"Sudah aku katakan sebelumnya, jagalah perasaannya, bukan hanya tubuhnya yang sudah sangat lemah ini. Jangan membuat jiwanya semakin tertekan, apalagi dengan kondisi janinnya yang masih sangat mengkhawatirkan. Semoga dia bisa bertahan dan berkembang dengan baik meskipun kondisi ibunya juga tidak baik."
Dibantu oleh seorang perawat, dokter laki-laki itu memasangkan cairan infus di punggung tangan kiri Nara sebagai penunjang nutrisi untuk wanita itu. Kemudian dia menuliskan resep baru untuk Nara.
"Jika kau masih ingin menjadi seorang ayah, jangan sakiti dia lagi. Atau kamu akan kehilangan mereka berdua," ucap dokter itu penuh penekanan.
"Apa maksudmu dengan mereka berdua?" Jantung Yoga berdetak cepat hingga terasa begitu nyeri.
Kehilangan mereka berdua? Tidak!
Sang dokter meminta perawat untuk menjaga Nara sementara dia mengajak Yoga berbicara di luar kamar.
"Akibat perbuatanmu, dia menjadi seperti ini. Masih beruntung tidak sampai menjadi gila, karena wanita itu mengalami depresi akut dan trauma luar biasa."
"Harusnya dia mendapat dukungan dan kasih sayang dari orang-orang terdekatnya, keluarganya dan orang yang dicintainya. Bukan malah terkekang olehmu dan semakin tertekan karenanya."
Mereka berdua melanjutkan pembicaraan di ruang tengah, sembari menikmati kopi yang telah disiapkan oleh Bibi Asih.
"Aku suaminya, aku mencintainya dan aku bisa menjaganya ...!"
"Tapi kamu bukan siapa-siapa bagi dirinya! Ingat itu."
Dokter sebaya Yoga itu adalah sahabat karibnya. Mereka berteman sedari mereka kecil karena orangtua mereka berhubungan baik.
Dan semua cerita tentang Nara, dokter bernama Ardi itu tahu dari Yoga sendiri. Semua tentang Yoga dia telah mengetahuinya, sama seperti sebaliknya, Yoga juga tahu semua cerita tentang dirinya.
"Aku tahu kamu mencintainya, ingin menjadikannya sebagai istrimu dan ibu dari anakmu. Tapi caramu mendapatkannya sudah salah dari awal. Dan itu bukan sekedar kesalahan kecil," ucap Ardi.
"Kamu sudah merampas paksa kesuciannya dan bagi seorang wanita itu adalah kesalahan tak termaafkan sekalipun kau sudah menebusnya dengan menikahinya!" lanjut dokter yang masih bisa dikatakan muda itu, belum genap tiga puluh tahun usianya, sama seperti Yoga.
"Tapi aku tidak punya waktu lagi. Aku tidak mau kehilangan Nara, juga kesempatan untuk memiliki anak dari wanita yang aku cintai ...."
Ardi menggelengkan kepala seraya memegang keningnya. Dia tidak memahami maksud dari kalimat yang diucapkan Yoga. Dia juga tidak mengerti jalan pikiran sahabatnya, sampai nekat melakukan perbuatan rendah seperti itu.
"Kau seperti bukan dirimu, Ga."
Malam semakin larut. Ardi bersiap untuk kembali ke klinik miliknya bersama perawat yang tadi diajak serta bersamanya.
"Buatlah dia bahagia dengan caranya, bukan caramu. Biarkan dia melakukan apa yang ingin dia lakukan. Jaga suasana hatinya agar dia tetap merasa senang dan tenang. Saat ini hanya itu yang bisa membuat kesehatannya membaik."
Mau tak mau Yoga mengangguk mengiyakan ucapan Ardi. Dia tidak mau kehilangan Nara juga calon bayinya.
"Oya, satu lagi. Ini adalah saranku sebagai sahabat, bukan sebagai dokter. Biarkan dia bertemu dengan Alan, karena itu bisa membuat hatinya merasa lebih tenang. Bagaimanapun juga, untuk masalah cinta dan perasaan, kamu tidak akan bisa menggantikan posisi lelaki itu di hatinya."
Pedih rasanya hati Yoga mendengar kata-kata telak dari mulut Ardi, sangat mengena dan tepat sasaran di hatinya.
"Tidak usah merasa sakit hati dengan ucapanku yang memang benar ini. Ingat, mereka berdua jauh lebih sakit hati daripada dirimu. Bukan hanya sakit hatinya, tapi sudah hancur berkeping-keping karena kamu telah memisahkan dua orang yang saling mencintai dengan paksa dan licik," tandas Ardi lagi.
Yoga tidak membalas dan tidak bereaksi lagi. Setelah perawat keluar dari kamar Nara, Ardi pun segera pamit dan meninggalkan kediamannya Yoga bersama perawatnya.
Yoga pergi ke kamar Nara untuk melihat kondisi istrinya. Ada Bibi Asih yang berjaga di sana, duduk di sofa tak jauh dari tempat tidur.
"Apa dia sudah sadar, Bi?"
