Deggg ...!!!
Nara buru-buru menurunkan pandangannya setelah merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tidak bisa mengartikan perasaannya saat ini. Takut, marah, benci, atau yang lainnya.
Dia ingin segera pergi dan menghindari situasi tersebut, tapi lagi-lagi Yoga menahannya.
"Duduklah dulu. Aku ingin berbicara sesuatu."
Nara belum bergerak dari tempatnya berdiri.
"Sebentar saja!"
Suara Yoga semakin melembut membuat Nara duduk di depan lelaki itu tanpa menatapnya sama sekali. Dia hanya menunggu sambil menunduk mengusapi perutnya.
Untuk sesaat Yoga merasakan desiran indah menyapa hatinya, melihat pemandangan luar biasa di hadapannya. Istri yang dicintainya tengah mengusap perutnya dengan lembut, yang di dalamnya tengah tumbuh dan berkembang calon bayi mereka, calon putra mereka.
"Hemm ...." Nara yang merasa sedang diperhatikan merasa risih dan mengeluarkan suara kecil hingga membuyarkan kelana pikir Yoga.
Lelaki itu tersenyum lalu menatap secangkir kopi buatan Nara di tangannya, kemudian mulai mencecapnya sedikit demi sedikit.
"Kopi ternikmat ...."
"Malam ini aku akan berangkat. Aku belum bisa memastikan kapan aku akan pulang. Satu minggu, satu bulan, atau lebih dari itu ...."
Yoga mendesah pelan, seakan berat untuk menyampaikan semuanya.
"Dan selama aku pergi, selama aku tidak ada, aku mengijinkanmu untuk melakukan apa pun yang kamu mau. Lakukan semua yang kamu inginkan, termasuk bertemu dengan keluargamu ..., juga Alan."
Nara tak percaya dengan pendengarannya sendiri. Sontak dia mengangkat kepalanya, menatap ke arah Yoga. Yang ditatapnya pun hanya mengangguk untuk meyakinkan istrinya. Keangkuhannya masih terlihat meskipun samar.
"Apa maksudnya? Tadi di klinik, jelas-jelas dia tegas menolak keinginanku. Tapi sekarang ...."
"Aku hanya minta satu hal yang harus kau penuhi. Jaga kesehatanmu dan calon anak ... kita." Nada suara lelaki itu kini datar, tidak lagi selembut di awal tadi, tapi juga tidak menjadi tinggi seperti biasanya.
Terlihat Nara pun sedikit bereaksi saat Yoga menyebutkan tiga kata di akhir kalimatnya dengan ucapan yang sempat terputus. Dia kembali menunduk lalu mengusapi perutnya. Yoga memperhatikan gerakan tangan itu dan terus melihat ke arah perut Nara.
"Calon anak kita. Anakku dan anakmu, Ra ...."
"Kamu bisa pergi dan keluar dari rumah ini, tetapi aku akan tetap memberikan pengawalan untuk menjagamu."
Nara masih terdiam. Ada rasa lega, gembira dan bahagia..., tetapi terselip juga rasa khawatir, takut dan tidak nyaman.
"Sekarang beristirahatlah!"
Yoga menghabiskan sisa kopinya dan meletakkan cangkir di atas meja. Dia berdiri lebih dulu, hendak masuk ke dalam kamar pribadinya.
"Terima kasih untuk kopinya."
Setelah mengucapkannya, Yoga melangkah pergi meninggalkan Nara yang masih duduk terpaku. Wanita itu masih merasa aneh dengan perubahan sikap Yoga yang melunak kepadanya.
Sayup-sayup terdengar lantunan suara adzan. Nara bangkit dari duduknya dan berjalan memasuki kamarnya untuk menunaikan kewajiban.
.
.
.
"Temani aku makan malam. Aku tunggu."
Nara membaca pesan dari Yoga dengan heran. Ini pertama kalinya lelaki itu berkomunikasi dengannya melalui pesan singkat.
Nara masih enggan menanggapi isi pesan itu. Dia kembali membuka media sosial miliknya dan menyimak beberapa kabar terbaru.
Tak lama kemudian, ponselnya kembali berdering. Ada panggilan masuk, dari Yoga.
Panggilan pertama, Nara tak mengindahkannya. Panggilan kedua, dia masih mengabaikannya. Sampai pada panggilan ketiga, dia baru menggeser ikon telepon hijau yang tampak di layarnya ke arah kanan.
Diam. Dia tidak bersuara sama sekali. Menunggu sang penelepon yang lebih dulu berbicara.
"Aku tunggu di ruang makan."
Terdengar suara Yoga, setelah itu sambungan telepon terputus.
Karena memang sudah waktunya makan malam dan dia juga merasa lapar, akhirnya Nara keluar dari kamar. Dia tidak ingin calon bayinya kekurangan asupan gizi di dalam sana.
Dilihatnya Yoga sudah duduk sendiri menunggu dengan ponsel yang masih menyala terang di tangannya.
