"Jelaskan padaku tentang ini, Ga ...!!!"
Suara Ardi semakin berat dan penuh penekanan. Dia tidak menyangka jika Yoga akan kembali merasakan hal yang sama seperti yang dulu pernah dialami di masa kecilnya.
"Aku tidak apa-apa," jawab Yoga.
Ardi membuka semua kancing kemeja Yoga, membuat Yoga terperangah kaget. Dia tidak bisa menghindar dan mengelak lagi.
"Jelaskan saja padaku, sekarang juga!!" Ardi semakin marah.
"Jangan khawatirkan aku. Aku baik-baik saja."
Lelaki itu hendak mengancingkan kembali kemejanya, tetapi tangannya ditahan dan dicengkeram dengan kuat oleh Ardi.
"Apa aku harus membuka penutupnya sekarang juga, agar terlihat jelas apa yang coba kamu sembunyikan dariku ...?"
Yoga menepiskan tangan Ardi lalu duduk kembali. Dia menunduk untuk mengancingkan kemejanya dengan benar, agar tidak ada seorang pun yang mengetahui rahasianya lagi.
Ardi duduk di kursinya dengan tatapan mata yang terus meminta penjelasan dari Yoga. Sementara yang ditunggu mulai mencari alasan untuk menghindarinya.
"Nara sudah menungguku. Aku harus pergi sekarang."
Saat hendak berdiri, tangan kanan Ardi menekan dan mengunci tangan Yoga yang bertumpu di atas meja.
"Jangan keluar sebelum kamu menjelaskannya padaku!"
Tangan kiri Ardi mengambil ponselnya dari saku kemeja, lalu membuat panggilan ke nomor Beno yang menunggu di luar klinik.
"Ben, bawa Nara pulang sekarang. Katakan padanya, Yoga masih ada keperluan denganku. Aku yang akan mengantarnya pulang nanti!"
Ardi mengakhiri panggilannya, lalu memaku tatapan tajamnya ke arah Yoga. Yang ditatap pun hanya bisa menghela napas pasrah, mau tak mau harus menuruti kemauan sang sahabat.
"Inikah alasanmu pergi lama dan membiarkan semua orang bertanya-tanya?"
"Apa aku harus mengatakannya kepada semua orang?" jawab Yoga tak mau kalah.
Ardi mengganti pembicaraan mereka pada intinya.
"Sudah berapa lama kau mengetahuinya?"
"Beberapa minggu sebelum aku berbuat nekat pada Nara."
Ardi menggelengkan kepala, masih tak bisa memahami jalan pikiran sahabatnya.
"Jadi, karena alasan inikah kamu melakukan hal yang tidak seharusnya pada Nara dulu?"
"Aku sudah lama mencintainya, tapi dia adalah kekasih sahabatku sendiri. Sejak pertama melihatnya bersama Alan di sebuah acara perusahaan, aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama."
Ardi mulai menurunkan emosinya dan mendengarkan cerita Yoga.
"Tadinya aku sudah ikhlas jika hanya bisa mencintainya saja seperti sebelumnya, tapi ...."
Yoga mengusap wajahnya dengan telapak tangan, mencoba menutupi kesedihan yang tengah dirasakannya.
"Tapi tiba-tiba, hasil yang aku terima saat itu membuatku hilang akal sama sekali. Dan akhirnya, semuanya terjadi begitu saja, karena hanya itu yang terpikirkan olehku ...."
"Aku tidak mungkin pergi begitu saja tanpa meninggalkan sesuatu yang sangat berharga, yang sudah aku harapkan dan aku impikan selama ini."
Ardi mulai memahami jalan pikiran Yoga, meskipun dia tetap menyalahkan cara yang digunakannya terhadap Nara.
Tapi jauh di dalam hati kecilnya, dia merasakan kesedihan dan ketakutan luar biasa.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Ardi.
"Seperti yang kamu lihat."
"Apakah masih ada harapan?"
Ardi menanyakannya dengan lirih, menahan rasa yang menyesakkan dadanya.
Yoga mengangguk samar, yakin tak yakin dengan jawabannya sendiri.
"Setidaknya aku masih punya waktu sampai anakku lahir nanti, semoga saja ...!"
.
.
.
Malam harinya, Yoga bersiap untuk tidur lebih awal. Perjalanan pulangnya yang memakan waktu cukup lama, dilanjutkan dengan menemani Nara pergi ke klinik Ardi, membuat raganya merasakan kelelahan yang teramat sangat.
Namun tiba-tiba, dia teringat pada Nara. Sejak Nara kembali bersama Beno, dia belum bertemu lagi dengan istrinya. Rasa rindu menyergap hatinya, apa lagi sudah satu bulan lamanya mereka berpisah dan baru bertemu sebentar saja tadi sore.
Lelaki itu mengambil ponselnya dari atas meja lalu mengirim pesan untuk Nara.
"Sudah tidur, Ra?"
