Pukul delapan pagi, Yoga membawa Nara yang tetap didampingi Alan untuk pulang. Nara sama sekali tidak ingin disentuh oleh lelaki itu.
Duduk di atas kursi roda yang didorong oleh Alan, tangan kanan Nara bahkan terangkat ke atas untuk memegang tangan kekasih hatinya yang tengah mengendalikan laju kursi roda.
Saat turun dari tempat tidur tadi Alanlah yang membopongnya dan mendudukkannya di atas kursi roda. Pun saat ini, Alan kembali mengangkat tubuhnya dari kursi roda dan dengan hati-hati dibawanya masuk ke dalam mobil yang sudah menjemput mereka bertiga.
Yoga duduk di samping sopirnya, sementara Nara duduk ditemani Alan di kursi belakang. Wajahnya masih pucat, tubuhnya pun masih lemah.
Dokter terus mengingatkan agar selama di rumah, Nara yang tengah hamil muda itu tetap menjalani bedrest sampai beberapa minggu ke depan, hingga kondisi kandungannya tidak mengkhawatirkan lagi.
Tiga puluh menit perjalanan, mobil berhenti di halaman rumah Yoga yang luas dan asri. Rintik hujan masih setia menemani pagi mereka, seolah turut mewakili rasa hati dua insan yang tengah berada di ujung perpisahan.
Dua orang penjaga rumah datang membawa payung untuk melindungi tuan mereka. Yoga keluar dengan dipayungi salah seorang penjaga. Sementara satu penjaga lainnya membukakan pintu belakang, siap untuk melindungi calon istri tuannya.
"Aku akan membawanya ke dalam," ucap Alan datar.
Dengan hati-hati, Alan keluar dalam posisi membopong tubuh Nara yang masih lemah. Wanita sendu itu mengalungkan kedua tangannya di leher lelaki yang tak lama lagi akan melepaskan dirinya untuk dinikahi orang lain.
Di bawah payung lebar yang dibawa sang penjaga, Alan berusaha menahan perasaannya yang mulai tidak tenang. Tak berbeda darinya, Nara pun terus menatap wajah Alan yang saat ini begitu dekat dengan wajahnya.
Mata bening wanita itu mulai basah berkaca-kaca. Alan berusaha menghindari tatapan mata dengan kilatan kesedihan yang mendalam itu. Dia harus terlihat kuat di hadapan Nara, supaya wanita terkasihnya itu tidak menjadi semakin lemah dan tersiksa perasaannya.
Yoga yang lebih dulu sampai ke dalam rumah, langsung melanjutkan langkah kakinya menuju ke dalam kamarnya. Seorang wanita paruh baya yang dikenali Alan sebagai asisten rumah tangga itu, menyambut kedatangan Alan dan Nara yang sudah dikenalnya.
Setelah menyapa keduanya, asisten wanita bernama Bibi Asih itu menunjukkan sebuah kamar di sebelah kamar Yoga, untuk ditempati sebagai kamar sementara Nara.
Alan melangkah masuk ke dalam kamar lalu menurunkan Nara di tepi tempat tidur dengan gerakan pelan dan sangat hati-hati. Dia mengangkat kedua kaki Nara dan meluruskannya di atas tempat tidur. Dia juga menata bantal dan guling yang ada sedemikian rupa sehingga bisa menjadi sandaran duduk yang nyaman untuk Nara.
Bibi Asih yang mengetahui kisah cinta mereka, pamit untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Dia menutup pintu dan membiarkan keduanya bersama di dalam kamar sambil menunggu penata rias datang.
"Aku akan keluar, menunggu kedatangan Bapak dan Ibu."
Alan sudah beranjak bangun dari duduknya namun pergelangan tangannya dipegang oleh Nara. Wanita itu menahan langkah lelaki itu dan menariknya untuk kembali duduk tepat di sampingnya.
Mereka berhadapan, saling menatap sendu dan haru. Tiada kata yang terucap, hanya diam yang telah mewakili seluruh perasaan mereka, seluruh kesedihan dan lara hati mereka.
"Aku punya permintaan terakhir, sebagai seorang kekasih. Aku ingin kau mengabulkannya, demi cinta kita."
"Demi seluruh waktu yang pernah kita lalui bersama, demi kenangan indah yang harus selalu kita ingat bersama. Tidak boleh kita lupakan, dan tidak boleh ada orang lain yang menggantikannya."
Alan tertegun dalam duduk tegaknya, belum mengerti maksud ucapan Nara. Permintaan terakhir?
"Ra, jangan berpikir yang tidak-tidak! Jangan nekat. Tenangkan dirimu." Alan mulai berpikiran buruk, hal yang mungkin saja akan dilakukan oleh wanita itu dalam kekalutannya.
