"Jangan hubungi aku lagi, Lan."
"Ra, apa maksudmu ...!?" Suara Alan di seberang sana terdengar penuh keterkejutan.
"Aku hanya menuruti kemauanmu, Lan. Kamu bilang, apa pun yang terjadi, aku harus bahagia."
"Tapi ...." Ucapan Alan terputus oleh kalimat lanjutan dari Nara.
"Kita harus belajar untuk saling menjauh, Lan. Agar kita bisa menyembuhkan hati kita yang sama-sama terluka karena keadaan ini."
"Tapi cinta kita ...." Lagi-lagi ucapan Alan terputus oleh jawaban Nara.
"Ini bukan masalah perasaan kita, tapi tentang sikap yang harus kita ambil demi kebaikan kita. Aku tahu kita akan selalu saling mencintai. Tapi untuk saat ini, dalam keadaan seperti ini, kita harus menjaga jarak, Lan."
"Aku tidak bisa mengabaikanmu begitu saja, Ra!"
"Aku tidak memintamu untuk mengabaikan aku, Lan. Aku hanya minta jangan hubungi aku lagi. Aku akan belajar menerima takdir ini dan menjalani apa yang harus aku jalani di sini semampuku sendiri."
"Dan takdirku saat ini, di sini, adalah bukan dengan dirimu. Jadi aku akan belajar untuk bisa hidup tanpamu..."
Di seberang sana, Alan masih belum bisa menerima keputusan Nara, apalagi untuk memenuhi permintaannya. Jangankan menjauh, sehari tanpa mendengar suara Nara saja dia tidak bisa.
"Apa kamu yakin, Ra?" tanya Alan di seberang panggilan.
"Aku tidak yakin bisa melakukannya, Lan. Tapi aku harus melakukannya, karena aku ingin kamu juga bisa melanjutkan hidupmu di sana, tanpa diriku."
"Aku akan baik-baik saja di sini, Lan. Aku masih membawa cintamu di hatiku, selalu, selamanya. Itulah sumber kebahagiaanku saat ini. Kenangan indah kita, dan juga anugerah baru yang ada di dalam rahimku ini."
Nara berusaha untuk tersenyum saat menatap perutnya. Dia yakin, adanya kehidupan baru di dalam sana, akan selalu memberinya kekuatan untuk menghadapi hari-harinya ke depan.
"Jika itu yang kamu inginkan, aku akan melakukannya, Ra."
Alan menyerah. Dia pasrah dengan keputusan Nara. Dikabulkannya permintaan sang pujaan hati.
"Berjanjilah kamu akan bahagia di sana. Apa pun alasan kebahagiaanmu."
Nara memilih untuk tidak menjawab permintaan Alan. Dia hanya membalikkan kembali ucapan kekasih hatinya itu.
"Kamu juga harus bahagia di sana, Lan. Carilah kebahagiaanmu yang baru, tanpa aku bersamamu."
.
.
.
Dua bulan berlalu, kandungan Nara sudah menginjak usia empat bulan. Perutnya mulai membuncit sekalipun masih di bagian ujungnya saja. Belum terlalu terlihat jika dia mengenakan pakaian yang longgar.
Selama itu pula, interaksi antara Nara dan Yoga sangat jarang terjadi. Sepertinya Yoga benar-benar menahan diri untuk tidak berdekatan dengan Nara. Dia tidak bisa mengontrol emosinya setiap kali berhadapan dengan istri paksaannya itu.
Sikap dingin Nara dan kata-katanya yang selalu menolak keberadaan Yoga, seringkali membuat lelaki dingin dan arogan itu tidak tahan untuk tidak membalasnya, hingga selalu berujung adu mulut antara keduanya.
Oleh sebab itulah, seperti saran Ardi di awal dulu, Yoga memilih untuk menjaga jarak dengan wanita yang sangat dicintainya tersebut, demi kesehatan Nara dan calon penerusnya yang masih berkembang di dalam rahim wanita itu.
Hanya satu hal yang selalu dilakukan Yoga tanpa sepengetahuan Nara. Setiap malam setelah wanita itu benar-benar terlelap, Yoga selalu masuk ke dalam kamar Nara.
