Istri Barbar Kesayangan CEO
Sebelum baca harap tekan love dan like. Oke Gaes.
Tampak lima anak usia tujuh tahun mengelilingi seorang gadis kecil yang berpenampilan lusuh. Mereka menyanyikan sebuah lagu secara bersamaan, membuat objek rundungan mereka menutup telinga dengan kuat dan menekuk lutut, takut.
Dasar jelek ....
Gak punya ayah ....
Gak punya ibu ....
Yatim piatu ....
Badannya bau ....
"Gak, aku bukan yatim piatu. Aku masih punya nenek." Menangis, gadis kecil bertubuh gendut itu ketakutan. Membiarkan air mata membasahi pipinya yang kotor. Mengaliri jejak ingus yang sudah menghitam.
Lita, gadis kecil dengan rambut berkepang dua dan ransel Barbie di punggung menggerakkan tangan. Menginstruksikan pada teman-temannya untuk berhenti bernyanyi. "Lah, kamu emang bau, kok. Euww ...." Memencet hidungnya sendiri, jijik. Mencemooh temen sebayanya yang sedang terduduk itu.
"Iya, udah jelek, miskin, bau, bisa-bisanya punya nama kaya kita-kita. Gak sudi aku punya nama sama kaya kamu," ucap anak lainnya yang berambut pendek dengan bando pink menghiasi kepala. "Ganti nama sana!"
"Tapi, bukan aku yang milih nama, Nia."
"Aku gak peduli. Ganti nama. Aku gak mau nama kita sama," tegas anak yang bernama Nia itu.
Tak mau kalah, anak perempuan berperawakan gempal yang sedang memegang permen tangkai, turut menyuarakan isi hati. "Iya, jangan pake nama aku juga. Enak aja mau pake nama Tania. Kebagusan tau gak!"
Lagi, setelah puas mencemooh, mereka kembali melanjutkan nyanyian.
Litania bau ....
Litania jelek ....
Gak punya ayah ....
Gak punya ibu ....
Yatim piatu ....
"Gak ... gak ... aku bukan yatim piatu. Aku masih punya nenek. Aku ... aku ... nenek!"
Teriakan menggema seantero ruangan. Membuat seorang wanita beruban tergopoh masuk ke dalam kamar. "Kenapa, Ndok?" Memegang pipi gadis yang barusan berteriak memanggilnya. "Kamu mimpi buruk lagi?" lanjutnya. Mengelap keringat besar yang mengucur dari pori-pori gadis itu.
Mengangguk cepat, Litania duduk dan meraih gelas berisi air putih di nakas, meminumnya sampai tak bersisa. "Iya, Nek. Aku benci mereka," ucapnya, menghapus air mata yang sudah mengalir tanpa ia sadari. Mimpi itu serasa nyata, mengingatkannya tentang kenangan pahit yang mengakar dan berurat di sanubari.
Merengkuh sang cucu. Nenek yang bernama Sita itu menepuk pelan punggung Litania. "Sudah, jangan di pikirin lagi, yah. Itu cuma mimpi, kembang tidur. Lagipula, sekarang kamu 'kan udah gede. Jadi jika mereka mengganggumu lagi, hajar aja." Melepaskan pelukan, Sita menatap dalam mata Litania. Mengulas senyuman seraya mengelap pelan jejak kesedihan sang cucu dengan ibu jarinya.
"Emb." Litania mengangguk mantap.
Dulu, di kala kecil mungkin ia takut akan ejekan itu. Tapi berbeda dengan sekarang. Dirinya sudah tumbuh menjadi gadis remaja berwajah bersih dan cantik, hidungnya mancung bibirnya pun terlihat tipis dan menggoda. Membuat siapa saja pasti menyukainya pada pandangan pertama. Ditambah ada sabuk hitam di tangan. Jadi tidak ada alasan untuk orang merundungnya lagi.
Melirik jam dinding, Litania menepuk jidatnya. Ia mencari ponsel yang ada di bawah bantal dan mendapati begitu banyak pesan yang masuk. "Nek, aku mau nganterin barangnya Kinar." Beranjak dari kasur, Litania meraih blazer yang tergeletak di atas kursi meja rias.
Mengurut pelipis, Sita meraih tangan Litania. "Udah malem, loh. Udah jam sebelas. Nanti kalo ada apa-apa di jalan gimana?"
Memegang tangan keriput sang nenek, Litania mencoba meyakinkan orang tersayangnya itu dengan senyuman. Keluarga satu-satunya yang dia punya setelah kepergian kedua orang tuanya sepuluh tahun lalu akibat kecelakaan.
"Gak apa-apa, Nek. Lagian nganterin barangnya gak jauh, kok. Di hotel Permata deket sini."
Meraih tangan Litania, Sita terlihat ragu untuk berucap. "Ndok, tadi ada temen Nenek nelfon, katanya dia mau ngelamar kamu untuk anaknya."
Tertegun, Litania kembali merebahkan diri di ranjang. Menatap penuh tanya pada sang nenek yang tak pernah membahas ini sebelumnya. "Siapa, Nek?"
"Lita, ibunya Chandra, kamu inget, 'kan?"
Meradang, mendadak mata teduh Litania berapi-api. Bagaimana mungkin bisa ia melupakan sosok Chandra. Tetangga yang mengabaikannya ketika mengalami perisakan. Dan sebab itulah ia bersikeras pindah dari Semarang.
"Gak, aku gak mau." Litania berucap penuh kemantapan. Ia kepalkan tangan seraya kembali berdiri. "Aku masih muda, Nenek. Aku baru delapan belas taun. Aku gak mau nikah muda, apalagi sama si kecebong tua itu," sungutnya.
