"Ini bukan semata keinginanku, tapi keinginan calon anakmu juga ...!!!"
Yoga tersentak. Kalimat terakhir Nara membuat tubuhnya menegang seketika. Tetapi bukan amarah lagi yang dia rasakan, melainkan perasaan haru yang membahagiakan hatinya.
"Calon anakku ...."
Yoga tidak ingin berdebat di tempat itu. Dia memilih pergi begitu saja meninggalkan Nara yang mulai menahan tangis.
Bunga mendekati Nara dan menatap Ardi dengan pandangan iba pada wanita hamil di sampingnya. Ardi yang mengerti maksud kekasihnya, menganggukkan kepala.
"Antarkan Nara ke mobil," ucap Ardi dengan lembut.
Nara berdiri dan pamit, lalu berjalan keluar didampingi oleh Bunga.
Setelah semua orang pergi, Ardi mengambil ponsel yang sedari tadi disembunyikannya di ujung meja dalam kondisi menyalakan panggilan.
Dia tersenyum menatap layar dengan panggilan yang masih terhubung itu.
"Halo ...! Datanglah ke ruanganku." Lalu dia mengakhiri panggilannya.
Tak lama kemudian pintu ruang terbuka, Bunga masuk, menutup pintu dan segera menghampiri Ardi yang sudah berdiri menyambutnya. Mereka saling melempar senyuman lalu berpelukan dengan erat.
"Aku mencintaimu, Bungaku." Selalu kalimat itu yang diucapkan oleh Ardi setiap kali bertemu dengan kekasihnya.
Perawat cantik itu hanya tersenyum membalas ucapan dokter cintanya. Dia sudah terbiasa dengan ungkapan mesra sang dokter setiap hari.
Ardi menatap Bunga dengan pandangan penuh cinta. Perlahan diciumnya kening Bunga, lalu turun menyapa bibir manis sang kekasih. Untuk sejenak mereka berciuman, mencuri waktu di sela kesibukan kerja di klinik ibu dan anak milik Ardi.
Ciuman mereka terhenti saat terdengar ketukan di pintu ruangan Ardi. Bunga segera membersihkan bibirnya juga bibir Ardi, kemudian membukakan pintu untuk seorang tamu.
"Silahkan masuk, Pak." Dan lelaki itu pun tersenyum ramah lalu melangkah menuju meja kerja sang dokter.
"Bagaimana kondisinya?" tanya sang tamu dengan mimik serius.
"Seperti yang kau dengar tadi. Semuanya baik-baik saja. Nara semakin sehat dan kandungannya pun semakin kuat. Dia sudah bisa beraktivitas normal asalkan tidak berlebihan."
Tamu itu mengangguk dan menunjukkan raut kelegaan di wajahnya. Dia bersyukur Nara bisa melewati masa-masa sulitnya, meski harus berjuang sendiri di sana. Tanpa keluarganya, juga tanpa dirinya lagi.
"Tapi sepertinya, untuk ke depan, aku tidak bisa membantumu terlalu banyak. Nara sudah sehat dan Bunga sudah tidak perlu menjaganya lagi."
Lagi-lagi sang tamu mengangguk dengan senyuman kepasrahan.
"Ya, aku mengerti. Kalian berdua sudah banyak sekali membantuku. Aku minta maaf sudah merepotkan kalian. Dan terima kasih juga atas semua bantuannya," ucap lelaki itu tulus.
"Bunga, terima atas segala bantuanmu selama ini sehingga aku masih bisa terus memantau keadaan Nara di sana. Terima kasih banyak." Lelaki itu menatap sang perawat.
Bunga yang berdiri di samping Ardi pun tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Sama-sama, Pak. Saya hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Pak Alan dan Ibu Nara," balas Bunga dengan tulus.
"Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Ardi kepada tamunya yang tak lain adalah Alan.
Alan menggeleng pelan.
"Aku juga belum tahu. Aku masih bingung. Yang pasti aku hanya mengkhawatirkan keadaan Nara. Apalagi aku dengar dari teleponmu tadi, Yoga kembali emosi dan bersuara keras padanya."
Ardi bisa melihat gurat kecemasan bercampur kemarahan di wajah Alan yang menegang. Dia mencoba sedikit mengalihkan pembicaraan.
"Kalau dipikir-pikir, aku ini seperti pengkhianat. Bersahabat sejak kecil dan sangat dekat dengan Yoga, tapi sekarang di belakangnya aku malah membantumu untuk memantau keadaan Nara yang tinggal bersamanya ...."
"Aku juga sahabatmu, Di. Meskipun kita baru kenal beberapa tahun ini."
Ardi tergelak sendiri menyadari keputusan yang sudah diambilnya beberapa bulan ini. Keputusan untuk membantu Alan tanpa sepengetahuan Yoga. Bahkan dia juga melibatkan Bunga kekasihnya dalam aksinya tersebut.
Tiga bulan yang lalu, tepatnya sejak Nara diketahui hamil dan kemudian dinikahi paksa oleh Yoga, kehamilan wanita itu langsung ditangani oleh Ardi atas permintaan Yoga.
Sejak saat itulah Alan mulai mencari tahu tentang kondisi Nara berikut kehamilannya melalui Ardi. Terlebih lagi saat itu, kondisi Nara sedang berada pada titik terlemahnya sehingga perkembangan janinnya pun ikut beresiko tinggi.
Entah karena alasan apa tepatnya, Ardi merasa tidak tega melihat keputusasaan Alan, juga ketidakberdayaan Nara yang harus hidup bersama lelaki yang telah menodai kesuciannya demi untuk memilikinya dan menikahinya dengan paksa.