"Aku hanya meminta satu hal darimu, Lan. Setelah itu, aku juga akan menuruti permintaanmu. Aku akan berjuang, aku akan menghadapinya tanpa kutunjukkan kelemahanku."
"Aku akan belajar menerimanya, menjaganya dan mencintainya." Nara menunduk pilu menatap satu bagian tubuhnya.
"Calon bayiku. Aku akan melindunginya dan menjadikan keberadaannya di dalam sini, sebagai sumber kekuatanku," lanjutnya lagi.
Dielusnya dengan lembut perut ratanya, sambil melekatkan tatapannya di sana dengan penuh haru.
"Apa permintaanmu, Ra? Demi dirimu, demi cinta kita, aku akan mengabulkannya. Sebagai kekasihmu, sebagai calon suamimu, aku akan melakukannya untukmu. Untuk terakhir kalinya ...."
Menegakkan tubuhnya sama seperti Alan, Nara menguatkan dirinya agar tidak limbung meskipun merasa sedikit pusing dan tak bertenaga.
Alan melingkarkan tangannya di pinggang Nara guna menahan beban tubuhnya agar tidak terjatuh. Tangan kirinya terulur meraih tangan kekasih hatinya, digenggamnya, diusapinya dengan ibu jarinya selembut mungkin.
"Aku ingin memberikan ciuman pertamaku untuk lelaki yang aku cintai, lelaki pemilik hatiku yang seutuhnya."
"Seluruh diriku dan hatiku ini, hanya satu pemiliknya, yaitu dirimu. Dan aku tidak akan pernah membaginya dengan siapapun juga. Aku mohon, kabulkanlah permintaanku. Sekarang, sebelum waktunya tiba!" pinta Nara dengan penuh pengharapan.
Alan bimbang. Selama lima tahun menjalin kasih dengan wanita di hadapannya itu, tidak sekali pun dia berpikiran tentang hal tersebut.
Dia sungguh-sungguh menjaga Nara dan tidak pernah memaksakan keinginannya kepada wanita terkasihnya. Tapi sekarang, di ambang perpisahan yang tak diharapkan ini, Nara memintanya.
"Alan ...." Lelaki itu tersentak, tersadar dari lamunannya. Dia masih ragu. Dia tak ingin melakukannya karena keterpaksaan situasi, tapi dia juga tak ingin mengecewakan dan menyakiti hati Nara dengan penolakannya.
Tidak ada waktu lagi. Detik terus berganti, semakin mendekati saatnya. Alan memejamkan matanya, meresapi perasaannya dan menetapkan keputusannya.
"Aku mencintaimu, Ra. Selamanya aku akan terus mencintaimu. Aku akan menjadi penjagamu, menjadi pelindungmu. Meskipun tak terlihat olehmu, tapi aku akan selalu ada di dalam hatimu. Ingatlah itu!"
Dan pada detik di mana kalimat terakhir Alan selesai terucap, di saat itu pula bibirnya telah menyentuh bibir Nara dengan perlahan dan penuh kelembutan. Berdua mereka terdiam, memejamkan mata seraya meresapi getaran perasaan yang mengalun indah di dalam hati, mengiringi kehangatan ciuman pertama mereka.
Hanya ciuman ringan dan tak berlangsung lama, tanpa hasrat, apalagi nafsu. Mereka melakukannya dengan penuh cinta dan kasih sayang, dengan hati yang bergetar dan dada yang terus berdebar, mengingat masa-masa indah kebersamaan mereka selama ini.
.
.
.
Beberapa saat sebelum acara dimulai, Nara keluar dari kamarnya didampingi Ibu dan Alan yang masih terus bersamanya. Karena kondisinya, Nara menggunakan kursi roda menuju ke ruang tamu yang telah diatur rapi sebagai tempat akad nikah.
Dalam balutan kebaya berwarna broken white dan bawahan batik berbentuk rok panjang, Nara telah duduk di samping Yoga yang mengenakan kemeja batik senada dengan pakaian Nara.
Tak ada satupun tamu yang hadir di sana. Hanya seorang penghulu yang duduk bersebelahan dengan Bapak selaku wali Nara, dan dua orang saksi yang duduk saling berhadapan terhalang meja akad.
Tak lama kemudian ijab qobul telah diucapkan oleh Bapak dan Yoga yang berjabatan tangan dengan erat. Kata sah dari kedua saksi menandakan bahwa pernikahan kedua pengantin telah resmi menjadi nyata.
Alan tertunduk lesu di belakang Nara dan Yoga, menyembunyikan kesedihan hatinya yang begitu lara. Diam-diam dia menyeka air bening yang menggenang di sudut matanya. Mulai sekarang, dia harus melepaskan Nara untuk dimiliki lelaki itu.
