Satu bulan berlalu, Yoga belum juga kembali. Nara sendiri tidak tahu lelaki yang berstatus suaminya itu pergi ke mana dan dalam rangka apa. Saat itu Yoga hanya mengatakan akan pergi karena ada urusan penting yang sangat mendesak.
Bertanya lagi pada Yoga untuk memastikan, tak mungkin Nara lakukan meskipun beberapa hari sekali suaminya itu rutin menghubunginya.
Hanya pada Beno, Nara bisa mencari informasi tentang Yoga. Namun sang asisten pun tidak tahu di mana dan apa yang sedang dilakukan atasannya selama pergi tanpa jejak.
Yang dia tahu, Yoga sudah empat kali pergi penuh rahasia seperti ini. Tiga kali sebelumnya, dia pergi satu bulan sekali selama satu minggu. Tetapi sejak menikahi Nara, baru sekali ini dia pergi lagi dan sudah satu bulan lamanya belum juga kembali.
Beno pernah menanyakannya pada Yoga, tapi sang atasan itu hanya menjawab jika urusan pentingnya belum selesai. Beno juga mencari tahu di mana keberadaan Yoga, namun Yoga tetap tidak mengatakan di mana dia saat ini.
"Aku baik-baik saja di sini. Pastikan saja Nara dan kehamilannya juga dalam keadaan baik-baik saja di sana."
Hanya itu yang selalu disampaikan Yoga kepada Beno, setiap kali mereka tengah berkomunikasi, seperti saat ini. Untuk urusan pekerjaan di perusahaan, dia percayakan sepenuhnya kepada Beno dan para bawahannya.
"Kapan Bapak akan pulang? Besok adalah jadwal pemeriksaan kehamilan Ibu Nara ke klinik Dokter Ardi."
"Aku belum bisa pulang. Kamu temani Nara ke klinik Ardi. Besok aku akan menghubungi Ardi untuk mengetahui hasil pemeriksaan kehamilan istriku."
Beno hanya bisa mengikuti permintaan atasannya.
"Baik, Pak. Besok sore saya akan mengantarkan Ibu Nara bersama ibunya."
Sementara itu di kamarnya, Nara tengah duduk di sofa sambil menatap jauh ke luar jendela.
Satu bulan berada di kediaman Yoga tanpa sang pemilik, justru membuat hati Nara merasa tidak tenang.
Seharusnya dia tidak perlu mencemaskannya, karena Yoga berada jauh darinya sehingga mereka tidak perlu lagi berkeras sikap satu sama lain, seperti yang sering terjadi setiap mereka berdua terlibat dalam sebuah pembicaraan.
Namun entah mengapa, bukannya merasa tenang dengan kepergian Yoga, dia malah semakin gelisah memikirkan lelaki itu.
"Ada apa denganku? Mengapa aku terus saja memikirkannya dan merasa ada hal yang tidak baik terjadi padanya ...?"
Nara mengusapi perutnya yang sudah terlihat membulat. Tiba-tiba dia meneteskan air mata, entah karena apa.
"Apa yang membuatku menjadi seperti ini? Apakah karena kehamilanku ...?"
Dering ponsel miliknya menyadarkan Nara dari lamunannya. Disekanya air mata yang sempat menetes di pipinya, lalu dengan segera meraih ponsel yang dia letakkan di sampingnya.
"Yoga ...."
Sekarang dia sudah terbiasa menerima panggilan telepon dari lelaki itu.
"Ra ...."
Selalu Yoga yang mengawali pembicaraan mereka.
"Ya."
"Nanti sore kamu ke klinik Ardi bersama Ibu, ada Beno yang akan mengantarkan kalian. Maaf, aku belum bisa pulang."
Ada kecewa yang dirasakan Nara saat mendengar Yoga tidak akan menemani memeriksakan kehamilannya kali ini. Dia hanya terdiam cukup lama tanpa menjawab Yoga.
"Ra, kamu marah?"
Nara ingin berkata tidak tapi lidahnya kelu tanpa bisa berucap apa pun, membuat Yoga di sana merasakan perubahan sikapnya juga.
"Kalau kamu tidak mau pergi sendiri, aku akan menelepon Ardi untuk memundurkan jadwal pemeriksaanmu. Aku akan pulang beberapa hari lagi. Apa kamu ingin menungguku pulang?"
