"Ra, bagaimana keadaanmu di sana?"
Sungguh Nara sangat merindukan suara itu meskipun belum ada sehari mereka tidak bertemu. Seketika hatinya berbunga-bunga dan melupakan semua kejadian buruk yang dialaminya di rumah lelaki yang sudah menjadi suaminya.
"Aku baik-baik saja di sini, Lan."
Nara tidak berani mengatakan kondisinya saat ini karena jika itu dia lakukan, pasti Alan akan semakin cemas dan memikirkannya. Atau lebih dari itu, dia bisa saja nekat datang dan melabrak Yoga yang dianggap tak bisa menjaganya.
Nara tidak mau Alan terus-menerus memikirkan dirinya, sementara hubungan mereka sekarang harus berakhir dan apapun alasannya saat ini dia sudah menyandang status sebagai istri orang lain meskipun hanya karena keterpaksaan.
"Jangan membohongiku, Ra. Aku bisa merasakan apa yang sedang kamu rasakan saat ini."
Alan tidak percaya begitu saja karena hati kecilnya mengatakan bahwa Nara dalam kondisi yang tidak baik bahkan mungkin lebih buruk dari sebelumnya.
"Aku tidak apa-apa, Lan. Jangan terlalu mengkhawatirkan aku." Nara masih berusaha menutupi keadaannya. Menghela nafas setenang mungkin, dia mencoba menahan rasa sesak di dadanya.
"Ra, kita sudah bersama dan menjalin hubungan cukup lama. Kita sudah saling tahu segala tentang diri kita masing-masing. Apakah kamu lupa, selama ini kita selalu memiliki ikatan hati yang kuat dan tidak pernah salah?"
Nara tak bisa lagi menahan perasaannya. Isakannya mulai terdengar oleh Alan di seberang sana, membuat mantan calon suaminya itu semakin merasa cemas.
"Nara, jangan menangis lagi. Kamu harus kuat, jangan menjadi lemah. Ingat calon bayimu, dia membutuhkan Ibu yang kuat dan tangguh. Kamu harus bisa bertahan demi dia yang tumbuh di rahimmu."
Nara terharu mendengar ucapan Alan. Betapa lelaki itu sangat baik dan berhati tulus, seperti yang dikenalnya selama ini.
Di saat hatinya begitu terluka seperti saat ini pun, lelaki baik itu masih selalu memikirkannya. Bahkan dia juga memikirkan keselamatan janin yang ada di dalam kandungannya.
Nara membawa tangan kirinya yang masih tertancapi jarum infus ke atas perut dan mengusapi permukaannya yang tertutup pakaian.
Maafkan Ibu yang belum bisa menjagamu dengan baik, Nak. Ibu berjanji akan lebih kuat lagi demi kamu ....
"Lan, jangan bersikap seperti ini kepadaku. Aku semakin merasa bersalah kepadamu."
Wanita itu kian terisak dengan airmata yang terus mengalir membasahi wajahnya hingga menetes di atas punggung tangan kirinya yang masih terus mengusapi perutnya.
"Kamu tidak bersalah, Ra. Kita berdua tidak ada yang salah. Takdirlah yang telah membuat keadaan kita menjadi seperti ini."
"Takdir yang mempermainkan kita menjadi terpisah seperti ini, Lan. Aku sedih, aku kesepian di sini. Tapi aku sadar, aku tidak lebih menderita dari dirimu. Kamu yang paling tersakiti, kamu yang paling terluka dengan keadaan ini. Maafkan aku. Maafkan aku...." Nara menangis tersedu-sedu, semakin lama semakin deras air matanya mengalir.
"Kamu sekarang sendirian di sana, tak ada yang menemanimu, tak ada yang bisa menghiburmu. Dan di sini, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau saja aku bisa melakukan sesuatu untukmu, pasti akan aku lakukan, Lan. Tapi aku sendiri terkurung di sini, lemah tak berdaya, tak kuasa untuk melawan takdir ini."
Berulang kali Nara meminta maaf dan terus meratapi ketidaberdayaannya, berulang kali pula Alan terus menenangkannya dan selalu memberinya kekuatan untuk tetap menjalani takdirnya.
Lelaki itu selalu mengatakan bahwa dia akan selalu menjaga dan melindungi Nara meskipun hubungan mereka tak lagi seperti dulu. Nara merasa semakin tersiksa karenanya.
Bukannya tidak suka dengan perhatian yang diberikan oleh Alan, tetapi dia merasa tak lagi pantas untuk menerima semua ketulusan lelaki itu dalam mencintainya.
Nara merasa telah mengecewakan Alan dan tidak mungkin bisa membalas semua perlakuan lelaki baik itu. Dia sudah dimiliki oleh lelaki lain yaitu Yoga, dan sudah seharusnya dia tidak lagi bergantung pada Alan sekalipun hanya dialah yang Nara cintai selamanya.
Tanpa Nara ketahui, semua pembicaraannya dengan Alan melalui sambungan telepon itu, didengarkan oleh Yoga dari balik pintu kamar yang sengaja tidak ditutupnya dengan rapat saat tadi lelaki itu keluar.
Meskipun hanya bisa mendengarkan setiap kalimat yang diucapkan oleh Nara tanpa bisa mendengarkan satu pun perkataan Alan, Yoga sudah bisa memahami semuanya.
Dadanya terasa sesak sekali, degup jantungnya terdengar semakin kencang dengan detakan yang semakin cepat. Hatinya sakit mendengarkan semua ucapan Nara, yang masih sangat mencintai Alan dan tidak sedikit pun mempunyai perasaan terhadap dirinya.
