Hangat, terasa nyaman. Berada di punggung Chandra mengingatkan Litania akan masa kecilnya. Masa kecil yang selalu ia benci tapi juga rindukan. Masa kecil yang selalu menjadi bayang kelam tapi tetap terbayang di ingatan. Masa di mana dirinya selalu tertawa bila berada di gendongan pria itu.
Tak pernah terbayangkan, kali ini punggung itu kembali menggendongnya setelah sekian lama. Mendekapnya lagi setelah melewati hari yang mengerikan. Chandra bagai pahlawan tampan yang menyelamatkan di menit terakhir sebelum bencana.
Mengembuskan napas panjang, Litania makin mengeratkan kalungan lengannya. Dihirupnya aroma tubuh Chandra. Wangi mint, begitu menenangkan.
Maafin aku. Aku salah. seharusnya aku dengerin kata-kata kamu. Litania membatin. Rasa kesal dan sesal menyatu. Membuatnya malu untuk bicara. Selama perjalanan ia hanya bungkam. Tak bertenaga untuk bicara ataupun lainnya.
Aku memang bodoh. Aku to*lol. Lagi, Litania merutuk diri sendiri.
Tibalah mereka di depan pintu hotel. Chandra masih setia menahan beban dan menurunkan tubuh kurus Litania di sisi ranjang. "Kamu tunggu di sini, aku ambil air hangat sama obat dulu."
Litania tak bersuara, hanya anggukanlah respon tercepatnya. Ia perhatikan punggung tegap suaminya itu hingga hilang di balik pintu kamar mandi.
Dada Litania mendadak sesak, air pun tak terasa telah luruh dari pelupuk matanya. Kebaikan Chandra memang tiada bandingan, tetapi dirinya yang diselimuti rasa dendam menolak semua kenyataan. "Maafin aku ... aku sepertinya memang istri durhaka yang gak tau terima kasih."
Pintu bathroom terbuka, Litania dengan cepat menghapus jejak air matanya. Ia ingin tetap dilihat tegar oleh orang lain.
Masih dalam kebisuan. Litania mengamati setiap perlakuan tulus Chandra. Pria itu tanpa jijik mengelap dan merendam pergelangan kakinya yang bengkak akibat ikatan. Lagi, air mata Litania kembali menetes hingga mengenai pergelangan tangan pria beriris hitam itu.
Mendongakkan kepala, Chandra menatap wajah Litania yang sudah bergelimang air mata. "Kamu kenapa nangis?"
Menggelengkan kepala dengan cepat, Litania mencoba membohongi mata Chandra. "Gak kok. Aku gak nangis," kilahnya.
Menghela napas panjang, Chandra rebahkan dirinya di samping Litania. Ia rengkuh tubuh Litania yang sudah bergetar halus. "Nangis aja. Jangan di tahan."
Terisak, Litania sudah tak bisa berpura-pura kuat. Ia tumpahkan segala ketakutan yang tertahan sedari tadi. Ia peluk erat tubuh kekar Chandra. "Bang ... aku ... aku minta maaf. Andai aja aku dengerin kamu, semuanya gak akan kayak gini ...."
"Udah, jangan di pikirin lagi." Mengusap punggung Litania, Chandra mengembuskan napas lirih. Dibelainya perlahan kemudian kembali berkata, "Semua akan kembali normal, jadi jangan takut lagi."
"Tapi, aku—"
"St, udah. jangan diungkit. Kamu udah aman. Si brengsek itu juga udah di kantor polisi." Chandra lepaskan rangkulan lalu mengelap jejak kesedihan Litania dengan sapu tangan. "Sekarang kamu tenang, ya ... kita obatin tangan kamu dulu."
Litania melihat pergelangan tangannya yang membiru, membiarkan tangan gemetarnya itu dipegang oleh Chandra. Memasrahkan diri pada pria itu agar mengobati luka fisik dan tanpa sadar juga menghapus luka batinnya.
"Kenapa kamu baik banget? Kamu gak benci sama aku? Aku udah sering banget bikin kamu kesel. Kamu gak marah?" tanya Litania setelah selesai dengan tangisnya.
"Enggak, aku gak bisa marah kalo sama kamu."
Menautkan alis, Litania mulai penasaran akan ucapan Chandra barusan. "Kenapa?"
Tiba-tiba terlintas sekilas ucapan Chandra ketika tengah memukul Reno. "Bang Chandra. Aku mau nanya."
"Hmm, apa?"
"Apa kamu suka sama aku?" tanyanya ragu-ragu. Ia ingin memastikan pendengarannya juga perasaan pria itu.
"Iya." Chandra menjawab singkat.
Litania terdiam. Ia tarik tangannya karena gugup. Salah tingkah karena jawaban singkat Chandra.
"Jangan gerak dulu. Ini belum dikasih salep." Chandra kembali meraih tangan Litania.