Akhirnya Ardi berinisiatif menugaskan Bunga sebagai perawat yang diminta Yoga untuk menjaga Nara di kediamannya, selama wanita itu diharuskan untuk beristirahat total, demi pemulihan kesehatan ibu dan bayi di dalam kandungannya.
"Jika cinta kalian tulus satu sama lain, pasti akan selalu ada jalan terbaik untuk melewati semua ujian ini!"
Ardi mencoba memberikan semangat pada Alan. Dia adalah salah satu orang yang menjadi saksi perjalanan kisah cinta Alan dan Nara yang begitu indah dan luar biasa. Namun siapa sangka, semua itu tiba-tiba harus berakhir begitu saja karena tindakan buruk seorang Yoga.
"Aku harap demikian, Di. Apa pun yang kulakukan ini hanya untuk dirinya. Aku ingin dia selalu bahagia, itu saja. Dan aku akan memastikan hal itu dirasakan oleh Nara, meskipun tanpa aku bersamanya."
"Setidaknya setiap waktu pemeriksaannya tiba, aku masih bisa melihat kehadirannya di sini, walaupun aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Itu sudah lebih dari cukup untuk mengobati kerinduanku padanya."
Ardi mengangguk dan mengacungkan dua jempol tangannya untuk Alan.
"Jika masih ada yang bisa kami lakukan untuk kalian, katakan saja! Dengan senang hati kami selalu siap membantu."
"Sekali lagi terima kasih. Aku pun selalu mendoakan yang terbaik untuk cinta kalian." Alan mengucapkan doa tulus untuk sepasang kekasih di hadapannya.
.
.
.
Sementara itu di kediaman Yoga, Nara meneruskan langkahnya menuju dapur. Dia sudah mulai membiasakan diri untuk melakukan kegiatan ringan di dalam rumah dan di halamannya yang luas.
Dia menyapa Bibi Asih dan dua asisten lain yang sedang sibuk menyiapkan hidangan untuk makan malam. Nara hanya ingin mengambil air minum untuk dibawanya ke dalam kamar.
Langkahnya tertahan begitu melihat Yoga sudah berdiri menghalangi jalannya. Nara diam, tidak bergeming juga tidak bersuara.
"Bisakah aku minta tolong padamu? Buatkan aku secangkir kopi. Aku akan menunggu di sofa ruang tengah."
Nara ingin menolak tapi Yoga melanjutkan ucapannya.
"Aku akan pergi ke luar kota untuk beberapa hari, atau mungkin lebih lama lagi. Sekali ini saja, tolong penuhi permintaanku, sebagai suamimu! Dan lakukan saja itu, sebagai seorang istri!"
Hati Nara bergulat. Suami? Istri? Ya, mereka memang sepasang suami-istri yang sudah menikah hampir tiga bulan lamanya. Bukan pernikahan yang sewajarnya, karena hanya didasari keterpaksaan semata.
Namun pernikahan tetaplah pernikahan. Ikatan mereka sah di mata Allah dan resmi di hadapan hukum negara. Ada hak dan kewajiban masing-masing yang harus mereka tunaikan satu sama lain.
Nara sadar, selama ini dia tidak pernah melakukan perannya sebagai seorang istri dan menjalankan kewajibannya. Toh, Yoga pun tidak pernah bersikap dan bertindak sebagaimana mestinya seorang suami. Mereka impas.
Tetapi, entah mengapa sekarang, di saat Yoga mengucapkan satu permintaan padanya sebagai seorang suami, Nara merasa ragu untuk langsung menolaknya. Apalagi Yoga mengucapkannya dengan suara rendah, tak seperti biasanya.
Padahal biasanya, setiap ucapan lelaki itu, apa pun maksud dan tujuannya, dia selalu menolaknya mentah-mentah karena terpancing oleh nada tinggi dalam setiap perkataan Yoga.
Tapi kalimat "sekali ini saja" yang didengarnya tadi, begitu menusuk hatinya, seolah menunjukkan ketidakpedulian seorang istri yang tidak pernah mengurusi kebutuhan suaminya. Dan itu ditujukan untuk dirinya.
Nara tidak ingin memikirkannya lebih lanjut dan sedang tidak ingin berdebat. Akhirnya dia memilih berbalik badan dan kembali ke dapur untuk memenuhi permintaan Yoga, sebagai seorang istri. Hanya permintaan sederhana, pikirnya. Mengapa tidak?
Tak butuh waktu lama, Nara sudah membawa secangkir kopi dengan uap yang masih mengepul, lalu diserahkannya langsung kepada Yoga yang sudah duduk di sofa.
Dengan wajah dipenuhi senyum bahagia, Yoga menerimanya dan tanpa sengaja tangan mereka bersentuhan. Seketika Nara tersentak dan menatap Yoga yang lebih dulu sudah menatapnya sedari tadi.
Deggg ...!!!
.
.
.
Jangan lupa untuk selalu menyemangati kami dengan Like, Komentar, Bintang 5, Vote & Favorit.
Terima kasih banyak untuk semua pembaca yang telah berkenan membaca dan menikmati novel kami.
Salam cinta dari kami.
💜Author💜
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 316 Episodes
Comments
prodi kelas pati
jangan terlalu membenci atau terlalu mencintai karena ada Allah yang membolak-balik kan hati
2022-07-27
0
Zabdan N Iren
👀👀👀👀👀👀
2022-06-02
0
Huzi_toys
wah wah wah sdh ada kemajuan lah alhamdulillah😊😊
2022-03-01
0