Ya, Nara menginginkannya. Tapi dia enggan mengatakannya. Sungguh akhir-akhir ini dia tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Semua hal seolah berbalik arah dari biasanya.
"Akan aku usahakan pulang dalam minggu ini dan aku akan menemani memeriksakan kehamilanmu, Ra."
Tanpa sadar Nara tersenyum mendengar Yoga menuruti keinginannya.
"Jangan marah lagi, Ra. Kamu harus bahagia agar calon anak kita juga tumbuh dengan baik di dalam kandunganmu."
"Aku tidak marah." Nara mengelak.
"Aku hanya sedih tadi, tapi entah karena apa ...."
Nara menghela napas panjang untuk menenangkan diri.
"Baiklah, sekarang kamu istirahat dulu. Aku akan menyelesaikan urusanku dan segera pulang untuk menemanimu."
Nara diam lagi, hanya mendengarkan Yoga sembari mengelus perut buncitnya.
"Aku mencintaimu dan calon anak kita, Ra. Tunggu aku di rumah ...."
Nara sudah terbiasa mendengar ungkapan cinta dari Yoga dengan hati bergetar. Dia tidak lagi marah dan membenci lelaki itu, seperti saat awal-awal dirinya tinggal bersama Yoga.
"Benarkah aku mulai merasa nyaman dengannya, seperti yang pernah dikatakan Alan padaku dulu? Tapi sampai saat ini, aku masih tetap mencintai Alan."
.
.
.
Tiga hari berlalu, Nara masih menunggu Yoga pulang. Namun belum ada tanda-tanda jika lelaki itu akan datang dengan segera. Bahkan sejak perbincangan terakhir mereka, Yoga tidak lagi menghubungi Nara maupun Beno.
Beno sempat membujuk Nara untuk pergi ke klinik Ardi tanpa menunggu Yoga yang belum pasti kapan akan kembali, tetapi Nara menolaknya. Wanita itu tetap bertahan untuk menunggu seperti yang sudah dijanjikan Yoga waktu itu.
Selepas mandi sore, seperti biasa Nara bersiap untuk pergi ke halaman depan, menikmati udara sejuk sore hari sambil memandangi taman yang dipenuhi beragam bunga dan tanaman hias.
Dengan langkah pelan Nara berjalan menuju pintu kamar dan membukanya. Langkahnya terhenti seketika saat melihat Yoga sudah berdiri tegap di depan pintu kamar, menatap ke arahnya.
"Aku pulang, Ra."
Senyum tipis tampak di wajah lelah Yoga yang coba ditutupinya.
"Akhirnya, aku masih bisa bertemu denganmu lagi, Ra."
Nara masih terdiam dalam keterkejutannya. Tanpa sadar dia membalas tatapan mata Yoga tanpa berkedip. Hatinya bergetar lagi.
"Untukmu ...."
Wanita itu tersadar setelah mendengar lagi suara Yoga. Lelaki itu menyerahkan serangkai bunga mawar putih dengan satu tangkai mawar merah di tengahnya.
Nara menerima bunga itu lalu menundukkan wajahnya yang sudah bersemu merah. Dia malu karena ketahuan telah menatap Yoga tanpa sengaja.
"Ayo, kita pergi ke klinik Ardi sekarang."
Yoga menahan lelah yang menderanya demi menuruti keinginan wanita yang dicintainya itu, agar Nara merasa bahagia.
"Aku akan berganti pakaian dulu."
Nara mundur lalu menutup pintu dengan pelan, membiarkan begitu saja Yoga yang masih berdiri di luar sana.
Bersandar di balik pintu, Nara memandangi bunga pemberian Yoga. Mawar putih yang melambangkan ketulusan perasaan, berpadu dengan mawar merah yang mewakili rasa cinta yang dalam.
Nara membawa rangkaian bunga indah itu ke dekat perutnya, dengan satu tangan yang mulai mengusapi puncaknya. Bibirnya terus mengulas sebuah senyuman.
"Ini bunga dari Papamu, Nak ...."
Teringat bila Yoga menunggunya, Nara berjalan dan meletakkan bunga tersebut di atas tempat tidur, lalu dia segera mengganti pakaiannya.