"T-tapi sejak kapan? Bukannya Abang benci banget ya sama aku?" Litania makin gusar, ingin berhenti bertanya, tapi perasaan tak bisa diajak kompromi. Lagi-lagi ia cecar pria yang tengah mengoleskan obat itu dengan pertanyaan. "Bang Chandra lagi gak becanda, 'kan?"
"Finish." Chandra tersenyum hangat kala pengobatan penuh cinta darinya telah selesai. Ia arahkan matanya menatap wajah Litania yang sudah berubah warna—merah bagai tomat. "Tentu saja enggak. Perasaan bukan lelucon Litania ...."
"Lalu ... ucapan itu serius?"
"Emb." Chandra mengangguk seraya mencubit pipi Litania. Menaruh kotak obat di bawah kolong ranjang, Chandra kembali mengunci pandangan gadis itu. "Aku serius sayang sama kamu. Tadi aja aku hampir gila. Aku takut kamu kenapa-napa. Untung aja ponsel kamu aktif, jadi polisi bisa mencari keberadaan kamu."
Lagi, Litania terbengong. Tanpa sadar mulut sedikit menganga.
"Bisa gak ekspresinya biasa aja," goda Chandra. Senyumnya sedikit terukir di tengah kecanggungan.
Membuyarkan keterpanaan, Litania menelan ludah dan kembali bertanya, "T-tapi, kenapa semenjak ketemu aku, kamu gak pernah ramah. Selalu aja judes?"
"Itu karena aku bersyukur ketemu kamu lagi. Cuma gengsi buat mengakui."
"Kenapa?" Litania berpikir sejenak, lalu kembali meluncurkan pertanyaan, "Itu artinya Abang beneran suka sama aku?"
Litania makin manatap dalam iris hitam Chandra. Liar, bola mata itu bergerak dengan cepat. Menandakan sang empunya mata tengah gusar.
"Itu ... itu ...." Chandra menggantung lisan. Tak tau harus melanjutkan kata.
Namun, tanpa diduga. Wajah terkejut Litania melemas, berganti menjadi murung. Ia senang ternyata Chandra menyukainya tapi merasa bersalah di saat bersamaan. "Aku gak pantes kamu suka."
"Kenapa?"
"Itu, Reno ... karena Reno udah ...."
Menangkup wajah sedih Litania, Chandra malah mengulas senyum hangat. "Di mana? Di mana dia menyentuhmu?" Chandra menjeda ucapan, manatap dengan mata teduhnya dan mulai mendekatkan bibir di dahi Litania. "Apa di sini?"
Membelalak, Kegugupan Litania makin menjadi. Ia tak menjawab, hanya mata saja yang mengerjap. Sebuah kecupan hangat mendarat di dahinya.
"Di mana lagi?"
Litania makin merasa bersalah, ia gigit bibir bawahnya. "Itu—"
Tanpa aba-aba, Chandra menempelkan bibir mereka. Memagut dengan perlahan. Membiarkan naluri cinta memimpin. Meraup dengan lembut agar Litania mau menerima cintanya.
Melepaskan pagutan, Chandra lap bibir Litania dan menempelkan dahi mereka. "Ayo, kita mulai dari awal. Aku takut kehilangan kamu, Litan. Aku gak peduli dengan umur. Aku anggap pertemuan gak sengaja kita setelah sekian lama hingga kita berakhir menikah adalah karena jodoh. Aku juga gak peduli jika ada yang mencibir kita. Yang aku tau, kita sekarang udah nikah. Jadi lakukan peran kita dan jujurlah dengan perasaan."
****
Menjelajahi jalanan, Litania sengaja membuka kaca mobilnya. Membiarkan angin kencang menerpa wajah. "Aku suka di sini. Aku suka aroma pantai."
"Iya, kalau ada waktu nanti kita ke sini lagi." Chandra berucap seraya menipiskan bibir. Memandang tawa Litania membuatnya merasa bahagia. Serasa lega. Kebohongan dan rahasia yang telah lama ia jaga rapat ternyata memberikan efek besar ketika dibuka. Litania tak marah dan malah memilih melupakannya.
"Ngomong-ngomong kita mau ke mana?" tanya Litania.
"Nge-date."
Merona, pipi Litania menegang. Mendengar jawaban singkat Chandra membuatnya sedikit melambung. Kencan? Kata yang sudah lama ia impikan. Apalagi bersama sosok yang ia suka sejak lama. Asli, andai ada sayap. Sudah dipastikan ia akan terbang.
"Nge-date ke mana?" tanya Litania lagi.
"Rahasia, dong."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 268 Episodes
Comments
Anie Jung
Nah gitu donk romantis , jgn ber argumen trus😁😁😁
2021-06-14
0
Mardi Anah
waduh ternyata sama2 suka oh bahagianya meteka so sweet
2021-06-14
1
Rosmawati Intan
kan bgus mcm tu litan.
hormat ..menghargai..syg sama suami
2021-06-11
1