Litania sedang mematut diri di depan cermin. Menahan rasa gundah yang bersemayam sejak sepuluh hari belakangan. Setelah pertemuan tak sengaja dengan Chandra, dirinya benar-benar kehilangan asa. Harus menerima pertunangan dan kini terpaksa bersedia bersanding di depan penghulu.
Mengembuskan napas panjang, Litania yang sudah berbalut kebaya putih mencoba menaikkan kembali bahu yang terturun.
"Nasibku kok gini amat, yak. Kayak masuk ke dalam jamannya Siti Nurbaya aja," gumamnya. Meremas-remas tisu dan membuangnya ke dalam tong sampah.
Kembali memandang diri di dalam cermin, Litania belajar mengukir senyuman. Ia begitu lara, sampai-sampai hiasan make up yang sudah membalut wajah, tak bisa menunjukkan keajaibannya. Bagaimana mungkin berseri dan cantik bila sang pemilik wajah bermuram durja?
Litania mendesah panjang. Memikirkan nasibnya yang sebentar lagi akan menjadi seorang istri. Pendamping dari pria yang dulu jadi idolanya. Namun, berbeda kali ini, rasa sukanya pada Chandra sudah memudar seiring waktu berlalu. Rasa suka berganti benci mengingat perisakan yang dialaminya. Perisakan kala dirinya kecil dan parahnya Chandra yang ada di tempat kejadian tak peduli dan pergi begitu saja.
"Laki-laki tak berparasaan." Menopang dagu dengan telapak tangan yang bertumpu pada siku di atas meja, Litania kembali menghela napas panjang. "Apes banget, sih."
Tak berapa lama, suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Litania. Tampak Sita yang berbalut kebaya coklat menghampirinya.
"Kamu kenapa gak keluar? Yang lain udah pada nungguin, lho. Ijab qabulnya sebentar lagi." Sita berkata dengan nada lembut, lantas memegang pundak Litania dan memandang wajah cantik itu dari pantulan cermin. "Kamu cantik banget. Nenek gak nyangka, cucu Nenek yang dulunya kecil sekarang sudah besar. Waktu cepet banget berlalunya."
"Tapi, Nek ...."
Sita mengembangkan senyuman lalu membetulkan hiasan sanggul yang tertata rapi di kepala Litania. "Kenapa? Apa kamu masih gak setuju dengan pernikahan ini?"
Memegang tangan keriput sang nenek, Litania membalas senyuman itu. Tampak sejejak kesedihan dalam tarikan bibirnya. "Gak, Nek. Cuma ...." Litania menghentikan kata. Hanya napas panjang yang keluar dari mulutnya. Menunjukkan betapa putus asanya dia dengan keadaan.
Sita berjongkok. Ia pegang tangan Litania lalu menatap matanya dengan lekat. "Litan, maafin Nenek. Ini semua udah diatur belasan tahun lalu. Perjodohanmu dengan Chandra udah disetujui oleh almarhum kakek kamu dan papanya Chandra."
"Tapi gimana bisa, Nek. Sedangkan dulu aku masih kecil dan dia udah dewasa. Usia kami terpaut jauh."
"Entahlah, itulah yang juga jadi pertanyaan Nenek. Kakek kamu bilang, katanya kamu bakalan bahagia bila bersama keluarga itu." Mengembuskan napas penuh peenyesalan, Sita kembali melanjutkan kata, "Sebenarnya, Nenek sama Lita udah ngelupain perjanjian itu. Tapi, sepertinya takdir memang menuntut kamu buat jadi istrinya dia."
Sita kembali menghela napas. Menatap mata sang cucu yang sudah berkaca-kaca. "Terima pernikahan ini dengan lapang dada, ya. Nenek yakin, Chandra bakalan memperlakukan kamu dengan baik. Apalagi Lita, dia sepertinya menyukai kamu."
Membisu sejenak, Litania mencerna kata-kata sang nenek. Takdir? Ya, kenyataan aneh yang membuatnya terpaksa mengukir senyum hambar. Dia yang masih muda harus berhadapan dengan situasi perjodohan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Situasi yang tak direncanakan. Ia tumbuh menjadi remaja dan si Chandra belum juga menikah di usianya yang sudah lumayan tua.
Takdir macam apa itu? Litania membatin, kesal.
"Baik, Nek. Akan aku usahakan."
Sementara di ruang tamu, Chandra terlihat gusar dalam duduknya. Menatap sekeliling dengan tatapan hampa. Berharap ada seseorang yang membebaskannya dari kebodohan yang ia buat sendiri. Semenjak bertemu dengan Litania, hidupnya menjadi jungkir balik dalam sekejap mata. Ia yang sempat berbohong pada Arkan, kini harus menelan pil pahit akibat sandiwara bodoh itu. Arkan membeberkan pernikahannya pada semua teman seangkatan. Apes, kebohongan itu terdengar oleh dewan direksi.