Karena Nara datang dari arah belakang Yoga, tanpa sengaja dia bisa melihat layar ponsel lelaki itu, yang menampilkan foto dirinya sebagai wallpaper. Foto lama Nara yang entah kapan diambilnya dan disimpan di dalam galeri ponsel Yoga.
Nara berjalan melewati Yoga dan duduk di seberangnya. Hidangan makan malam sudah tersaji lengkap di atas meja di hadapan mereka.
Setelah Nara duduk, mereka mulai menikmati makan malam berdua untuk pertama kalinya. Sebelumnya, Yoga selalu makan seorang sendiri karena setiap hari Nara memilih untuk makan di dalam kamarnya.
Yoga menikmati makanannya dengan hati bahagia. Ada Nara bersamanya, merupakan momen yang selalu diimpikannya selama ini. Meskipun wanita itu hanya diam dan terus menghindari kontak mata dengannya.
Sesaat setelah mereka menyelesaikan makan malam penuh kenangan bagi Yoga, Beno datang dan menghampiri atasannya.
"Maaf, Pak. Satu jam lagi pesawatnya akan berangkat. Kita harus segera pergi ke bandara."
Yoga mengangguk lalu memberi tanda dengan tangannya, agar Beno menunggunya di luar. Dia menghabiskan air putih di gelasnya kemudian menatap lekat-lekat wajah Nara dengan hati yang mulai tak menentu.
Tiba-tiba rasa sesak kembali dirasakannya. Dadanya terus berdebar sedemikian hebatnya, dengan degup jantung yang sudah tidak bisa dia kendalikan lagi, seolah sama-sama berpacu dengan waktu yang terus berputar mendekati saat kepergiannya.
Dia tak ingin meninggalkan Nara, juga calon anaknya, calon anak mereka. Tapi dia tetap harus pergi, tanpa bisa ditundanya lagi.
Yoga berdiri bersamaan dengan Nara yang juga berdiri dan mulai melangkah menuju kamarnya, yang mana itu berarti harus kembali melewati posisi lelaki itu.
Dengan segera Yoga menahan langkah Nara dengan memasang tubuhnya saat wanita itu sampai di dekatnya.
"Tunggu dulu!"
Nara berhenti tanpa melihat sedikit pun ke arah Yoga. Dia hanya menunduk, diam dan menunggu.
"Sebelum aku pergi, aku ingin pamit pada calon anak kita."
Bagai sebuah mantra sihir, setiap Yoga mengucapkan tiga kata itu, hati Nara melemah seketika. Rangkaian tiga kata itu membuatnya luluh, tidak bisa menolak permintaan Yoga. Bagaimanapun juga, dialah ayah dari bayi yang tengah dikandungnya.
Melihat Nara yang tidak menunjukkan sikap penolakan, Yoga maju selangkah lagi hingga mereka berdua hampir tak berjarak.
Menurunkan tubuhnya dan berlutut di depan Nara, sekarang wajah Yoga sudah berada tepat di hadapan perut Nara yang terlapisi dress rumahan yang dikenakannya.
Nara mengangkat kepalanya, menatap ke arah lain, sembari menahan pedih matanya yang mulai berair. Sepertinya hormon kehamilan mulai mempengaruhi perasaannya, yang semakin mudah terbawa suasana.
"Papa pergi dulu, Nak. Tumbuhlah menjadi anak yang sehat dan kuat. Jaga mama kamu. Papa mencintai kalian berdua..."
Hati Nara berdesir halus mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan Yoga dengan penuh perasaan. Kedua tangan lelaki itu menangkup lembut perut Nara, dan mengusapinya dengan pelan, seperti yang setiap malam selalu dilakukannya, tanpa sepengetahuan Nara.
Tanpa terduga, Yoga menggerakkan wajahnya menempel ke perut Nara. Dia menciumnya dengan mata tertutup dan diiringi doa terbaik dari dalam hati.
Nara memejamkan matanya dan menahan nafasnya seketika, saat merasakan ciuman lelaki itu di ujung perutnya. Refleks kedua tangannya bergerak memegang perutnya, dan lagi-lagi tanpa sengaja, tangan itu bersentuhan dengan tangan Yoga yang masih berada di sana.
Deggg...!!!
Dan di detik yang sama pula, untuk pertama kalinya, Nara merasa telah mengkhianati Alan, karena membiarkan Yoga menyentuh tubuhnya.
.
.
.
Jangan lupa untuk selalu menyemangati kami dengan Like, Komentar, Bintang 5, Vote & Favorit.
Terima kasih banyak untuk semua pembaca yang telah berkenan membaca dan menikmati novel kami.
Salam cinta dari kami.
💜Author💜
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 316 Episodes
Comments
Zabdan N Iren
perrrriiih
2022-06-02
0
ratu adil
muga nara bsa membuka hti buat yoga dan alan menemjkn cnta yg sbnrx
2022-05-25
0
Huzi_toys
kurasa ini memang rencana yoga, cara biar nara luluh hatinya😊😊🥰 dilembut2in dlu
2022-03-01
0