"Tapi--"
"Udah, ya, Nek. Aku pergi dulu. Entar Kinar keduluan ngamuk dan gak jadi order."
Akhirnya, dengan alasan yang kuat, Litania pun berhasil mendapat izin dari sang nenek. Ia kendarai motor metiknya menembus jalanan kota Jakarta yang sudah lumayan sepi.
Berdecak kesal, Litania mengumpat di sela kegiatannya--mengendarai motor.
"Emang ngeselin nih si Kinar. Tadi pas mau di anterin bilangnya jangan dulu. Nah, udah tengah malem gini baru deh suruh anterin. Dasar kampret plinplan," gumam Litania, kesal.
Demi barang dagangan, Litania nekat menembus malam. Mengantarkan pesanan Kinar yang ada padanya. Maklum saja, semenjak lulus sekolah menengah atas tiga bulan lalu, ia belum juga mendapatkan kerja. Jadi, sembari menunggu panggilan, dirinya berjualan pakaian online. Dan kali ini ia harus mengantarkan baju kaus pesanan temannya itu.
Kinar sendiri adalah teman seangkatan Litania. Sosok remaja berperawakan kutilang (kurus tinggi tinggal tulang) yang saat ini sedang berkuliah dan menetap di Inggris. Dan karena ada berkas yang tertinggal, dirinya mau tak mau harus kembali lagi ke Jakarta.
Dengan langkah terburu, Litania masuk ke lobi hotel dan tanpa sengaja menabrak seorang anak kecil yang sedang memakan eskrim.
"Ya Allah." Memasang muka masam, tapi tak berapa lama hati Litania berakhir luluh tatkala melihat bocah yang menabraknya telah berurai air mata.
"Maaf, Kak," ucap bocah laki-laki berusia delapan tahun itu.
Litania menarik napas panjang, kemudian mengembuskan perlahan. Mengukir senyuman lalu berkata, "Gak apa-apa, kok. Cup cup cup, jangan nangis." Mengelap pipi bocah itu dengan sapu tangannya.
"Orang tua kamu mana?" tanyanya, heran. Menengok kanan kiri dan tak melihat siapapun. Hanya seorang resepsionis yang datang menghampirinya dengan tergesa-gesa.
"Aduh, maafkan adik saya, Mbak." Resepsionis itu mengelap celana Litania yang terkena eskrim. Lelehannya tampak nyata dari pangkal paha hingga lutut. Memalukan, jejaknya mirip orang yang habis buang air di celana.
Dengan sopan Litania menepis tangan wanita berseragam itu. Menipiskan bibirnya seraya berucap, "Gak apa-apa, kok, Kak. Nanti aku bersihin sendiri."
"Litan!" seru seseorang dari arah belakang. Membuat Litania, resepsionis dan beberapa orang pegawai hotel yang ada di lobi menoleh secara bersamaan. Hampir semua orang mengulum senyuman, menahan bibir agar tidak tertawa. 'Litan? Nama macam apa itu?' Mungkin itulah isi benak kepala orang-orang yang ada di sana.
"Kinar."
Litania berjalan mendekati temannya. Memandang dari atas hingga bawah. "kamu mau ke mana?"
"Aku mau nyari makan bentar. Celana kamu kenapa?" Mengernyitkan dahi, gadis berambut pirang yang bernama lengkap Kinaryosih itu kemudian tertawa. "Kamu ngompol?"
Mengabaikan pertanyaan, Litania langsung menyodorkan bag paper. "Nih, pesenan kamu," ujarnya ketus.
"Kamu langsung anter kamar, yah. Aku males nenteng-nenteng beginian. Kamu masuk aja, kamarku di lantai tujuh nomor 3045." Menyodorkan kembali tas kertas itu ke tangan Litania. "Sekalian bersihin sisa ompol kamu itu," ejeknya kemudian.
Berdecak kesal, tetapi akhirnya Litania mengikuti saran Kinar. Dan tanpa membutuhkan waktu lama, sampailah ia di depan sebuah kamar.
Mengernyitkan dahi, Litania mengurut pelipisnya yang tidak nyeri. Ia bingung, memandang kamar dengan nomor yang sama hanya saja ada perbedaan A dan B di ujung angka itu. "Yang mana kamarnya Kinar?" Ia keluarkan ponsel dan mencoba menghubungi Kinar. Namun, sialnya yang di hubungi tak menjawab panggilan. "Ih, ni anak. Makan nasi apa makan HP, sih?" sungutnya kesal.
Lima menit berlalu, tapi si Kinar tak kunjung datang. Sementara Litania sudah berjongkok, tak tahan menahan kemih lebih lama lagi. "Oke, aku coba buka kamar yang ini aja. Kata Kinar, kamarnya gak dikunci. Bearti kalo dikunci otomatis bukan kamarnya Kinar," gumam Litania, berspekulasi.
Ceklek!
Pintu terbuka.
Litania tersenyum lega karena kamar terlihat gelap dan tak ada orang di sana. "Yes, ini kamarnya." Tanpa menunggu lama, ia pun langsung berlari menuju kamar mandi. Membuang hajat juga membersihkan diri karena lelehan eskrim tadi.
Tak lama, ketenangan Litania terusik. Terdengar kericuhan di balik pintu kamar mandi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 268 Episodes
Comments
MAYZATUN 🥰🥰🥰al rizal
😁
2024-11-02
0
Nurhayatins Aqil
br bc sdh katawa ketiwi akux thor,lucu😂😂
2023-05-03
0
mamahe Lana
gara gara baca skala jadi penasaran ma novel ini...bertambah ni korban ya skala🤣🤣🤣
2022-12-20
0