"Iya, Mas. Tadi Mbak Nara sudah bangun sebentar. Tapi setelah minum obat yang diberikan oleh perawat, dia kembali tertidur."
"Baiklah. Bibi kembali ke kamar saja, ini sudah sangat larut. Maaf sudah mengganggu waktu istirahat Bibi."
Yoga melangkah mendekati tempat tidur sementara Bibi Asih keluar meninggalkan kamar Nara.
Yoga duduk di tepi tempat tidur sembari menatap wajah pucat pasi Nara yang tengah terlelap. Baru kali ini, dia bisa berdekatan dengan Nara, setelah kejadian di kamar pribadinya satu bulan yang lalu dan ijab qobul tadi pagi.
"Aku mencintaimu, Ra," bisiknya sangat pelan.
Dengan hati-hati dia memajukan wajahnya untuk mencium kening istrinya. Jantungnya berdegup kencang merasakan sesuatu yang aneh saat kembali memuaskan diri memandangi wajah cantik Nara.
Maafkan aku. Tolong maafkan aku ....
Dibelainya pipi halus wanita itu, lalu dirapikannya helaian rambut yang menutupi sebagian wajahnya dan diselipkan di balik telinga.
Terakhir, digenggam dan diciumnya tangan Nara dengan penuh rasa cinta, sebelum dia berpindah ke sofa untuk merebahkan diri dan melepaskan penat yang dirasakannya di sekujur tubuh.
.
.
.
Pagi menjelang bersama sang mentari yang masih malu-malu memancarkan sinar hangatnya. Nara sudah terbangun sejak adzan berkumandang. Dia bersuci di atas tempat tidur lalu menunaikan sholat subuh dengan khusyuk.
Sebenarnya dia ingin mandi dan berganti pakaian, tetapi belum ada seseorang yang bisa dia mintai tolong untuk mengantarnya ke kamar mandi.
Sekilas matanya melirik ke arah sofa. Yoga masih pulas di sana dan Nara pun merasa lega sekaligus was-was.
Dia mencari ponselnya yang sedari kemarin tidak dilihatnya. Dia ingin menghubungi orangtuanya, juga Alan. Setidaknya hati dan pikirannya akan merasa lebih tenang jika bisa berbicara dengan mereka.
Di saat pandangannya masih terus mencari keberadaan ponsel miliknya, tiba-tiba sebuah tangan terulur tepat di depan wajahnya. Di genggaman tangan itu ada benda pipih yang sedari tadi dicarinya.
"Ini milikmu," ucap Yoga yang sudah berdiri di samping tempat tidur.
Nara diam dan segera menarik ponselnya dari tangan Yoga. Tanpa mempedulikan keberadaan lelaki itu, tangan Nara langsung membuka satu per satu pesan yang didominasi dengan pesan dari ibunya dan Alan.
"Aku akan kembali ke kamarku. Jika kamu ingin membersihkan dirimu atau membutuhkan sesuatu, tunggulah sampai ada yang datang dan membantumu."
Yoga menatap Nara yang masih pura-pura sibuk dengan pandangan tertuju pada layar ponselnya yang menyala terang.
Menghela nafas berat, lelaki itu berjalan menjauh dari tempat tidur lalu keluar dan menghilang di balik pintu yang sudah tertutup kembali.
Nara menghela nafas lega dan segera menyandarkan tubuhnya pada kepala tempat tidur. Setelah menyamankan posisi duduknya, dia kembali membuka pesan dari lelaki yang dicintainya.
Wanita itu tersenyum melihat banyaknya pesan yang sudah dikirimkan Alan untuknya sejak kemarin. Semua pesan tersebut berisi pertanyaan tentang kondisinya.
Nara segera membalas pesan untuk Alan dan menuliskan bahwa dirinya baik-baik saja, padahal di tangannya masih tertancap jarum infus di mana kantong infusnya tergantung pada tiang khusus di samping tempat tidur.
Tak lama kemudian, ponsel Nara berdering menandakan adanya panggilan masuk dari seseorang. Matanya berbinar indah meskipun masih sayu. Dia menggeser tombol hijau ke arah samping dan langsung terdengar suara yang amat sangat dirindukannya.
Ra, bagaimana keadaanmu di sana?
.
.
.
Jangan lupa untuk selalu menyemangati kami dengan Like, Komentar, Bintang 5, Vote & Favorit.
Terima kasih banyak untuk semua pembaca yang telah berkenan membaca dan menikmati novel kami.
Salam cinta dari kami.
💜Author💜
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 316 Episodes
Comments
✹⃝⃝⃝s̊S Good Day
Mungkin, emang Yoga jodohnya Nara.
2022-04-23
0
Lovely
Mas Yoga, ada apa denganmu? apakah kamu punya penyakit serius? oke, lanjut dulu
2021-02-15
1
🅶🆄🅲🅲🅸♌ᶥⁱᵒⁿ⚔️⃠
ya mskpn sakit teramat perih dan sangat dalam tapi shrsnya Nara TDK berhubungan dgn lelaki yg bkn muhrimnya sbg hamba Allah yg taat
2021-01-17
4