Yoga melepaskan ciuman di perut Nara. Dia segera berdiri dan bersiap untuk berangkat. Semua keperluannya sudah dibawa ke dalam mobil oleh Beno.
Selama beberapa detik kemudian, pandangannya tertuju pada Nara yang sudah membuka mata dan menoleh ke arah lain.
Menatap lekat wajah wanita yang dicintainya, seolah ingin merekamnya baik-baik di memori kepalanya, sebagai penawar rindu saat nanti dirinya tak lagi bisa melihat langsung wajah cantik itu.
"Aku akan sangat merindukanmu, Ra. Semoga aku bisa segera kembali ...."
"Aku pergi dulu."
Yoga mulai melangkahkan kakinya, meninggalkan Nara yang masih tetap berdiri tanpa melihat sedikit pun ke arahnya.
Namun sejurus kemudian, entah apa yang dipikirkannya, atau dirasakannya saat ini, sehingga langkah kaki Nara seakan bergerak sendiri mengikuti Yoga yang sudah lebih dulu berjalan menuju pintu depan.
Berhenti di ambang pintu, Nara melihat Yoga sudah sampai di samping mobil yang akan membawanya pergi. Tangan kirinya memegang dinding pintu sementara tangan kanannya terus mengusapi perutnya.
"Ga ...."
Suara Nara bergetar saat tiba-tiba sudah memanggil nama suaminya. Bahkan dia sendiri pun ikut terkejut atas apa yang dilakukannya.
Yoga tertegun, mematung seketika saat mendengar suara Nara memanggilnya. Meskipun lirih tapi masih terdengar sangat jelas di telinganya.
Segera dia berbalik badan, dan mendapati Nara sudah berdiri menatapnya di ambang pintu.
"Tatapan matanya ..., benarkah itu untukku?"
Begitu mengetahui Yoga membalas tatapan matanya yang dia sendiri tak menyadari saat melakukannya, Nara langsung menunduk lagi.
Dia bingung dengan sikapnya. Sedari tadi seluruh tubuhnya seakan tidak seiya sekata dengan hatinya. Dia merasa, ada yang salah dengan hatinya, entah apa itu. Tapi di dalam hati kecilnya, dia merasa bersalah kepada Alan.
"Lan ..., aku minta maaf atas sikapku yang tidak terkendali ini."
Melihat Nara yang menunduk dan terdiam lagi, Yoga kembali mendekati wanita itu, wanita yang dicintainya dan akan memberinya seorang putra pewaris tahta.
Keduanya sudah kembali berdiri berhadapan, dalam jarak yang sangat dekat, seperti saat di ruang makan tadi.
"Ada apa, Ra? Kamu sakit lagi?"
Ada nada kekhawatiran dalam pertanyaan yang dilontarkan Yoga. Tatapannya tajam, menelusuri wajah dan seluruh tubuh Nara, mencari kalau-kalau ada kesakitan yang tengah dirasakan wanita itu.
Nara segera menggelengkan kepala. Dia merasa risih jika terus ditatap oleh Yoga seperti itu.
"Ada apa?" tanyanya sekali lagi.
Nara bimbang ingin mengatakannya. Kata hatinya melawan, tapi ada dorongan lain yang memaksanya untuk menyampaikan sesuatu pada lelaki di hadapannya.
"Maaf, Pak. Waktunya ...." Beno mencoba mengingatkan.
Tangan kanan Yoga terangkat ke atas tanpa menoleh ke belakang, tanda dia tidak ingin dibantah untuk saat ini. Beno bungkam, tak melanjutkan ucapannya.
Yoga masih menunggu Nara. Dia yakin ada sesuatu yang ingin dikatakan kepadanya.
Nara mulai mengatur nafasnya. Dia memberanikan diri untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulainya, saat tadi dia memanggil nama lelaki itu.
"Hati-hati ...." Hanya itu yang ingin diucapkannya.
Yoga hampir saja tidak mempercayai pendengarannya. Seucap kata itu sama sekali tak diduganya, dipikirkannya pun tidak. Karena yang dia tahu, Nara membencinya dan tidak mempedulikannya.
"Ra ..., kamu ...?"
"Hati-hati dan cepatlah pulang untuk calon anakmu."
Semudah itu Nara mengatakannya, meluncur cepat begitu saja dari bibirnya.
Yoga bagai mendapatkan anugerah terindah, yang telah dinantinya sekian lama.
Tubuhnya bereaksi, menghangat seketika, lalu secepat kilat memeluk Nara. Tak peduli wanita itu akan marah, menangis atau bahkan memakinya. Yoga mendekap tubuh Nara, erat di dalam pelukannya.
Nara mematung, diam dan kaku. Dia tidak menolak pelukan Yoga, tidak juga membalasnya. Hanya kebingungan yang dirasakannya saat ini, atas apa yang sudah dilakukannya.
"Apa yang terjadi padaku? Mengapa aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri?"
