Sore harinya Alan datang ke villa tempat Nara menginap. Meskipun awalnya berusaha menolaknya, akhirnya Nara keluar dan menemui Alan di beranda.
Nara terus terdiam tanpa kata. Dia menatap ke arah depan yang memperlihatkan suasana alam yang hijau menyegarkan dengan kabut tipis yang mulai menghalau pandangan.
"Ra ...."
Alan terus memaku pandangannya ke arah samping, di mana Nara duduk bersekat meja dengannya.
"Katakan saja apa yang ingin kamu sampaikan, atau aku akan masuk kembali."
Alan menghela nafas panjang. Sangat.sulit baginya meredam rasa rindu yang tengah menyeruak di permukaan hatinya saat ini. Tetapi mengapa sikap Nara semakin dingin padanya, bahkan menatapnya pun Nara menghindarinya.
"Mengapa kamu berubah, Ra? Ada apa denganmu?"
Nara menggeleng tanpa mengalihkan pandangannya. Dia berusaha memantapkan hatinya lagi, tak ingin terbelenggu kenyataan yang bukan lagi menjadi takdirnya.
"Keadaan yang sudah tidak lagi sama, Lan. Kita harus pahami itu. Kita harus menerimanya."
"Keadaan apa yang sudah tidak sama? Apa karena kamu sudah menikah dengan Yoga? Tapi itu bukan kemauan kita, Ra."
"Tapi itu kenyataannya. Kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri. Kenyataan yang harus kita terima dan kita jalani."
Alan terdiam. Kenyataan. Nara mengatakan tentang kenyataan dan itu sangat menusuk hatinya. Kenyataannya memang seperti itu. Nara dan dirinya telah terpisahkan oleh takdir.
"Jangan lagi memaksakan keadaan. Itu sama saja kamu telah menentang takdir, Lan."
"Takdirmu saat ini memang bersama dengannya. Tapi sadari juga kenyataannya, hatimu masih untukku, Ra. Cinta kita masih tersimpan di hatimu."
Ucapan Alan berhasil membuat Nara memalingkan wajahnya dan menatap ke arah lelaki itu. Alan segera membalas tatapan itu. Tatapan mata yang tertuju lurus untuknya dan sanggup menggetarkan seluruh ruang di hatinya.
"Saat ini hatiku bukan lagi milik siapa pun. Tapi ragaku, ragaku sudah menjadi milik Yoga, bukan lagi milikmu."
Sekuat tenaga Nara berusaha mengatakan semua yang harus dikatakannya pada Alan. Dia hanya ingin terus menyampaikan kenyataan yang ada di antara mereka.
"Ra?" Alan terkejut mendengar kejujuran Nara.
"Benarkah itu? Benarkah Yoga sudah berhasil menggantikan posisiku di hatimu, Ra?"
"Sudah kukatakan tadi, hatiku bukan milik siapa pun lagi. Tidak kamu, tidak pula dia! Kalaupun ada yang akan memilikinya, itu adalah anakku. Dialah yang akan memiliki seluruh diriku, cintaku, hatiku, jiwa dan ragaku."
Pandangan Nara telah beralih ke bawah, menatap penuh kasih sayang ke arah perutnya yang sudah dielusinya dengan mata berair.
"Kamulah kekuatan Ibu, Nak. Tetap bersama Ibu ya, Sayang."
Seketika mata Alan ikut berkaca-kaca melihat sikap Nara yang berubah sendu saat memandang perutnya dengan lembut.
"Anak itu akan selalu mengikatmu dengannya, Ra. Lalu, aku bisa apa lagi ...?"
Dia mulai mengerti sekarang. Mungkin inilah yang dimaksud oleh Nara. Sesuatu yang sedari dulu ingin Nara jelaskan padanya, namun belum bisa dia terima sepenuhnya.
Sekarang, bukan lagi masalah hati, jiwa atau pun raga yang bicara. Tetapi kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan yang sudah terjadi dan yang akan terjadi berikutnya.
Kenyataan bahwa Nara bukan lagi miliknya, tetapi sudah menjadi milik Yoga sebagai suaminya. Takdir pertama yang nyata-nyata telah memisahkan dirinya dan Nara. Siapa yang berani menentang takdir Yang Maha Kuasa?
Kenyataan yang lain, bahwa tak lama lagi akan hadir kehidupan baru yang akan semakin mengikat hubungan Nara dan Yoga menjadi lebih erat.
Kehadiran seorang putra yang akan menjadikan sepasang suami-istri itu sebagai orangtua yang sesungguhnya. Orangtua yang akan merawat dan membesarkan sang putra bersama-sama dengan curahan cinta dan kasih sayang yang tak terhingga.