Dengan rasa cinta dan sayang, dia rutin mengusap lembut perut Nara, menyapa calon bayi dalam kandungan sang istri. Setelah itu dia memuaskan diri untuk menatap wajah cantik Nara, membelainya dengan lembut dan meninggalkan satu ciuman hangat di keningnya.
Hanya seperti itu, setidaknya sudah bisa mengobati kerinduan hati Yoga untuk bersama Nara dan mencurahkan perasaan terdalamnya, meski harus dilakukannya diam-diam.
Ceklek!
Pintu kamar Nara dibuka tanpa ketukan dan ucapan pendahulu. Sang pemilik rumah dan segala isinya itu masuk begitu saja dan melanjutkan langkahnya menuju sofa, di mana Nara tengah duduk membaca artikel tentang kehamilan dari sebuah aplikasi di ponselnya.
Nara yang melihat kedatangan Yoga dari penampakan di ekor matanya, tetap tidak mempedulikannya.
"Bersiap-siaplah. Kita akan pergi ke klinik Ardi."
Nara tetap diam. Dia ingat, hari ini jadwal pemeriksaan kandungannya. Dan dari awal, kehamilannya memang sudah ditangani oleh Ardi.
"Aku tunggu di luar, kalau sudah siap segeralah menyusul."
Yoga keluar dari kamar tanpa berucap lagi.
Bunga mengawasi Nara yang beranjak dari sofa dan berjalan menuju lemari pakaiannya. Tak tinggal diam, perawat itu juga bersiap untuk ikut kembali ke klinik karena sore hari seperti ini bertepatan dengan waktunya dia pulang setelah bertugas menjaga Nara dari pagi hari.
Nara hanya mengganti pakaiannya lalu keluar bersama Bunga. Yoga dan sopir sudah menunggunya di dalam mobil.
Selama perjalanan tidak ada sepatah kata pun yang terdengar di dalam mobil, hingga mereka tiba di klinik milik Ardi.
Mereka segera masuk dan menemui Ardi yang sudah menunggu di ruangannya. Ardi menyambut mereka dengan senyuman, terutama kepada Bunga sang perawat yang membalasnya dengan senyuman tertahan. Ya, Bunga adalah kekasih Ardi, tetapi tidak banyak orang yang mengetahuinya, termasuk Yoga dan Nara.
"Silahkan langsung berbaring saja."
Nara patuh dan berbaring di atas tempat tidur dibantu oleh Bunga. Ardi segera melakukan pemeriksaan ultrasonografi dengan serius dan seksama.
"Nah ..., ini dia yang kamu tunggu, Ga!" seru Ardi tiba-tiba.
Tangannya menunjukkan sebuah titik di layar monitor, membuat semuanya mengikuti arah yang ditunjuk oleh dokter tampan nan ramah itu.
"Ini adalah kelamin calon pewaris tahtamu. Selamat, dia laki-laki seperti harapanmu!"
Senyuman tipis terlihat samar di wajah Yoga yang masih menampakkan keangkuhannya. Tetapi di dalam hatinya, dia merasa senang dan bahagia mendengar ucapan Ardi.
"Selamat, Nara. Kamu calon ibu yang kuat sehingga calon anakmu bisa tumbuh dengan sehat dan sempurna. Kamu sudah berhasil melewati trimester satu kehamilanmu dengan baik. Teruslah sehat dan bersemangat demi calon bayimu."
Ardi tersenyum dan memberi dukungan untuk calon ibu tersebut. Nara hanya mengangguk lalu menunduk menatap perutnya yang masih terbuka karena Ardi masih melanjutkan pemeriksaannya.
Ada rasa haru menyeruak di ruang hatinya mendengar kondisi calon bayinya baik-baik saja. Apalagi setelah mendengar detak jantungnya yang berirama teratur dan membuat jantungnya sendiri turut berdebar kencang.
Ada ikatan batin yang telah terjalin begitu erat, antara seorang ibu dan bayi yang masih berada dalam kandungannya.
