Di depan TV
Litania tampak sibuk dengan aktivitasnya. Gunting, kertas kotak, buku serta paralatan lain untuk memaketkan dagangan, semuanya masuk dalam kawasan kakinya yang sedang terbuka lebar. Saking asyiknya, ia bahkan tak menyadari Chandra telah merebahkan diri di sofa tempat dirinya bersandar.
Terkekeh pelan, gadis beriris hitam itu tengah menatap puas barang yang ada di tangan. "Kalau begini terus aku bisa kaya." Bermonolog sendiri. Bibirnya yang berwarna pink, merekah sempurna tatkala berhayal mendapat orderan yang banyak setiap harinya.
"Emang kalo banyak duit kamu mau ngapain?"
Litania terperangah. Matanya melebar ketika menyadari ada orang di sebelahnya. Namun tak lama, keterkejutan itu berubah menjadi ekspresi malas serta decakan kesal dari bibirnya. "Apaan sih, ganggu aja. Pergi sana." Mendorong kuat lutut Chandra, berharap pria yang sedang mengompres pelipis itu menjauh.
"Kasar banget. Kamu itu perempuan, lho. Kok gak ada anggun-anggunnya sama sekali." Chandra putar posisi, meletakkan kain berisi es batu itu di atas meja, kemudian melihat Litania yang kembali membungkus dagangannya. "Emangnya untung berapa, sih? Palingan sepuluh rebu. Jualan baju gitu doang sibuknya udah kaya pengusaha terkaya seantero dunia aja." Chandra mencebik, terdengar meremehkan.
"Ish, bisa gak sih jangan ganggu. Pergi sana. Atau, mau aku tabok lagi?" Ancaman yang terdengar mengerikan keluar dari bibir tipis Litania. Namun yang diancam malah mengulas senyuman, gemas. Chandra cubit pipi Litania hingga yang punya pipi mengaduh dan menepiskan tangannya dengan kasar. "Apaan, sih. Sakit tau gak."
Chandra terkekeh. "Kamu lucu banget. Kalo lagi cemberut gini rasanya pengen--"
"Stop!" Litania menyela. Darahnya berdesir, senyum mesum yang terukir di bibir Chandra lumayan membuatnya meradang. "Jangan macem-macem. Udah, pegi sono. Jangan ganggu. Aku lagi sibuk."
Menggelengkan kepala, Chandra yang baru dua hari ini serumah dengan Litania mulai paham akan tabiat istri kecilnya itu. Jadi, dia memilih diam saja dari pada meladeni mulut Litania yang tak pernah mau kalah maupun mengalah.
Tiga puluh menit berselang. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam.
"Ah, selesai juga." Litania mereganggkan otot leher juga pundak yang kaku. Kemudian melirik Chandra yang ada di sebelahnya. "Besok udah masuk kerja?" tanyanya menengahi kebisuan. Ia rebahkan diri di sebelah Chandra.
"Kenapa?"
"Enggak, cuma nanya aja. Mang gak boleh?" Litania memanyunkan bibir, kemudian rasa kepo mulai menggerogoti. "Eh, perusahaan papa itu bergerak di bidang apa, sih? Aku udah lama penasaran tapi gak berani nanya. Takut dibilang kurang ajar.
Mendelik, Chandra yang tadinya menonton berita beralih memutar mata. Menatap Litania yang juga sudah menatapnya. "Trus apa bedanya dengan sekarang?"
"Ya beda lah. Kita 'kan udah--"
"Apa?" Chandra menyela, ia naikkan alis serta menarik sebelah bibir. Senyum mesum kembali terukir. Membuat Litania gugup bukan kepalang. "Tau ah. Bodo amat," ucap Litania, judes. Ia rebahkan dengan kasar punggungnya di sandaran sofa. Menatap TV yang sama sekali tak menarik minatnya. Ia hanya benci situasi yang ada, Chandra selalu bisa membuatnya malu. Dasar kampret mesum, rutuk Litania.
Lagi, Chandra tergelak nyaring. Ekspresi Litania yang malu-malu sukses menggelitik perut.
"Ketawa ... ketawa aja terus. Orang nanya serius jugak." Litania kembali bersedekap dada. Kesal, dirinya selalu menjadi bahan olokan dan berakhir memalukan.
"Iya deh iya ...." Chandra mulai meredam tawa. Kemudian mulai menjelaskan dengan dada membusung dan senyum mengembang. Menceritakan seluk-beluk perusahaan yang kini sah menjadi tanggung jawabnya. Perusahaan turun temurun yang kakeknya bangun. Big Group, perusahaan otomotif terkemuka di Jakarta. Produsen kendaraan dengan kapasitas terbesar di Indonesia. Dari motor, mobil bahkan kendaraan untuk berniaga, semuanya di bawah naungan perusahaan itu.
"Bagaimana, hebat, 'kan?" Chandra tersenyum bangga. Kekayaan keluarga dan kesuksesan bisnis yang ada membuatnya sedikit berbangga diri.
Litania bergeming, hanya mata yang berkedip beberapa kali. Untuk sedetik ia kesal atas kesombongan Chandra. Namun, sedetik kemudian ide gila muncul dari benaknya. Oke Litan, manfaatkan apa yang bisa dimanfaatkan. Litania tersenyum penuh misteri. Membuat Chandra menautkan alis, heran. "Kenapa?"