Di saat Alan mulai menyadari semuanya, di saat yang sama Nara masih larut dalam ingatannya tentang Yoga dan juga calon anak di dalam kandungannya.
Sekuat hati Nara menahan air matanya agar tidak sampai menetes lagi. Dia tidak boleh terlihat lemah di hadapan siapa pun.
Dia harus kuat menghadapi Alan yang masih terus berbicara tentang hubungan mereka. Tentang cerita mereka, cinta mereka dan harapan masa depan mereka.
Di sisi yang lain, dia juga harus kuat untuk menghadapi Yoga yang selalu keras dan arogan dalam setiap kata-kata dan perbuatannya.
Meskipun pada pertemuan terakhir mereka dan beberapa telepon berikutnya, sikap lelaki itu sudah berubah lebih baik, tetapi Nara masih belum bisa melupakan apa yang sudah diperbuat oleh Yoga dulu.
Goresan luka yang ditorehkan lelaki itu masih begitu perih dan menganga lebar. Bahkan akibatnya pun akan selamanya melekat erat padanya, yaitu seorang anak yang akan lahir dari perbuatan paksa Yoga kepadanya.
Nara memang tidak ingat dan tidak merasakannya saat peristiwa kelam itu terjadi padanya. Namun tetap saja trauma itu membekas dalam hidupnya dan akan membayangi selamanya.
Bayangan saat dia terbangun di atas tempat tidur yang asing baginya, dengan tubuh yang hanya tertutupi selimut, dan bersama lelaki lain yang hanya dikenalnya sebagai atasan dari calon suaminya.
Ditambah lagi secara bersamaan, dia melihat Alan masuk ke dalam kamar dan mendapati dirinya bersama Yoga. Seketika hanya tangisan yang bisa ditumpahkannya saat itu.
Rasa malu, marah, sedih, risih dan jijik pada diri sendiri, membuatnya begitu terpuruk hingga beberapa waktu berikutnya hanya bisa meratapi nasib buruk yang menimpanya.
"Maafkan aku, Lan. Aku tidak ingin lagi memberimu harapan semu. Untuk apa mempertahankan perasaan kita, jika kita sendiri sudah tahu bahwa perasaan itu tidak akan pernah bersambut bahagia ...."
"Seperti aku yang telah menjalani apa yang seharusnya saat ini, aku minta kamu juga melakukan hal yang sama. Lihatlah ke depan dan carilah kebahagiaanmu di sana. Jangan lagi terbelenggu masa lalu yang tidak akan pernah kembali dan tidak akan kamu miliki lagi!"
"Tidak semudah itu, Ra. Apalagi jika kita terpaksa untuk melakukannya ...," sanggah Alan.
"Jangan mengatakan itu sulit jika kamu belum pernah mencobanya!"
Bibi Asih muncul membawa nampan berisi teh hangat untuk mereka berdua. Setelah itu dia menyerahkan ponsel Nara yang tertinggal di meja makan.
"Silakan diminum, Mas Alan," ucap Bibi.
Alan mengangguk dan mengucapkan terima kasih, lalu mengambil salah satu cangkir dan meminumnya.
Bibi Asih menyerahkan ponsel Nara yang dibawanya dari dalam.
"Mbak, ini ponselnya Mbak Nara ketinggalan. Tadi beberapa kali berdering."
"Terima kasih, Bi."
Nara menerima dan memeriksanya. Bibi Asih pun pamit untuk kembali ke dapur.
Ada panggilan lagi, dari Yoga. Nara melirik ke arah Alan, dia ragu untuk menerima panggilan telepon itu di depan Alan.
Tapi lagi-lagi, gerakan tangannya tak bisa dikendalikan. Di saat dirinya masih bimbang, tangannya sudah menggeser tombol hijau untuk menerimanya.
Bahkan tanpa disadari, pengeras suaranya sudah dalam kondisi menyala, sehingga Alan bisa mendengarkan percakapan Nara dan Yoga.
"Ra ...."
.
.
.
Jangan lupa untuk selalu menyemangati kami dengan Like, Komentar, Bintang 5, Vote & Favorit.
Terima kasih banyak untuk semua pembaca yang telah berkenan membaca dan menikmati novel kami.
Salam cinta dari kami.
💜Author💜
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 316 Episodes
Comments
Ai Hodijah
sekarang tarik napas dulu huh
nyeseknya gak kuat
2023-04-01
0
Elly Sari Narulita
ya ampyunnnnn...
menangis Bombay banget ini 😭😭
2022-10-24
0
Zabdan N Iren
bawaan bayi mungkin kah atau gimana ya
2022-06-02
0