Kebahagiaan yang sama juga dirasakan ayah dari sang calon bayi. Kendati Yoga tidak ingin menunjukkannya, raut lega dan bahagia tak luput dari perhatian Ardi. Tapi dokter itupun tidak ingin membahasnya daripada dia akan mendapatkan tatapan membunuh dari sahabat masa kecilnya itu.
"Nara, selama ini apa kamu merasakan mual atau muntah yang berlebihan?" Tanya Ardi setelah Nara kembali duduk di hadapannya.
Nara menggeleng pelan.
"Tidak pernah. Hanya pusing dan tidak nafsu makan."
Ardi mengangguk mengerti.
"Sekarang kandunganmu sudah memasuki trimester dua. Biasanya kondisi ibu hamil sudah lebih sehat dan kandungannya semakin kuat. Apa kamu sering merasakan keinginan yang teramat sangat akan sesuatu hal, apa pun itu? Bisa jadi kamu mulai mengalami yang namanya ngidam."
Nara mengingat-ingat. Dia tidak pernah menginginkan sesuatu yang mendesak, apalagi yang aneh-aneh. Kalaupun ada, dia hanya merindukan sesuatu, lebih tepatnya seseorang.
Ya, akhir-akhir ini dia sering bermimpi tentang Alan dan saat terbangun dia merasa sangat merindukan kekasih hatinya itu. Dia ingin bertemu dengan Alan.
Nara kembali menggeleng, menutupi keinginan yang rasanya tak mungkin bisa terwujud.
"Atau mungkin kamu ingin pergi ke suatu tempat? Untuk saat ini, aku rasa kondisimu sudah stabil dan bisa beraktivitas lebih banyak."
Ardi bisa membaca gerak tubuh Nara yang seolah menyembunyikan sesuatu.
"Aku sarankan kamu pergi berlibur ke tempat-tempat yang tenang dan alami. Hal itu bisa sekaligus menjadi sarana terapi untuk ketenangan jiwa ibu hamil."
"Ga, kamu bisa mengajak Nara berlibur sejenak ke pantai atau tempat lain yang sejuk dan segar. Wisata yang masih berbau alam."
"Tidak bisa! Nara tidak akan pergi ke mana pun!!""
Yoga tegas menolak dengan sikap arogannya. Nara dan Ardi terkejut karenanya.
"Jangan egois, Ga! Nara sedang mengandung calon bayimu, dan dia butuh ketenangan lahir dan batin. Dia juga butuh suasana baru setelah sekian lama kamu hanya mengurungnya di dalam rumah."
Hanya Ardi yang berani menyanggah bahkan membantah Yoga. Dan anehnya, Yoga selalu mendengarkan dan mengindahkan perkataan sahabatnya itu.
"Aku ingin pergi ke suatu tempat." Tiba-tiba Nara bersuara, menyampaikan keinginan terpendamnya.
Yoga tersulut emosi karena Nara berani membantah dan memaksakan kehendaknya. Darahnya serasa mendidih, ingin meluapkan amarah. Dadanya terasa nyeri dan sesak hingga jantungnya berdetak lebih cepat.
"Aku tidak suka dibantah. Jika aku bilang tidak, maka jawabannya akan tetap tidak!" Nafas Yoga mulai memburu.
"Ini bukan semata keinginanku, tapi keinginan calon anakmu juga ...!!!"
.
.
.
Jangan lupa untuk selalu menyemangati kami dengan Like, Komentar, Bintang 5, Vote & Favorit.
Terima kasih banyak untuk semua pembaca yang telah berkenan membaca dan menikmati novel kami.
Salam cinta dari kami.
💜Author💜
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 316 Episodes
Comments
Renzo Pmt
sya nggk suka dg yoga tpi sya lebih nggk suka dg Alan kalau emang masih cinta dan Nara juga cinta dan nggk peduli biarpun hamil dg yoga kan bisa mempertahankan dg kondisi apapun..ini malah galau setelah Nara menikah dg yoga kok kyak jdi orang bodoh menghrap bini orang
2022-07-27
0
Zabdan N Iren
egois banget kamu ga
2022-06-02
0
Huzi_toys
yoga cinta sma nara, tp gak romantis yah aroganya gak luluh😊🥰🥰
2022-03-01
0