kagak ada. Yang ada itu manusia yang doyan jadi hantu. Jadi jangan takut. Lagian hantu itu gak akan ada berani gangguin kamu yang kayak begini. Yang ada hantu kabur sebelum sempat gangguin kamu. Paham. Ayo masuk."
Mengusap kening, Litania bersungut, "Dasar pria kasar."
Pelan, Litania berucap sungguh pelan. Namun indra pendengaran Chandra yang tajam dapat menangkap rutukan Litania untuknya.
"Udah jangan ngomel, cepetan masuk," ucap Chandra tanpa menoleh.
Litania pun masuk, mengekori langkah lebar Chandra.
Lagi, Litania kembali terpana, ia yang baru masuk beberapa langkah dari pintu dapat dengan jelas melihat kemewahan yang ada dalam ruangan itu.
Wah, bagus banget. Mata Litania membulat, takjub. Ia sapu sekeliling dengan mata berbinar. Lupa dengan ketakutan yang merajainya beberapa detik yang lalu.
Menolehkan pandangan ke belakang, Chandra lagi-lagi dibikin geleng-geleng kepala. "Yaelah, malah bengong, cepetan," ujar Chandra, ia letakkan barang bawaannya di atas sofa dan mulai menuju dapur. Sementara Litania, melangkahkan kaki dengan perlahan. Menutup pintu dan kembali terpukau akan isi di dalamnya.
"Jangan norak, deh."
Perkataan singkat dari pria berkemeja biru itu dalam sekejap membalik mood Litania. Ia hampiri suami tuanya itu dengan wajah cemberut.
Aku mang kampungan, tapi jangan nyaring-nyaring juga kali. Norak-norak begini. Aku itu istri kamu. Sungut Litania dalam hatinya. Ia raih gelas dan merebut teko air dari Chandra.
Dengkusan samar Litania terdengar, kesal karena ingin protes tapi tidak bisa. Apes banget, sih.
"Kamu kenapa?" tanya Chandra.
Litania diam. Tak menyahut. Ia teguk lagi airnya, berusaha meredam kemarahan yang ada.
Namun, Chandra seperti mengabaikan raut kekesalan di wajah Litania, dengan entengnya ia pun berucap, "Masak gih, aku laper." Kemudian membuka kulkas. Menunjukkan isi yang ada di dalamnya pada Litania yang masih kesal. "Semua bahan ada di sini. Terserah deh kamu mau bikin apa. Yang penting cepet. Aku udah laper."
Menutup pintu kulkas, Chandra kemudian melewati tubuh kurus Litania yang berdiri di dekat meja makan. "Nanti kalo udah selesai, panggil aku. Aku mau istirahat dulu di kamar," lanjutnya seraya menepuk pundak Litania dua kali.
Asli, serasa ada kebakaran dalam dada Litania. Panas, panas, dan panas, ingin sekali dirinya melayangkan pukulan pada pria itu. Menjambaknya, mencakarnya atau kalau boleh ingin mengulitinya lalu diberi taburan garam. Sungguh situasi yang menjengkelkan. Sudah dihina, diperintah pula.
Dasar pria gila. Litania membatin. Menahan kesal dengan berkacak pinggang kemudian mengentak kaki. Ia kesal, sekesal-kesalnya. "Dasar tukang perintah."
Tiga puluh menit berselang.
Litania masuk ke dalam kamar dan mendapati Chandra tengah berbaring dengan tangan membentang. "Ck, enak banget, ya. Aku disuruh masak, dianya malah tiduran."
Memutar bola mata dengan malas, ia goyang-goyang bahu pria berjenggot tipis itu. "Bangun, aku udah masak."
Tak ada respon. Litania pun menggoyang bahu Chandra makin kuat. "Ayo bangun ... makanannya udah siap."
Lagi, mata pria itu masih terpejam. Memancing emosi Litania. Menutup mata berkali-kali, Litania mencoba mengatur perasaan gusar yang sudah terlanjur mencuat.
Oke, stay cool Litan. Tarik napas ... embuskan.
Namun si Chandra tak juga menunjukkan sinyal sadar hingga akhirnya Litania kalah.
"Woi bangun!"
Degh.
Jantung Litania berulah lagi. Bertalu makin cepat karena dalam sekejap dirinya telah berada di atas dada Chandra.
"Ih, apaan sih." Litania meronta. Berusaha angkat dari tubuh Chandra, tapi gagal. Pria berkemeja biru itu sengaja mengalungkan lengannya. Seolah-olah tubuh gadis itu adalah guling. Memeluk dan menguncinya dengan kaki. Litania tak bisa bergerak, karena memang tak ada jarak yang tersisa.
"Lepasin gak!"
Membuka mata, Chandra berbagi pandangan denga Litania. Aneh, Litania merasa ada susuatu yang beda dengan tatapan itu. Tatapan penuh arti, dan ia tak bisa menebak salah satu arti dari tatapan itu.
"Kan aku udah bilang. Aku itu suami kamu. Jadi bicara itu yang sopan. Aku itu pemimpin perusahaan. Orang yang ditakuti dan disegani sama bawahan." Chandra menghentikan ucapan. Ia tampak menelan ludah dengan susah payah. "Inget, mulai sekarang panggil aku Abang, bukan kamu apalagi woi, ngerti."
Ada penegasan dalam setiap kalimat lembut Chandra yang terucap. Namun, Litania yang masih menyimpan dendam tak menghiraukan permintaan yang terdengar tulus itu. Lebih tepatnya tidak mau peduli.
Mendengkus, Litania serasa ditantang akan ultimatum lembut, tapi tak terbantahkan itu. "Kalo aku nolak?"
"Ya, harus dihukum."
"Apa?" Litania makin berani. Ia sipitkan matanya, kemudian kembali berucap, "Apa mau ngadu sama ne--"
Dup-dup-dup-dup.
Dada Litania terasa jelas sedang menggila. Seakan ada tabuhan genderang perang di dalam sana. Gadis itu terperangah. Kaget bukan kepalang. Sebuah daging lembut dan kenyal mendarat di bibirnya. Lancang, sungguh binal. Chandra dengan nikmat mengesap bibirnya yang masih perawan. Untuk sekian detik Litania lupa. Apa yang harus dikatakan atau apa yang harus dilakukan. Matanya hanya mengerjap beberapa kali. Sementara napas, refleks berhenti beroperasi. Ia ingin melawan tapi lidah kelu dan tubuh membeku.
"Itu hukumanmu," ujar Chandra. Melepaskan pelukan dan membetulkan posisinya. Ia duduk dan melihat lekat air muka Litania yang sudah berubah ekspresi dan juga warna.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
"Hiaa ... apa yang kau lakukan!" terak Litania.
habis baca jgn lupa like sama komen, ya. walaupun cuma next. oke
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 268 Episodes
Comments
Muji Mbakyu
bagus makin penasaran
2023-06-05
0
Aqila Nurul
udah kena kis nanti ketagiha bang kocan nya☺☺☺
2023-05-19
0
Nina Rochaeny
litan sayang....nanti km bucin gmn
2021-06-30
1