Menggeleng cepat, Litania mulai mengutarakan isi hati serta pikirannya. "Kalau gitu, bisa dong kasih aku modal buat usaha. Kamu kan--"
Ops! Litania langsung membekap mulut dengan tangan. Ia cengengesan setelah mendapat pelototan tajam dari pria berjaket coklat yang ada di depannya. "A-abang, maksud aku, Abang. Jadi Bang Chandra pasti bisakan kasih aku modal buat buka toko baju?" ungkapnya terbata-bata.
Aish, Litania serasa merinding setelah mengucapkan itu. Namun, ia sadar, Chandra itu suaminya. Sosok yang harus dihormati. Terlepas ada cinta atau tidak di antara mereka.
"Mau, ya?" Litania mengatupkan kedua belah tangan, memasang wajah semanis mungkin. Bibir pun tak lupa untuk bersandiwara--tersenyum dengan lebarnya. "Please ... mau, ya?"
Memutar tubuh menghadap TV, Chandra dengan lancar berucap tanpa berpikir lebih dahulu. "Gak bisa."
"Lah, kenapa gak bisa? Katanya banyak duit. Masa ngeluarin duit dikit buat aku gak mau, sih." Litania bersungut. Memasang wajah cemberut. "Mau, ya ..." rayunya lagi. Menggoyang-goyang paha Chandra. Memanjakan suara seraya mengedip-ngedipkan mata.
"Ck, jangan lebai, deh. Kalo dibilang gak bisa, ya artinya gak bisa." Chandra menegaskan kata serta memelototkan mata. Membangkitkan rasa kesal yang sudah susah payah Litania tekan agar tidak mencuat ke permukaan. Dasar pria tua pelit. Gak berperasaan.
Bersedekap dada, Litania menatap sinis pada Chandra. "Pelit, dasar Om-om genit pelit." Gadis berambut tergerai itu memanyunkan bibir. Kejengkelannya semakin menjadi karena Chandra malah merogoh kocek dan memainkan ponsel.
"Aku gak pernah genit, ya. Jadi kalo ngomong jangan asal."
Masih dalam posisi lengan berlipat di dada, Litania makin sengit mendapat respon datar seperti itu. Emosinya jelas tak berlawan, dan dia tidak suka itu. "Lalu, kalau bukan genit, tadi siang itu namanya apa?" Litania menyipikan mata, kemudian kembali melanjutkan kata, "Main sosor sosor aja kaya bebek. Katanya gak suka anak kecil. Tapi bibir aku diembat juga."
Serasa dikelitik tangan tak kasatmata, Chandra pun akhirnya tergelak untuk ketiga kalinya. Ia menyerah. Mendengar sungutan Litania membuatnya tak bisa menahan tawa. Ia masukkan ponsel kembali ke saku celana dan memegang kedua belah pundak Litania. Melihat dengan jelas bola mata gadis yang sedang duduk di hadapannya.
"Kan udah dibilang. Itu hukuman, terlepas ada rasa suka atau enggaknya. Jadi, kalau kamu gak mau dicium atau diperawanin sama Om-om genit ini, sebaiknya sebelum ngomong disaring dulu. Jangan asal nyablak. Paham."
Chandra melepaskan bahu Litania. Kemudian mengambil remot dan menekan angkanya. Sementara bibir berkedut, masih menahan tawa yang belum usai. "Padahal waktu kecil kamu manis banget, lho. Kenapa sekarang jadi barbar begini," lanjut Chandra lagi.
Litania berdengkus. Ia beranjak dari sofa dan duduk kembali di lantai. Mencoba mengalihkan pikiran dan menekan emosi agar tidak kembali kurang ajar.
"Tapi 'kan tetep aja pelit. Masa ngeluarin duit dikit aja gak mau." Litania belum bisa mengenyahkan kekesalan. Ia racik kertas menjadi potongan kecil. Menyalurkan perasaan jengkel agar tidak berakhir mendapat hukuman. "Katanya CEO. CEO apa yang pake mobil keluaran lama. Gak kayak orang kaya. Dasar CEO kere berjiwa mesum," sungut Litania pelan.
"Hey, aku denger, loh. Kalo mau ngejelekin orang itu di belakang. Jangan di dekat kuping juga. Gak asik kan kalo kedengeran sama orang yang digibahin," ucap Chandra tanpa ekspresi.
"Biarin. Biar orang yang diomongin ngerasa."
Tak berapa lama, terdengar bel dari arah pintu. Suara yang membuyarkan tatapan menghunjam Litania. Dengan langkah lebar ia tinggalkan Chandra yang masih terduduk di sofa. "Sialan, siapa sih yang dateng malem-malem?"
"Siapa?" tanya Chandra saat Litania masuk dengan membawa bingkisan.
"Kiriman," jawab Litania ketus.
"Dari siapa?"
"Temen."
"Siapa namanya?" tanya Chandra yang mulai sewot. Pasalnya Litania berlalu tanpa mau menjawab lebih detail. "Kok bisa tau kamu tinggal di sini? Yang tau kan baru kita doang."
Namun Litania seolah-olah menulikan indra pendengaran dan lebih fokus pada barang yang ada. Tampak sebuah gaun cantik di dalam bag paper berwarna merah muda. Pemberian dari lelaki misterius yang ia sebut dengan Mr X. Lelaki yang sudah setahunan ini mengirim apa pun. Dari barang yang menyangkut idol-nya maupun barang yang lain. Pria misterius yang membuatnya merasa bangga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 268 Episodes
Comments
Sarah Susanti 🐋
ya memang bener yak.
si Chandra ceo kere
2021-06-20
1
Kembang Kanthil
ya iyalah CEO KERE,mobile ae AVANZA🤭🤭
2021-06-19
1
Ary Ati
seru ni cerita nya
2021-06-15
2