Suasana haru berselimut kelabu, kental terasa saat penghulu meminta kedua pengantin untuk bersalaman. Mau tak mau, rela tak rela, dengan berat hati Nara meraih tangan Yoga untuk diciumnya. Dan sebaliknya, Yoga dengan hati bahagia mencium kening Nara diiringi sebuah senyuman.
Berbeda dengan Yoga, Nara hanya bisa memejamkan mata menahan kesedihan yang telah memuncak di hatinya. Airmata mulai menetes membasahi wajahnya yang tetap terlihat pucat meski telah dirias secantik mungkin.
Di tempatnya, Alan semakin menundukkan kepala, tak sanggup untuk menyaksikan ritual awal suami-istri tersebut. Dia memilih memejamkan mata, tersedu dalam tangisan hatinya yang begitu menyayat perasaan.
Pernikahan telah terjadi. Tak ada perayaan apapun karena semua orang larut dalam kesedihan, kecuali Yoga. Hidangan yang tersedia pun tak tersentuh sama sekali. Hanya ada suasana hening, diam seribu bahasa.
Alan memperhatikan Nara dari jarak yang cukup jauh. Bagaimanapun juga, dia tahu diri. Sekarang Nara bukan lagi kekasihnya, bukan pula calon istrinya. Melainkan dia sudah menjadi istri orang lain, sudah menjadi milik lelaki lain.
Di sudut lain yang tengah diamati oleh Alan, Nara duduk lemah didampingi kedua orangtuanya. Dia masih terus menangis, terisak di pelukan Ibunya.
Dia tak ingin ditinggalkan oleh mereka, tetapi Yoga sudah memutuskan bahwa dia ingin hidup berdua dengan Nara, tanpa campur tangan keluarganya.
Nara butuh banyak istirahat. Alan tahu itu. Entah apakah Yoga memahami hal tersebut atau tidak. Memberanikan diri berjalan menuju ke tempat Nara duduk, tatapan mata Yoga terus mengikuti pergerakannya.
Alan tidak mempedulikannya. Dia hanya ingin menemui wanita terkasihnya itu, sekaligus untuk berpamitan sebelum keluar dari kediaman Yoga.
Jarak antara mereka semakin terpangkas, manakala langkah kaki Alan berhenti tepat di hadapan Nara yang kini duduk sendiri bersandarkan punggung kursi.
Pandangan mereka menyatu dalam satu garis lurus. Mata bertemu mata, saling diam mengunci bibir, hanya hati yang saling berbicara dalam bahasa kalbu nan sendu.
"Ra, masuklah ke kamarmu. Kamu harus banyak beristirahat. Ingatlah selalu semua ucapan dokter. Kamu tidak boleh kelelahan, tidak boleh banyak bergerak dan tidak boleh banyak pikiran."
Nara hanya mengangguk lemah. Apapun yang Alan katakan, dia akan mengingatnya dan menurutinya. Hanya lelaki itu yang dia percayai. Hanya lelaki itu yang sanggup menenangkan dirinya.
"Aku akan selalu menjagamu, dari jarak yang mungkin tak akan terjangkau oleh pandangan matamu. Aku pastikan kepadamu, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kamu akan baik-baik saja, Ra."
Yoga mendekati mereka. Tak ingin lagi melihat keduanya bersama. Menatap tajam ke arah Alan, dia hendak meminta lelaki itu untuk tidak lagi mendekati istrinya.
"Tidak perlu repot-repot mengusirku. Aku sudah tahu batasanku. Aku akan segera pergi." Alan lebih dulu membuka suara, sebelum Yoga mengatakan maksudnya.
"Jika kau mencintainya, perlakukan dia sebagaimana seharusnya. Jika kau peduli padanya, tunjukkan sikapmu dengan cara yang baik."
Yoga menahan diri untuk tidak tersulut emosi karena ucapan Alan kepadanya. Apalagi setelah mendengar ucapan selanjutnya dari lelaki itu.
"Kalau kau bisa, bahagiakan Nara. Tetapi jika kau tak bisa, biar aku yang akan membahagiakannya, juga bayinya."
.
.
.
Jangan lupa untuk selalu menyemangati kami dengan Like, Komentar, Bintang 5, Vote & Favorit.
Terima kasih banyak untuk semua pembaca yang telah berkenan membaca dan menikmati novel kami.
Salam cinta dari kami.
💜Author💜
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 316 Episodes
Comments
✹⃝⃝⃝s̊S Good Day
Selamat Nara, semoga setelah ini ada kebahagiaan untuk semua orang 🤧🤧
2022-04-19
1
Huzi_toys
kasian alan, tp penuh kasih + gentle🥰🥰
2022-03-01
0
Kimmy Geral
lanjut
2022-02-23
0