Tidak adakah kesempatan untukku, bisa dicintai olehmu, walau hanya sedetik saja, Ra ...?
Dengan langkah gontai dan hati yang patah, Yoga berjalan menjauh dari kamar Nara menuju kamar pribadinya.
Pikirannya masih terus terpaku pada kenyataan yang baru saja didengarnya, bahwa keberadaan Nara di rumahnya dan bersamanya hanya karena mengikuti keadaan yang mengharuskannya demikian. Sama sekali bukan karena keinginannya, kemauannya apalagi perasaannya.
Setelah masuk ke dalam kamar, Yoga merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Memejamkan kedua matanya untuk menenangkan diri, namun justru bayangan perbuatannya pada Nara sebulan silam di tempatnya terbaring saat ini, hadir begitu saja membuatnya segera membuka mata kembali.
Terengah-engah nafasnya memburu setelah terbayang kejadian itu. Terbersit rasa sesal, bersalah, sedih, berkecamuk di hatinya. Tetapi demi apa yang menjadi tujuannya, dia selalu mengesampingkan semua perasaan tersebut.
Saat mencuri dengar pembicaraan Nara dengan Alan di telepon tadi, Yoga melihat ke dalam melalui pintu yang sedikit terbuka.
Dia bisa melihat senyum bahagia di wajah Nara saat menerima panggilan suara dari Alan, walaupun pada akhirnya pembicaraan mereka berujung kesedihan dan airmata karena takdir yang sudah memisahkan sepasang anak manusia yang saling mencintai itu.
Di tengah pembicaraan mereka, Yoga sempat melihat tangan Nara yang berpindah ke perut dan mengusapinya secara perlahan disertai pancaran penuh kasih di mata sendunya.
Perasaan bahagia memenuhi hatinya melihat pemandangan mengharukan tersebut. Setidaknya, dia tahu bahwa Nara sudah mulai menerima dan menyayangi calon bayi di dalam kandungannya.
Terima kasih, Ra. Terima kasih.
Yoga terus tersenyum dalam bahagia yang tengah menyelimuti perasaannya saat ini.
Tok ... Tokk ... Tokkk ....
Suara ketukan pintu memupus kebahagiaan sesaatnya. Yoga bangun dan turun dari tempat tidur untuk membukakan pintu yang dikuncinya.
Bibi Asih sudah berdiri membawakan segelas jus jeruk, kebiasaan pagi tuan mudanya sedari remaja, sebelum menyantap sarapannya di ruang makan.
"Jusnya, Mas." Bibi menyodorkan nampannya dan Yoga langsung mengambil gelas itu lalu meminumnya sampai tandas tak bersisa.
"Terima kasih, Bi. Apa Nara sudah sarapan?" Dan Bibi Asih pun mengangguk.
"Sudah, baru saja. Alhamdulillah, pagi ini Mbak Nara menghabiskan bubur yang Bibi siapkan. Susunya juga sudah diminum, Mas."
Yoga bernafas lega mendengar penjelasan Bibi Asih.
"Oya, perawat yang dikirimkan Mas Ardi sudah datang dan sekarang sudah berada di kamar Mbak Nara."
Yoga ingat, semalam dia meminta Ardi supaya menugaskan seorang perawat untuk menjaga Nara setiap hari, selama istrinya itu diharuskan bedrest beberapa minggu ke depan.
"Ya. Sampaikan kepada perawat itu agar menjaga Nara dengan baik dan tidak melupakan obat-obatan yang harus diminum oleh Nara."
"Ya, Mas. Nanti akan saya sampaikan pada Mbak Bunga, nama perawat itu."
"Setelah mandi aku akan langsung berangkat ke kantor. Bibi tidak usah menyiapkan sarapanku. Pastikan saja makanan untuk Nara dan perawat itu selalu terhidang tepat waktu."
Setelah selesai berbicara, Bibi Asih pamit ke dapur, sedangkan Yoga segera bersiap untuk pergi bekerja.
Satu jam kemudian, Yoga dengan diantar oleh sopir dan Beno asisten pribadinya, sudah sampai di kantornya yang berjarak waktu tiga puluh menit dari kediamannya.
Memasuki ruangannya, sebuah surat bersampul amplop coklat sudah tergeletak di atas meja kerjanya. Setelah duduk dan melipat kedua lengan kemejanya, Yoga mengambil surat itu dan membukanya.
Sebuah surat pengunduran diri dari segala tugas dan jabatan yang diemban sebelumnya, demikian isi inti dari surat yang bertandatangan atas nama Alandra Setiawan, sahabatnya sendiri sekaligus lelaki yang calon istrinya telah dia rebut dan sekarang sudah menjadi istri paksaannya.
.
.
.
Jangan lupa untuk selalu menyemangati kami dengan Like, Komentar, Bintang 5, Vote & Favorit.
Terima kasih banyak untuk semua pembaca yang telah berkenan membaca dan menikmati novel kami.
Salam cinta dari kami.
💜Author💜
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 316 Episodes
Comments
ratu adil
buatlah nara mncintamu yoga dgn cara yg bner angp sja ni bkn jdohx alan
2022-05-25
0
✹⃝⃝⃝s̊S Good Day
Caranya Yoga emang agak kejem juga sih, tp greget 🤭
2022-04-23
0
Fiah Soerjowirdjo
Nara kurang gawean. mau nikah sama siapapun status anaknya tetap aja anak ibu. mending sama yang dicinta
2022-04-11
0