Chandra tak berkutik, dirinya yang baru saja di angkat sebagai CEO, dikeroyok massal oleh para pemegang saham. Menuntutnya bertanggung jawab karena pernikahan yang dirahasiakan membuat nilai saham menurun dan nama perusahaan tercemar.
Gila, rasanya aku bisa gila. Chandra melepas kopiah dan mengurut pelipis. Memandang sekilas pada sang mama yang tersenyum lebar ke arahnya.
"Jangan gugup," bisik Lita.
Chandra makin mengkerutkan dahi. Kesal tak berlawan. Kesialan yang menimpanya menjadi kebahagiaan bagi ibunya.
Ah, aku mau mati saja. Mau kutaruh ke mana mukaku nanti. Yang lain **pas**ti akan mengejekku.
Tak memerlukan waktu lama. Acara sakral itu pun selesai dengan semestinya. Chandra dengan lancar menyebutkan ijab qabul tanpa terbata. Rumah sederhana Sumi menjadi saksi atas pernikahan itu. Melepas status lajang menjadi seorang suami.
****
Malam harinya.
Euforia pesta begitu terasa di dalam aula sebuah hotel bintang lima. Para tamu yang hadir terdiri dari beberapa rekan bisnis dan kolega. Mereka begitu asyik dengan obrolan yang seperti tak ada habisnya. Sementara pelayan, sibuk berlalu lalang menjalankan tugas masing-masing.
Berdehem, Lita sengaja membuyarkan lamunan anak dan menantunya itu.
"Kalian ini kaya pesakitan yang lagi sekarat tau gak. Jangan kayak gitu, lah. Orang-orang nanti bergosip yang gak enggak," bisiknya seraya berpura-pura membenarkan dasi Chandra yang masih tergantung rapi.
"Tapi, Ma—"
Melotot, Lita berhasil membungkam mulut Chandra yang ingin protes. "Jangan ngebantah, ini 'kan kesalahan kamu. Kenapa juga nyebar gosip. Dah kaya gini, baru deh ngeluh. Sekarang harus tanggung jawab, dong. Sama perusahaan juga Litania," lanjut Lita. Kini ia langkahkan kaki ke arah Litania. Berpura-pura membenarkan gaun panjang yang Litania kenakan. "Tengah malam nanti mulai proses bikin bayinya, ya."
Mengukir senyuman, Lita sama sekali tak merasa bersalah setelah mengucapkan kata yang vulgar itu. Membuat Litania dan Chandra hanya mampu berucap "Mama" hampir bersamaan.
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Litania, Chandra, Lita dan Bram Antariksa— ayahnya Chandra—menyusuri lorong hotel tempat mereka menginap.
Membuka pintu dengan kartu kunci, Chandra mempersilakan Litania masuk ke dalam kamar pengantin yang sudah disulap sedemikian rupa. Harum semerbak kamar itu pun langsung menyambut kehadiran mereka.
Tersenyum ramah, Litania membalik tubuh. Memandang pada sosok kedua orang tua Chandra. "Ma, Pa, Litan masuk kamar dulu, ya?"
"Iya, masuk aja." Lita masih di posisi berdiri di depan kamar.
Mengernyitkan dahi, Chandra angkat bicara. "Mama sama Papa mau tidur di sini juga?" tanya Chandra, menyindir secara halus. Pasalnya kedua orang tuanya itu tak bergerak sama sekali. Padahal mereka sudah lelah dan ingin cepat beristirahat.
Menarik jas sang suami, Lita mengulas senyum kikuk. Ia baru sadar bahwa keberadaan mereka malah mengganggu privasi anak menantunya. "Iya, maaf, Mama lupa." Tersenyum siput, Lita mendekatkan wajah pada Chandra. "Malam ini gaspoll, ya. Biar ceper jadi," bisiknya.
"Mama ...." Chandra mengurut pelipis. Heran akan ucapan sang mama yang tak jauh dari kata 'making love.'
Terkekeh, Bram pun ikut bicara. "Iya, jangan tunda-tunda. Mama sama Papa udah pengen cepet nimang cucu."
Tak mampu menahan lagi, Litania langsung mundur tiga langkah. Mendengar pembicaran orang tua dan anak itu membuatnya merasa tidak nyaman. Seolah memaksanya untuk cepat berkembang biak. Yang bener aja. Aku gak mau jadi mama di umur semuda ini, batin Litania.
Melirik punggung Chandra yang ada di depannya, Litania kembali membatin, apalagi anaknya dia. Gak ... aku gak mau, titik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 268 Episodes
Comments
Fatimah's
perisakan maksudnya apa ya thor
2023-03-02
0
Blue Rose
duhh berkembang biak😂😂
semangat terus thor
2021-07-13
0
Tita
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2021-07-11
1