Setelah bersiap dengan singkat, Nara membuka pintu kamar dan menghampiri Yoga yang duduk menunggunya di sofa tengah.
Melihat kedatangan Nara, Yoga langsung sigap berdiri dan mengajak Nara keluar menuju mobil yang sudah disiapkan oleh Beno bersama seorang sopir.
Setengah jam kemudian, mobil sudah terparkir di halaman klinik milik Ardi. Yoga keluar dari sisi kiri lalu mengulurkan tangannya untuk membantu Nara turun dari mobil.
Sedikit rikuh, Nara menyambut uluran tangan Yoga dan keluar. Yoga tidak melepaskan tangannya selama mereka berjalan ke dalam klinik hingga masuk ke dalam ruangan Ardi.
Yoga dan Nara disambut dengan tatapan Ardi yang penuh selidik ke arah tangan mereka yang masih menyatu. Yoga yang mengetahuinya hanya diam dan melepaskan tangan Nara dengan tenang, lalu membantu istrinya berbaring di atas tempat tidur. Ada perawat Bunga yang sudah menunggu di sana.
Tanpa membuang waktu, Ardi segera melakukan pemeriksaan ultrasonografi. Dia terus mengamati dengan seksama hasilnya sambil terus menggerakkan alat transduser di atas perut Nara.
Dokter tampan itu memberikan penjelasan secara rinci mengenai bagian-bagian dari tubuh mungil yang terus bergerak dan berputar dalam tampilan layar monitor. Tak lupa Ardi juga memperdengarkan detak jantung makhluk bernyawa yang berkembang di dalam rahim Nara.
Raut bahagia dan terharu tampak jelas di wajah Nara dan Yoga. Beberapa kali mereka menghela napas panjang untuk menahan tangisan yang sudah berada di ambang pelupuk mata.
Ardi pun larut dalam aura kebahagiaan tersebut. Dia senang bisa melihat Yoga tersenyum kembali setelah beberapa tahun ini lelaki itu berubah menjadi sosok yang menakutkan dan selalu dipenuhi amarah.
Sang dokter sudah menyelesaikan pemeriksaan dan kembali ke mejanya bersama Yoga lebih dulu, sementara Nara masih merapikan pakaiannya dibantu oleh Bunga.
Setelah memberikan beberapa penjelasan dan anjuran-anjuran kesehatan kepada Nara, Ardi menyerahkan resep yang sudah disiapkannya kepada Yoga.
Namun saat Yoga dan Nara beranjak dari duduknya, Ardi menahan Yoga untuk berbicara empat mata. Nara ditemani Bunga lebih dulu keluar dari ruangan sang pemilik klinik.
"Katakan padaku, sejak kapan kamu merasakannya lagi?"
Ardi telah berdiri berhadapan dengan Yoga. Matanya mulai berkaca-kaca menatap sepasang mata tajam sahabat masa kecilnya itu.
"Apa?" tanya Yoga tak mengerti.
Ardi tak menjawabnya, tetapi dia langsung menghambur memeluk erat Yoga yang masih bingung dengan tingkah sang dokter.
"Jangan membodohiku dengan menyembunyikan sesuatu hal yang aku jauh lebih tahu darimu ...!!!"
Suara Ardi berubah menjadi berat, dipenuhi amarah dan kekesalan yang masih ditahannya dalam hati.
Dia merenggangkan pelukannya, lalu satu tangannya menunjuk lurus tepat di bagian dada Yoga, yang sebagian kancing kemejanya terbuka tanpa sengaja.
Yoga mengikuti arah pandangan Ardi hingga dia mengerti apa yang dimaksud oleh sahabatnya itu.
"Jelaskan padaku tentang ini, Ga ...!!!"
.
.
.
Jangan lupa untuk selalu menyemangati kami dengan Like, Komentar, Bintang 5, Vote & Favorit.
Terima kasih banyak untuk semua pembaca yang telah berkenan membaca dan menikmati novel kami.
Salam cinta dari kami.
💜Author💜
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 316 Episodes
Comments
ratu adil
yoga skit apa thor...jantung kah atau kangker
2022-05-25
0
Huzi_toys
lama2 so sweet bgt yoga nihh kak, 😊😊🥰
2022-03-02
0
Fhebrie
sudah ku duga yoga pasti sakit ya sedih trs author 😢😢😢😢
2021-07-19
0