Nara yang juga sedang duduk di sofa sambil memegang ponselnya langsung membaca dan menjawab pesan dari Yoga.
"Belum."
"Bolehkah aku ke kamarmu sebentar?"
Nara ragu untuk membalasnya. Masih ada rasa khawatir di hatinya mengingat sifat keras Yoga sebelum-sebelumnya. Namun setelah menenangkan diri, dia segera menulis pesan singkat dan mengirimkannya.
"Ya."
Tak sampai lima menit kemudian, pintu sudah diketuk dan dibuka dari luar. Dari sofa, Nara memalingkan wajahnya ke arah pintu, tepat di saat Yoga terlihat masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Yoga melihat tatapan itu, membuat hatinya meleleh dan bergetar seketika.
Nara buru-buru memalingkan wajah dan kembali menunduk memainkan ponselnya. Yoga berjalan pelan mendekatinya dan berdiri tepat di samping sofa.
"Maaf tadi aku memintamu pulang lebih dulu."
Nara mengangguk pelan. Dia menyibukkan diri dengan membuka akun sosial media miliknya. Yoga masih berdiri dan terus memperhatikannya. Lelaki itu melepas rindu dengan memandangi wajah Nara yang begitu dekat di hadapannya.
"Aauww ...!!"
Tiba-tiba Nara memekik lirih seraya melepaskan ponselnya begitu saja.
"Ada apa, Ra? Apakah ada yang sakit?"
Nara menggelengkan kepala. Kedua tangannya menangkup perut buncitnya, yang dalam posisi duduk seperti itu terlihat cukup besar dan mulai membulat.
"Dia ...." Nara menghentikan suaranya.
"Bayinya menendang ...."
Yoga terperangah dan dengan gerakan spontan langsung duduk di samping Nara untuk memastikan keadaan istrinya.
Setengah sadar, Nara mengambil tangan Yoga dan menempelkannya di bagian yang sebelumnya mendapatkan tendangan dari dalam.
Hati Yoga berdesir karena sentuhan Nara yang mendadak, membuat tubuhnya menegang tak percaya.
Namun semua perasaan itu teralihkan begitu dia merasakan tendangan lembut tepat di telapak tangannya yang menempel di perut Nara.
Bayinya menendang! Tidak hanya sekali, tapi terasa hingga dua kali di tempat yang sama.
"Anakku! Kamu benar-benar nyata tumbuh di dalam sana, Nak ...."
Yoga tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Dia sangat bahagia memperoleh kesempatan itu, kesempatan untuk merasakan tendangan cinta sang bayi dari dalam perut Nara.
Tangannya masih terus dipegang oleh Nara, seolah menahannya untuk tetap pada posisinya, menunggu sang bayi kembali menunjukkan keberadaannya dari dalam sana.
Dan benar saja, satu tendangan halus kembali dirasakan oleh Yoga di tangannya.
"Ra ...."
Nara, entah sadar atau tidak, tersenyum menatap Yoga yang masih menampakkan wajah tak percayanya.
Lelaki itu terpaku menikmati senyuman dan tatapan mata Nara untuknya, tanpa berkedip sekali pun, seakan ingin merekamnya baik-baik di dalam ingatan dan hatinya.
"Senyuman manismu, benarkah itu untukku, Ra ...?"
Nara menunduk lagi dan baru menyadari posisi tangannya yang masih menahan tangan Yoga di atas perutnya.
Perlahan dia menarik tangannya dan bergeser ke sisi perut yang lain. Masih terasa gerakan-gerakan kecil dari dalam perutnya, yang mungkin juga dirasakan oleh Yoga.
Yoga turun dari duduknya dan berlutut di depan Nara. Kini kedua tangannya berada di kedua sisi perut Nara, di dekat tangan wanita itu.
Lelaki itu memajukan wajahnya sembari memejamkan mata, hingga bibirnya menyentuh ujung perut Nara, menciuminya dengan lembut dan penuh rasa haru.
Tak hanya di ujung perutnya, Yoga juga menciumi kedua sisi perut Nara bergantian, mencurahkan kasih sayang dan rasa cintanya kepada keduanya, Nara dan calon anak mereka.
"Terima kasih, Ra. Aku mencintai kalian berdua. Sangat mencintai ...!!"
.
.
.
Jangan lupa untuk selalu menyemangati kami dengan Like, Komentar, Bintang 5, Vote & Favorit.
Terima kasih banyak untuk semua pembaca yang telah berkenan membaca dan menikmati novel kami.
Salam cinta dari kami.
💜Author💜
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 316 Episodes
Comments
Elly Sari Narulita
disaat Nara SDH bisa menerima Yoga...ko malah mau d tinggal isdeath sihhh...
jangan dong thorrr
2022-10-24
0
Anonymous
Nara egois bngt sih biar gimna pun Yoga itu suaminya malah tdr milih terpisah, yg ada bru nyesel klau Yoga udh gk ada
2022-08-04
0
Badrun Yatie Vega
yoga sakit apa ? penasaran
2022-06-28
0