"Akan selalu aku ingat kata-katamu ini, Ra."
Yoga melepaskan pelukannya meski tak ingin. Tapi waktu terus berputar dan dia harus tetap pergi.
Sebelum benar-benar melepaskan tangannya dari tubuh Nara, dia mendekatkan wajahnya pada wajah istrinya, lalu mencium kening Nara dengan lembut.
"Aku sangat mencintaimu, Ra."
"Aku akan pulang untuk calon anak kita, dan juga untuk kamu, Ra."
Yoga mulai menjauh, meninggalkan Nara yang masih menunduk, menatap perutnya dan mengusapinya dengan sayang.
Sampai mobil yang membawa Yoga berlalu pergi hingga keluar dari pagar utama, barulah Nara berani mengangkat wajahnya yang sudah berurai air mata.
"Mengapa aku menangisinya? Ataukah bayiku yang menangisinya?"
Nara masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamarnya. Raganya lelah, demikian pula perasaannya. Dia rebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Sungguh hari ini terasa sangat aneh baginya. Semua hal terjadi begitu saja, tanpa kendali darinya.
"Alan ...." Nama itu terucap lirih dari bibirnya.
"Maafkan aku, Lan. Maafkan ketidakmampuanku untuk menolak sentuhannya tadi ...."
Nara sendiri tidak tahu mengapa tiba-tiba dia bisa melakukannya. Membiarkan Yoga menyentuhnya, memeluk bahkan menciumnya. Sekarang, saat mengingatnya, Nara merasa bersalah pada hati kecilnya dan juga pada Alan.
Berkhianat? Ya, hatinya telah berkhianat pada rasa cintanya pada Alan. Tapi berdosakah dia atas apa yang disebutnya pengkhianatan itu? Tidak!
Apa pun alasannya, jawabannya tetap tidak. Yoga adalah suaminya, itulah kenyataannya. Adalah wajar dan semestinya, jika seorang suami menyentuh istrinya sendirinya. Dosa? Justru dia yang akan berdosa jika menolaknya.
"Hati dan cinta ini masih tetap milikmu, Lan. Tidak akan berubah sampai kapan pun. Tapi ragaku di sini, bersama lelaki yang sudah berstatus suamiku. Inilah yang selalu membuatku merasa bersalah padamu."
Air mata semakin deras mengalir membasahi wajah Nara yang kian kusut dan sembab. Apa lagi saat ini, dia tengah membuka galeri ponselnya, yang masih dipenuhi dengan foto-foto Alan dan banyak lagi foto kenangan kebersamaan mereka dulu.
Dering ponsel yang dipegangnya, mengagetkan Nara yang terus memikirkan Alan. Sebuah pesan baru masuk, dari Yoga.
Nara merubah posisi tubuhnya, dari berbaring menjadi duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Setelah menyamankan dirinya, dia membuka pesan tersebut.
"Terima kasih, Ra."
Nara tak mengindahkan pesan itu. Tak ingin memikirkannya, tak ingin membalasnya. Tapi tak lama kemudian, Yoga kembali mengirimkan pesan baru.
"Jaga dirimu dan calon anak kita, di mana pun kamu berada."
Tangan kanan Nara langsung berpindah ke bawah, mengusapi perutnya dengan senyuman di bibirnya.
"Sehatlah selalu, Nak. Kamulah kekuatan Ibu sekarang."
Ponsel Nara masih berdering lagi, dan pesan dari Yoga kembali diterima dan dibacanya.
"Aku mencintai kalian berdua. Kamu dan calon anak kita."
Ada yang berdesir di hati Nara, tapi bukan karena cinta. Getaran itu sama rasanya seperti saat tangan mereka bersentuhan tanpa sengaja, seperti saat Yoga memeluk dan menciumnya beberapa waktu yang lalu.
"Perasaan apa ini ...? Mengapa aku merasakannya di saat sikapnya mulai melunak kepadaku ...?"
"Ya Allah, bantulah aku. Tunjukkan padaku, apa yang seharusnya aku lakukan. Jangan biarkan aku mengambil keputusan dan langkah yang salah. Aku sangat mencintai Alan, tapi aku juga tak bisa mengabaikan Yoga, karena dia adalah suamiku dan ayah dari calon anak yang aku kandung ...," ucap Nara lirih sambil menengadahkan kepalanya ke atas.
.
.
.
Jangan lupa untuk selalu menyemangati kami dengan Like, Komentar, Bintang 5, Vote & Favorit.
Terima kasih banyak untuk semua pembaca yang telah berkenan membaca dan menikmati novel kami.
Salam cinta dari kami.
💜Author💜
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 316 Episodes
Comments
Ai Hodijah
😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
sampai bab ini aku bacanya nangis terus,cinta segitiga yang menyayat hati
2023-04-01
0
Ida Jubaida
antara nyaman dan cinta..
2022-11-15
0
Zabdan N Iren
rumiiiiit
2022-06-02
0